Langit Senja Bagian 7

Seperti biasa setiap malam minggu, mall ramai setengah mati. Mas Awan menggenggam sebelah tanganku, mengajakku menembus keramaian manusia di lantai dasar Solo Square, menuju pintu keluar yang ada di samping timur gedung.

“Acaranya di mana, Mas?” tanyaku.

“Karaokean. Dia udah nungguin dari tadi.”

Aku manggut-manggut, mengikuti langkah Mas Awan yang malam ini berbalut kaos warna hitam dan celana jins biru.

Ruang karaoke berukuran large itu sudah diisi beberapa orang teman kuliah Mas Awan. Di atas meja sudah ada makanan. Mas Iyok, yang berulang tahun, sedang beraksi menyanyikan Payphone-nya Maroon 5.

“Akhirnya dateng juga.” Mas Iyok menyalami Mas Awan dan aku. “Duduk, terus pesen makan sendiri ya?”

Mas Awan mengajakku duduk di sofa bagian ujung, di sebelah Mas Rinto. Aku sudah mengenal semua orang yang ada di dalam ruangan itu. Tahu namanya, lebih tepatnya. Hanya sekedar tahu nama-nama mereka.

“Makan apa, Dek?” tanya Mas Awan sambil membuka-buka buku menu.

“Terserah, Mas,” kataku, bahkan tanpa membuka buku menu.

“Nasi goreng aja, ya? Pesen satu buat berdua?”

“Boleh.”

Mas Awan menekan tombol layanan, memesan makanan, lalu meninggalkanku sebentar untuk mengambil remote yang tadi sempat diambil temannya dan sekarang tergeletak lumayan jauh dari tempat kami duduk.

“Kamu mau nyanyi apa, Dek?” tanya Mas Awan.

“Kamu aja yang nyanyi.”

“Duet, ya?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

“Ayolah. Sekali-kali.” Mas Awan kemudian memilih sebuah lagu tanpa menunggu persetujuanku dan menjadikannya prioritas pertama di playlist.

“Wa..wa..wa.. Kurang ajar ni orang. Baru dateng udah langsung nguasai playlist,” protes Mas Rifky yang duduk di ujung terjauh dariku.

“Heh, ngalah, Mblo!” kata Mas Awan yang dengan cepat mendapatkan lemparan botol air mineral kosong dari Mas Rifky karena menyebutnya ‘jomblo’.

Mas Iyok menyerahkan mikrofon padaku dan Mas Awan begitu dia selesai menyanyi.

“I wanna call the stars down from the sky… I wanna live day that never dies…” Mas Awan mengawali lagu itu. Dia tersenyum padaku waktu mengalunkan When You Tell Me that You Love Me itu. Dia kemudian melemparkan kesempatan berikutnya padaku.

“I wanna hold you close under the rain… I wanna kiss your smile and feel the pain…” Aku meneruskan bagianku.

Mendadak rasanya aneh sekali menyanyikan lagu ini bersama mas Awan. Aneh ketika lagi-lagi bukan dia yang ada di kepalaku. Bukan dia, bukan orang yang sekarang sedang berduet denganku ini, yang sudah ada di sisiku selama dua tahun ini.

“Everytime you touch me, I’ll become a hero. I’ll make you safe no matter where you are…”

Napasku benar-benar terasa habis saat menyanyikan lirik itu. Aku menatap Mas Awan, membalas senyumannya saat dia tersenyum padaku, membalas kata-kata cintanya, tapi belum pernah sekalipun aku merindukannya seperti aku merindukan Senja.

“I’m shining like a candle in the dark when you tell me that you love me…. When you tell me that you love me…” Aku dan Mas Awan menyanyikan lirik terakhir dari lagu ini bersamaan.

“Woohoo!” teriak Mas Iyok begitu aku dan Mas Awan menyelesaikan lagu itu. “Memang, kalian iniiii… Romantis banget. Kayak kita ya, Beb?” Mas Iyok merangkul mbak Rina yang duduk di sebelahnya.

“Halah!” Mbak Rina mendorong Mas Iyok, menjauhinya, membuat lima orang lain di ruangan itu tertawa.

