Yusuf Al-Khawarismi bisa dikatakan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna ; tampan, pintar, semua suka padanya. Dan sekarang dia sedang menempuh Pendidikan doctoral di salah satu universitas terbaik di Canada. Sendirian dan jauh dari sanak keluarga tidak membuat lelaki itu berubah menjadi penyendiri dan pemurung. Justru, dia malah memiliki banyak teman, baik yang dari sesama negaranya (Indonesia), maupun dari negara lainnya juga. Dari benua Asia sampai Eropa, setidaknya dari tiap satu negara, pasti ada orang yang dia kenal. Ini akibat dari sikapnya yang super friendly.
“Good Morning, Yusuf!” sapaan seorang Wanita berrambut cokelat mengalihkan sejenak pandangan Yusuf dari langit Canada yang masih gelap karena berkabut. Seperti biasa, suhu hampir selalu di bawah nol kalau disana.
“Ah, Morning, Maria. Do you have morning class today?” Yusuf balik menyapa dengan ramah.
“No I don’t, I just want to enjoy my morning time…” Maria tersenyum, membenarkan topi kerudungnya.
“Ok Maria, but I have 2 morning class’s today, so I will go first, see you…”
“See you too Yusuf, have a nice day…” Maria melambaikan tangannya. Yusuf membalas sambil tersenyum, dan ia melanjutkan perjalanan ke arah kampus, sementara gadis itu pergi ke arah yang berbeda dengan earphone di telinganya. Dari bibirnya juga mengalun senandung pelan, itu adalah pertanda yang nyata kalau dia Bahagia karena baru bertemu dengan Yusuf.
***
Yang tadi Namanya Maria Christabelle, dari Amerika. Yusuf mengenalnya sekitar setahun yang lalu, waktu dia datang ke birthday party temannya. Cantik, lincah, dan cerdas, itu adalah karakter faforit Yusuf. Maka segera saja lelaki itu larut dalam pesona gadis manis asal Arizona tersebut. Kalau mereka udah ngobrol berdua, satu dunia auto nggak direken alias nggak dianggap, pokoknya super heboh dan asyik sendiri. Dan Yusuf sangat mengakui bahwa Maria adalah gadis dengan pemikiran super terbuka, karena dia berani menanyakan banyak hal tentang Islam kepada Yusuf. Tapi selain sahabat Yusuf yang tadi, dia punya satu sahabat lagi, tapi belum datang. Tapi tunggu aja, kalau dia datang nanti, suasananya langsung berubah.
“Assalamu’alaikum, Mas Yusuf!”
“Waalaikum salam, nggak perlu keras-keras, Maryam, aku denger kok!” seru Yusuf jengkel. Maryam tertawa, dan dengan cueknya meletakkan ranselnya yang super berat di atas meja. Sementara itu, di telinganya jjuga ada earphone.
“Kamu ini dari mana aja tadi? Masak jam segini baru nyampe sih?” tanya Yusuf penasaran.
“Nggak dari mana-mana, dari Kasur, kamar mandi, terus Asian Market buat nyari sarapan,” jawabnya cuek.
“Untung aja kelas kita nggak jadi pagi ini, nggak kebayang sih kalau kamu datang pas Sir Alex udah ngajar, abis kena amuk kamu…”
“Ya kayaknya Sir Alex adalah dosen paling pengertian se-universitas ini kali ya, dia tau Canada itu dinginnya pake banget, kalau dikasih kelas pagi, ya susah, masak mau kuliah sambil bawa-bawa selimut?”
“Eh hus, pagi ini sarapan apa sih kamu? Kok malah ngaco gini ngomongnya? Jangan-jangan, tadi beli onigiri isi daging burung hantu ya?”
“Heh, Mas Yusuf tuh yang ngaco! Mana ada coba onigiri isi begituan? Eh tapi, udah kadung sampe sini, kalau nggak ada kelas mau ngapain kita? Masak main monopoli? Atau malah ular tangga?”
“Daripada main ular tangga, mending berrumah tangga aja sama aku, mau nggak?” tanya Yusuf bergurau.
“Ogah!” seru Maryam.
“La kenapa? Aku kan ganteng?” Yusuf masih terus menggoda.