Aku mendorong tubuhku ke sandaran kursi dan merogoh saku jins sewaktu merasakan ponsel yang ada di sana bergetar.

Ei : Nek, kayaknya asik jg tuh besok ke CFD. Jemputin, yak?

Dasar Ei, sering berubah pikiran dengan cepat. Padahal tadi siang sewaktu aku mengajaknya ke CFD besok, dia bilang tidak tertarik. Dasar orang libra.

Me : Dasar! Yo. Besok ta jemput jam 6. Sepedaan, ya?

Ei : Hehehe.. galak amat. Iye, cynn. Jam 6 aye tunggu di rumah. Love youuuuuuu…

Me : Pret!

Ei : Hahahahahaha..

Aku menutup ruang obrolanku dengan Ei, ganti membuka percakapanku dengan Senja, percakapan terakhirku dengannya. Aku tersenyum.

“Same bed but it feels just a little bit bigger now.. our song on the radio but it don’t sound the same..” Suara serak Mas Rifky memenuhi ruangan.

“Hadeeeh. Ada yang galauuuu!!” teriak mbak Rina.

“Too young too dumb to realize…” Mas Rifky melanjutkan lagunya tanpa memedulikan komentar mbak Rina.

Aku mengulangi membaca pesan-pesan singkat dari Senja. Ah, sedang apa dia sekarang?

“Siapa?” Mas Awan merangkul bahuku.

Aku buru-buru menekan tombol home di ponselku, jalan pintas untuk keluar dari semua aplikasi.

Baca:  Langit Senja Bagian 6

“Ei,” jawabku. “Dia ngajakin ke CFD besok.”

“Wah, asik kayaknya. Tapi besok mau bikin tugas. Nggak bisa gabung.”

Nasi goreng pesanan kami datang. Mas Awan memaksa menyuapiku, membuat teman-temannya ber-cie cie melihat kami.

“Udah, nggak usah, ngiri,” kata Mas Awan. Aku cuma tertawa.

Setelah sepiring nasi goreng dan sebotol air mineral berdua, aku kembali mendorong tubuhku ke sandaran sofa. Mas Awan kembali sibuk dengan teman-temannya. Dan aku kembali teringat dia.

Ponsel itu kembali aku nyalakan.

Me : Sibuk?

Dengan cepat aku mengetik pesan singkat dan mengirimkanya pada Senja, lantas segera menutup aplikasi pengirim pesan dan ganti membuka instagram, mengecek tanda angka satu pada notifikasiku. Mas Awan. Dia menempelkan namaku pada story terbarunya. Update sekali dia.

Ponselku bergetar, bersamaan dengan kemunculan gambar amplop di bagian atas layarnya. Cepat-cepat aku membuka pesan masuk. Aku tersenyum begitu tahu siapa yang mengirim pesan.

Langit Senja : ga.

Ah, manusia itu. Aku tahu dia memang tidak suka basa-basi. Tapi apa harus seperti ini juga balasannya? Apa dia tidak tahu aku ini perempuan yang tidak bisa langsung mengaku rindu?

Ponselku bergetar lagi.

Langit Senja : Missing me?

Aku tersenyum membaca pesan singkatnya yang baru saja masuk. Memang benar-benar dia ini.

Me : Haha.. Pede!

Langit Senja : Lying is not good for your health.

Me : So are you!

Langit Senja : Hahaha.. Kenapa? Pengen ditemenin nganterin matahari pulang lagi?

Mendadak wajahku terasa panas. Ada rasa malu aneh yang menyelusup, meregangkan pembuluh darah di wajahku.

Me : Iya

Langit Senja : Me, too.

Dia lantas mengirimkan satu pesan lagi yang hanya berisi emoticon tersenyum.

“Some say love, it is a river that drown the tender reed…”

Aku menegakkan kepalaku sewaktu mendengar suara Mas Awan menyanyikan The Rose. Lagu itu, lagu yang sama yang mengiringi soreku bersama Senja sore itu. Lagu yang biasanya membuatku melayang itu, kali ini terdengar berbeda di hatiku.

“Some say love, it is a hunger, an endless aching need.” Mas Awan tersenyum padaku. “I say love it is a flower and you it’s only seed.” Dia mengarahkan sebelah tangannya kepadaku.

Kali ini ada yang berbeda. Kali ini ada perasaan aneh yang menyusupi hatiku. Mendengar Mas Awan menyanyikan lagu itu, aku seperti merasakan dia menusuk hatiku dengan kata-katanya, kata-kata cintanya, yang menunjukkan betapa dia mencintaiku, menerimaku apa adanya diriku, menerima semua kekuranganku. Dan ini mendadak rasanya menyakitkan.

***

Senyuman Ei menyambutku di halaman rumahnya. Tapi, senyumannya kali ini agak berbeda, seperti menyembunyikan sesuatu.

“Kok senyumnya gitu banget?” tanyaku tanpa turun dari atas sepeda.

“Masuk dulu, Ta.”

“Nggak langsung berangkat?”

“Ituuu masalahnya. Ban sepedaku bocor, aku lupa nggak nambalin kemaren.”

“Terus?” tanyaku.

“Jalan aja, ya? Deket ini.”

Aku akhirnya turun dari atas sepeda dan memarkirkan si Silvy, sepeda silverku di garasi rumah Ei. Senyuman Ei semakin bertambah lebar. Dia menarikku keluar dari halaman rumahnya. Aku menurut, berjalan bersamanya. Untung rumahnya dekat dengan Jalan Slamet Riyadi, jadi aku tak terlalu jauh berjalan.

“Rumah sepi amat, Ei?” tanyaku.

“Udah pada ke CFD duluan. Demi kamu nih aku nungguin di rumah sendirian.”

“Ngek!” komentarku. Ei tertawa.

Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, jalan Slamet Riyadi sudah penuh dengan manusia yang berjalan-jalan santai, jogging, sepedaan, bulu tangkis, dan yang paling banyak adalah mencari jajanan.

“Mas Awan kok nggak ikut, Ta?” tanya Ei.

“Ada janjian sama temen-temennya. Mau bikin tugas atau apa gitu. Lupa.” Aku kemudian menunjuk pedagang kentang goreng yang ada di dekat Grandmall. “Pengen kentang goreeeeng!”

“Heh, olah raga!” kata Ei. Dia memutar kepalaku, memaksaku berpaling dari pedagang kentang itu dan meluruskan pandanganku ke depan.

“Ah, sial!” umpatku. “Jalan-jalan aja, ya? Nggak usah jogging,” pintaku.

Ei memutar bola matanya. “Iye iye dah,” katanya.

Aku mengamati berbagai macam pedagang di sepanjang tepi jalan Slamet riyadi. Aku baru tahu kalau ternyata banyak sekali orang kreatif di kota ini. Aku baru tahu kalau banyak hal yang selama ini dianggap sepele ternyata juga bisa menghasilkan uang. Aku mengajak Ei berhenti di depan Museum Radya Pustaka. Di situ ada bapak-bapak yang mengajarkan anak-anak kecil membuat origami.

“Kupu-kupunya lucu,” seruku sambil menunjuk kupu-kupu kertas berwarna oranye yang baru saja dibuat oleh bapak-bapak itu.

“Sini, mbak. Tak ajari bikin.” Bapak-bapak itu mengajakku duduk di sebelahnya.

“Ei, bentar, ya?” kataku.

Aku kemudian duduk di sebelah bapak-bapak itu dan mengikuti instruksinya untuk membuat kupu-kupu dari kertas. Ternyata membuat origami itu tak sesulit yang aku bayangkan. Tak sampai lima menit, aku sudah berhasil membuat kupu-kupu oranyeku sendiri.

“Gampang to, mbak?” tanya bapak-bapak itu.

“Hehe, iya, Pak.” Aku mengamati kupu-kupuku. “Berapa, Pak?” tanyaku.

“Dua ribu.”