“Iya, ganteng plus terlalu friendly, tidak ramah bagi seorang pencemburu seperti Maryam Anindita…” gadis itu menjulurkan lidahnya, terus pergi, meninggalkan Yusuf yang terbengong sendirian. Kalimat barusan maksudnya apa sih? Sindiran kah? Atau yang lain? Ah auk ah!
***
Iya, author tau nama mereka mirip, dan soal kedekatan juga nggak ada bedanya. Cuma Maryam ini lebih duluan kenal Yusuf, dari mereka sama-sama masih menempuh Pendidikan S1, dan sama-sama ikut program pertukaran mahasiswa ke Jepang. Kejadian itu kira-kira sekitar 4-5 tahun yang lalu. Soal sifat dan kepribadian, sebenernya Maria dan Maryam ini nggak ada bedanya kok ; sama-sama cantik, ceria dan berpemikiran cerdas dan terbuka. Tapi hati manusia mah emang gak ada yang tau, bahkan pemilik hati itu sendiri. Soalnya, ternyata hati itu jatuh dan tepat mendarat pada orang yang salah. Bukan salah apa-apa sih, salahnya mungkin Cuma karena mereka nggak seiman aja.
***
“Tuhan memang satu, kita yang tak sama, haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi?” Yusuf mendesah putus asa di dalam kamar sebuah apartemen. Sementara itu, temannya (yang punya kamar) malah sibuk ngetik-ngetik sesuatu di komputernya.
“Omar, mau sampe kapan lagu itu lo putar? Udah tiga kali tau!” omelnya.
“Kalau nggak ngerasa, ya jangan marah dong Suf, besok gue kan bakal main band di Kedutaan Indonesia disini, dan ini jadi salah satu lagu di set list-nya gitu…”
“Tapi kan kalau nggak karena ada gue, lo nggak bakalan muter lagu itu terus-terusan!” serunya kesal.
“Iya sih, gue emang punya cita-cita bikin elo naik darah aja. Lagian, gimana sih lo ini? Yang jauh dikejar, yang deket dianggurin, yang aneh tuh siapa coba?” Yusuf menghela napas. Untung lelaki berjudul*eh, Bernama Omar ini adalah juga sahabatnya, malah mereka deket itu udah dari SMA, terus keterusan kuliah bareng dari S 1, S 2, sampe sekarang.
“Gue juga heran kok Mar, kenapa bisa gue lebih tertarik kepada Maria daripada Maryam?” Yusuf garuk-garuk kepala.
“Iya ya? Kenapa bisa begitu ya? Apa karena elo merasa tertantang?” tanya lelaki itu.
“Tertantang gimana?” Yusuf nggak ngerti.
“Ya Maria kan beda sama lo, dari kewarganegaraan sampai keimanan, kalian kan emang udah beda, dan mungkin menurut lo, akan lebih seru aja kalau lo bisa menaklukan Maria yang berbeda itu, ketimbang Maryam yang emang kayak udah di depan mata dan siap di-hap kapan aja…”
“Hus, nggak gitu juga sih konsepnya. Tapi apa iya ya? Emang sih, gue selalu ngerasa nyaman kalau ngobrol sama Maryam, tapi Maria bikin gue bisa mengemukakan pemikiran yang mungkin aja nggak bisa gue utarakan kalau gue lagi sama si Maryam…”
“Nggak perlu muter-muter sih kalau jawaban ujungnya sebenernya Cuma iya doang…” sindir Omar. Yusuf tertohok. La kok bener?
***
Seminggu setelah percakapannya dengan Omar, Yusuf jadi punya keberanian untuk melakukan sesuatu yang mungkin saja akan mengubah semua alur hidupnya. Yusuf mengontak Maria, mengajak gadis itu untuk bertemu di salah satu kedai es krim dekat kampus. Kebetulan, kelas mereka hari ini sama-sama selesai di pukul dua siang, jadi, mumpung ada kelonggaran waktu, ya sekalian aja mereka manfaatkan untuk bertemu.
“Hi, sorry for waiting,” ucap gadis itu, sesaat setelah ia menemukan kursi yang diduduki oleh Yusuf.
“It’s ok Maria… Mmm, I’m sorry before, maybe after this, you will hate me or something like that…”
“Hah? Why? Why should I hate you?” Maria heran.
“Mmm, Maria, since you introduce your self at my friend’’s party a year ago, I feel something different in you….”
“What kind of feeling?” Maria penasaran.