Aku merogoh saku celanaku, mengeluarkan uang dua ribu rupiah, lalu menyerahkannya pada bapak-bapak itu. Aku berbalik dan jantungku langsung berdetak cepat sewaktu menemukan Senja berdiri di belakangku, sedang mengobrol dengan Ei. Di sebelahnya ada bapak yang pagi ini terlihat sangat santai dengan kaos oblong dan celana pendek, berbeda dari kemarin. Bapak kemarin terlihat rapi dengan seragam kerjanya ketika menjemput Senja seusai olah raga.

“Om,” sapaku. Aku buru-buru berdiri dan menyalaminya.

“Wah, ketemu lagi,” kata Bapak. “Bikin apa?”

“Hehe, ini, Om. Iseng-iseng ikut origami,” jawabku malu sambil menunjukkan hasil karyaku.

Senja masih mengobrol dengan Ei, sepertinya seru sekali sampai dia tidak menyapaku. Bagus.

“Cuma berdua, Om?” tanyaku.

“Nggak. Tadi berempat. Tapi Umi katanya males jalan, jadi nungguin di Ngarsopuro. Arik tadi ketemu temen-temennya, jadi nggak tau sekarang di mana.”

Baca:  Langit Senja Bagian 2

Aku manggut-manggut.

“Cuma sama Dewi?” tanya bapak.

“Iya, Om,” jawabku. “Terus mau ke mana lagi, Om?”

“Ya jalan-jalan aja. Mau balik lagi ke Ngarsopuro.” Bapak berpaling pada Senja. “Nang, jalan sama temen-temenmu?”

“Bapak gimana?” tanya Senja.

“Kalau kamu mau jalan sama mereka, ya bapak tak nemenin umi wae. Nanti tak tunggu di Ngarsopuro.”

“Nggak papa, Om?” tanya Ei.

“Nggak apa-apa.”

Senja melepaskan tangannya dari lengan bapak.

“Yowes, bapak duluan, ya?”

Aku tidak mau berbohong. Ada rasa bahagia sewaktu bapak meninggalkan kami. Bukan karena aku tak suka ada bapak. Tapi, aku yakin aku tak akan berkutik kalau ada bapak di sini.

“Sial! Nggak, ah!” Ei memukul pelan lengan Senja.

Senja mengelus lengannya, pura-pura kesakitan.

Aku menghela napas. “Mau ngobrol terus di sini?” tanyaku.

“Deeeh, ada yang ngambek, Ja,” goda Ei.

Senja tertawa. “Rekta,” panggilnya. “Bikin apa tadi?”

“Kupu-kupu,” kataku. Aku menarik tangan kanan Senja, membuka telapak tangannya, dan meletakkan kupu-kupu kertas yang aku buat di sana.

Kedua tangan Senja meraba kupu-kupu kertasku. Dia tersenyum. “Cantik,” katanya. “Buat aku, ya?” Dia melipat kupu-kupu kertas itu sesuai garis tengah lipatan lalu menyelipkannya di saku belakang celana jinsnya.

Senja tersenyum dan membuka tangan kirinya. Aku memberikan tangan kananku, membiarkannya menggenggam lenganku.

“Aaah jadi obat nyamuk,” kata Ei pelan.

Aku menoleh pada Ei, menyunggingkan senyuman lebar padanya. “Yuk jalan,” kataku.

“Ja, ngomong-ngomong, ngomong-ngomong nih. Perasaan tiap kali sama Eko atau sama bapak kamu, kamunya di sebelah kiri. Kenapa sama Tata kamu di sebelah kanan? Yang bener yang mana, sih?” tanya Ei.

“Nggak ada yang salah,” kata Senja sambil tertawa. “Tapi kan aku yang cowok, Dew. Aku yang harus jagain Rekta.”

Aku melayang. Jawaban itu membuatku melayang-layang. Senang sekali rasanya. Dia menjagaku.

Semakin siang, jalan raya ini semakin dipadati manusia. Seharusnya, kegiatan seperti ini diberlakukan dari dulu. Biar saja banyak orang yang mengomel karena jalan ini ditutup setiap Minggu pagi. Biar saja orang-orang mengeluh ke mana-mana susah dan harus memutar jauh karena jalan utama kota ditutup. Namanya juga manusia. Susah untuk puas.

“Itu cowoknya nggak bisa liat? Kasian, ya?”

Aku mendengar seseorang berbisik di belakangku. Bukan, bukan berbisik. Bisikan seharusnya tidak terdengar sekeras itu.

“Iya kasian. Itu ceweknya? Kok mau, ya?” bisik suara yang lain.

Genggaman tangan Senja di lenganku menjadi semakin erat, seolah menjagaku agar tak mengamuk pada dua manusia menyebalkan tadi. Aku menoleh padanya. Dia tersenyum, seolah berusaha menenangkanku.

“Udah sarapan?” tanya Senja.

“Lagi nggak nafsu,” jawabku, tak bernafsu.

“Jangan gitu.” Senja memejamkan kedua matanya. Dia menghela napas. “Jangan diambil hati,” katanya lagi.

Jangan diambil hati dia bilang? Kenapa justru dia yang mengatakan itu? Bukannya seharusnya aku yang mengatakan hal itu padanya. Bukankah seharusnya hatinya yang sakit, bukan aku? Tapi, kenapa justru begini? Kenapa aku yang merasa terluka dan marah?

“Ja………” panggilku.

“Ya, Rekta?”

Ah, aku tidak bisa mengatakan apa pun sekarang. Aku tiba-tiba menghentikan langkah, lalu memeluknya, ingin mengatakan padanya bahwa aku tidak apa-apa dan aku ada buat dia. Sayangnya, keberanianku tak sebesar itu.

“Nggak papa,” kataku.

Kami diam, hanya melangkah, tidak mengatakan apa-apa lagi.

“Eh, ada yang jualan gulali, Ta!” seru Ei. Dia menunjuk pedagang gulali yang sedang sibuk membuat permen dengan jarinya.

Ei tidak pernah suka gulali. Aku yang suka. Aku tahu dia melakukan itu hanya untuk mencairkan suasana di antara kami bertiga. Aku yakin dia juga mendengar kata-kata dua gadis tadi itu dan dia pasti juga tahu perasaanku tentang itu.

“Beli, yuk!” Ei melangkah mendahuluiku dan Senja.

Aku mengajak Senja menyusul Ei mendatangi penjual gulali itu. Ada beberapa tusuk gulali beraneka warna dan beraneka bentuk yang dipajang di gerobag.

“Pak, sempritan.” Ei berjongkok di sebelah pedagang gulali itu. Dia meminta dibuatkan gulali yang berbentuk peluit.

“Kamu mau, Ja?” tanyaku. Aku mengamati gulali-gulali yang dipajang.

“Buat kamu aja,” katanya sambil tersenyum.

“Hmmm.. kayak anak kecil, ya?” kataku.

“Siapa?”

“Aku.”

“Nggak pa-pa, Rekta. Aku suka,” katanya. “Kamu, apa adanya.”

Hatiku tiba-tiba terasa begitu ringan. Kekesalan dan sakit hati tadi semuanya seperti tidak lagi penting sewaktu mendengarnya mengatakan dua kata itu; aku suka.

“Bagus, ya?” Ei meniup peluit gulalinya di depan wajahku.

“Eh, berisik!” Aku mendorongnya.

Gadis kerempeng itu tertawa dan malah menggodaku, meniup lagi peluitnya.

“Nggak beli, Ta? Biasanya kamu yang paling heboh kalau liat gulali.”

“Rekta suka?” tanya Senja.

“Ah, nggak terlalu, Ja. Biasa aja. Ei aja yang heboh.”

Ei memonyongkan bibirnya padaku. “Bohong! Dia itu suka banget, Ja. Dia kan masih kayak anak kecil!”

“Heh, itu sempritan tadi dicobain kan sama mas-mas yang jualan?” tanyaku dengan muka menyebalkan.

Ei langsung mengangkat sebelah bibirnya. “Makasih hlo diingetin. Tapi nggak. Tadi aku bilang jangan dicobain! Puas?”

“Yuk ah. Lanjut!” kataku, tak peduli pada pembelaannya.

“Ja, menurut kamu Tata orangnya gimana?” tanya Ei sambil memainkan peluitnya.

Aku menoleh cepat ke arahnya, siap mencekik lehernya. Ei menjulurkan lidahnya padaku. Dia berjalan di sebelah kanan Senja, sengaja menjauh dariku.

“Baik,” kata Senja. Dia menahan tawa, tahu Ei melemparkan pertanyaan jebakan.

“Masak cuma kek gitu, Ja? Baik doang?”

“Emang apa lagi?”

“Ya apa kek gitu. Yang kamu suka dari dia apa?”

Gemes banget deh sama Ei pagi ini. Aku ingin sekali mencubit pinggangnya. Tapi dia dengan sengaja memilih posisi aman di sebelah Senja. Jadi dia bisa memasang senyum kemenangan di wajahnya. Rasanya gemas sekali padanya, tapi aku juga ingin mendengar jawaban Senja. Aku ingin tahu apa yang dia suka dariku.

Baca:  Pengertian

“Nggak ketebak,” kata Senja.

Aku dan Ei sama-sama tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari Senja, sama-sama tak mengerti dengan maksud jawabannya.

“Maksudnya?” tanya Ei.

“Iya, Rekta itu nggak ketebak. Aku belum bisa nemuin kepribadian dia yang sebenernya itu kayak apa.”

Baru sekali ini ada orang mengatakan aku ini tidak bisa ditebak. Aneh. Padahal menurutku justru aku ini adalah orang yang begitu mudah ditebak. Setiap responku adalah respon yang biasa diberikan oleh orang pada umumnya.

“Nggak, ah!” Ei tak terima. “Tata itu ketebak. Terlalu gampang ketebak malahan.”

“Mungkin aku kurang lama kenal sama Rekta.”

“Emang bagian mananya yang nggak ketebak, Ja?” Ei masih mengejar Senja dengan pertanyaannya.

Antara kesal menjadi obyek pembicaraan dan penasaran dengan setiap jawaban yang akan muncul dari Senja, aku memilih untuk diam.

“Yah, ada.” Senja tidak menjawab pertanyaan Ei. Dia tidak mau membahasnya.

“Payah, ah!” Ei kecewa.

Ei kecewa, sama denganku.

“Ramenyaaa,” seruku, mengomentari banyaknya manusia di jalan ini, berusaha mengobati kekecewaanku. “Ternyata Solo bagus juga ya kalau diliat-liat?”

“Tell me,” kata Senja.

“Nggak mau,” jawabku cepat. “Ntar hasilnya kaco lagi terus diketawain lagi.”

Senja tertawa. “Emang aku pernah ngetawain?”

“Jadi nggak pernah? Yang waktu sore itu apa? Terus yang habis olah raga itu?” tanyaku.

“Apa sih? Apa sih?” tanya Ei ingin tahu.

“Mau tau aja!” Aku menjulurkan lidah pada Ei yang langsung manyun.

Tapi aku akhirnya mengalah. Aku menceritakan pada Senja apa saja yang aku lihat. Apa saja yang menarik mataku; bangunan-bangunan tua sejak jaman Belanda yang masih terselip-selip di antara toko-toko baru, pohon-pohon peneduh jalan, langit. Semuanya.

“Ngarsopuroooo!!” seru Ei begitu kami sampai di perempatan Ngarsopuro. Tulisan Ngarsopuro yang super besar dan berwarna merah menyambut kami.

“Bapak nunggu di mana, Ja?” tanyaku.

“Depan Omah Sinten katanya.”

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. “Aku paling suka kalau jalan di sini,” kataku kemudian.

“Kenapa?” tanya Senja.

“Bagus. Suka sama efek kunonya. Sama lukisan-lukisan di dinding yang hampir runtuh di sebelah kiri kita. Nggak tau juga ya apa bagusnya. Mungkin konsepnya. Lukisan-lukisan itu memakai kanvas dinding yang sudah tinggal separuh.” Aku diam sejenak. “Patung-patung wayang yang ada di kanan jalan sana, patung-patung topeng super besar, bentuk bangunan pasarnya.”

“Unik?” tanya Senja.

“Iya, unik. Kayak lampu-lampunya juga. Aku suka kalau malem. Lampu-lampu yang disusun melingkari tiang besi diletakkan di dalam sangkar burung. Kalau malem itu cantiik banget. Tapi bikin sedih.”

“Kok sedih?” tanya Senja dan Ei berbarengan.

“Cantik, pengen bersinar, tapi terkurung. Bisa ngeliat dunia luar tapi nggak bisa bergabung. Dijadiin pajangan, nggak punya kebebasan.”

Ei memandangiku, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki berulang-ulang.

“Apa?” tanyaku bingung, menatap Ei.

“Kamu nggak lagi kerasukan, kan?” tanyanya.

“Sial!” umpatku.

“Beneran. Seumur-umur, baru kali ini aku denger kamu ngomong kayak gitu. Kayak bukan kamu, Ta.”

“Nggak ketebak, kan?” Senja menimpali. “Unik.”

Aku tidak menanggapi komentar mereka.

“Aduh!” seru seorang laki-laki dengan keras.

Semuanya terjadi sebelum dapat aku cegah. Aku merasakan Senja menghentikan langkah. Aku langsung ikut berhenti. Bagian bawah kaos dan celana Senja basah. Di depan kami, seorang laki-laki dengan sebelah tangan memegang pegangan gelas dan sebelah tangan lagi memegang ponsel, memandang kami dengan marah.

“Heh, kalau jalan liat-liat, dong!” Dia berteriak keras di depan Senja, terlihat marah sekali karena minumannya tumpah.

Aku sudah siap mengamuk sekarang, siap melabraknya. Dia yang salah. Aku tahu. Dia yang tidak memperhatikan jalan. Dia tadi berjalan sambil memainkan ponsel. Dia yang menabrak Senja. Mengapa justru dia yang mengamuk?

“Nggak bisa liat, ya?!” bentak laki-laki itu lagi.

Senja menahanku, menarik lenganku ketika aku hampir mengamuk. Kedua mata Senja terpejam, dia menghela napas, dan tersenyum.

“Maaf. Iya,” jawab Senja dengan tenang.

Kata-kata Senja itu sontak membuatku langsung menoleh ke arahnya. Aku benar-benar tak bisa mengerti dia.

“Ooooh” katanya. “Kalau nggak bisa liat itu di rumah aja, nggak usah keluar-keluar! Nyelakain orang aja!” Laki-laki itu berbalik lalu melangkah pergi.

Aku masih memandangi Senja. Kedua mataku sudah mulai panas. Ada rasa teriris-iris di dalam hatiku. Dengan cepat aku mengeluarkan tisu dari dalam tas kemudian berjongkok, berusaha membersihkan pakaiannya, tapi Senja dengan cepat menarikku berdiri.

“Nggak papa, Rekta.”

“Kenapa sih kamu kayak gini, Ja? Kenapa kamu minta maaf? Dia yang salah. Bukan kamu!” seruku dengan kesal sambil terisak.

Rasa kesal ini, rasa kesal yang sudah menumpuk dari kemarin ini, sudah tak tertahankan lagi. Aku muak dengan manusia-manusia egois yang tidak menghargai orang lain itu.

“Yang penting kan aku nggak apa-apa.” Senja tersenyum. “Udah, nggak usah diambil hati.”

Aku benar-benar tak lagi bisa menahan air mataku. Dengan cepat aku memeluknya dan menangis di sana. Aku tak habis pikir dengan apa yang dia katakan, dengan yang dia lakukan. Dia meminta maaf pada orang yang seharusnya meminta maaf padanya. Dia tersenyum pada orang yang seharusnya dia marahi. Bukannya harusnya hatinya sakit? Tapi kenapa dia masih bisa tersenyum seperti itu?

“Loh, kok nangis?” Senja bertanya bingung dengan sikapku. Tapi dia membalas pelukanku. “Nggak papa, Rekta. Aku nggak papa,” katanya lagi sambil membelai belakang kepalaku.

Aku semakin erat memeluknya. Tak lagi peduli ada puluhan pasang mata menatapku. Tak lagi peduli dengan semua penilaian orang. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku peduli padanya, bahwa dia tidak sendirian, bahwa ada aku yang tidak ingin dia disakiti.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 8

3 Comments

Leave a Reply