“I like you, Maria, I want we are more than just a friend…” lega! Setidaknya Yusuf sudah menyampaikan semua yang terpendam di hatinya selama ini. Maria menatap tepat ke bola mata lelaki itu. Mata hazel-nya mencari-cari sesuatu yang mungkin saja berupa kebohongan disana, tapi dia tidak menemukan itu. Jadi, sebenarnya bisa saja ia menerima Yusuf, akan tetapi, segala perbedaan ini…
“I know you’re sincere to me, Yusuf, but I’m sorry, I can’t accept you…” Krak! Ada yang berderak patah dan terasa nyeri di dalam sana, semua hancur tak tersisa, kecuali hanya sebuah lubang kosong, lubang kosong Dimana satu benda Bernama hati pernah menetap dan merekat sempurna di dalamnya.
“I know, in my country, anything can be happened, make a relationship with different religion is easy, but, in your country, I think we can’t do that. I’m so sorry Yusuf, but I think we can still be a good friend after this, it’s more than enough. After this, continue your life, and try to forget your all your feelings in me, I know you’re able to do that…” ucap Maria pelan, berusaha untuk tidak menyakiti hati sahabat beda negaranya itu, walaupun nampaknya, hati Yusuf sendiri sudah lebur dari semenjak kalimat pertama berisi penolakan itu.
“Thank you, Maria…” hanya itu yang bisa diucapkannya. Semua grammar dan perbendaharaan kosa kata yang ia punya seolah lenyap. Dan harus diakui, bahwa dia merasakan hatinya memang sepatah dan sesakit itu. Tapi pada sisi yang lain, ia emang harus menyadari bahwa hidup harus realistis, percayalah, yang kayak gini tuh nggak melulu soal ‘aku cinta kamu, kamu cinta aku, ya udah kita jalanin aja dulu’, tapi ternyata, ada sederet risiko dan konsekuensi yang menjadi penyerta dalam setiap kecil-besarnya sebuah Keputusan. Di akhir pertemuan sore itu, Maria hanya sempat memeluk Yussuf, dan mencium pipinya juga. Tak lupa ia mengatakan, “You’re always in my heart, Yusuf, as a best friend…”
***
Usai peristiwa kepatahatiannya yang ugal-ugalan, Yusuf jadi lebih tekun belajar agar ia bisa segera menyelesaikan pendidikannya dan Kembali ke negaranya Indonesia. Dalam proses penyembuhan luka hatinya itu, baik Omar maupun Maryam, semua memberikan atensi terbaik mereka untuk lelaki itu. Terutamanya sih Maryam, bayangin, sampe ngerelain dirinya buat keluar Tengah malam dan berjalan ke unit apartemen lelaki itu yang ternyata waktu itu sedang demam tinggi. Tapi biar segimanapun usaha Maryam untuknya, hati lelaki itu ternyata tak kunjung membuka. Sekalinya membuka, itu rasanya sudah lama sekali, mungkin sejak sebelum hari bersejarah kedua yang akan kuceritakan ini.
***
“Yeeeeeey wisudaaaa! Akhirnya kita berdua luluuuuussss!” Maryam berseru girang seraya mengayun-ayunkan toganya di tangan kanan. Yusuf tersenyum, ikut merasakan kelegaan dan kehangatan yang luar biasa di dalam dirinya. Dan kehangatan itu kini jauh lebih berarti, karena ia mulai menikmati semua rasa, sentuhan, atau apapun yang diberikan oleh Maryam, ia membiarkan gadis hitam manis asal Malang itu untuk masuk pelan-pelan dan mengisi seluruh relung hatinya.
“Aku seneng banget, karena sebentar lagi bisa Kembali pulang ke Indonesia. Kalau kamu gimana?” tanya Yusuf kemudian.
“Ya kurang-lebihnya sama kok mas, oiya, aku mau ngasih hadiah kenang-kenangan lho buat sampean…” ucap Maryam seraya mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Yusuf menerima sesuatu yang bersampul emas itu dan membukanya. Degh! Jantungnya serasa terhenti seketika. Deretan kata-kata yang juga ditulis dengan warna emas pun kini menari-nari di matanya.
“Maryam Anindita dan Mochamad Omar, 29 September 2024,”
“Ka-Kalian akan menikah?” tanyanya lemas.
“Ya, begitulah. Do’akan saja, ya, aku hanya berusaha ssemampuku untuk menghargai orang yang mencintai aku dengan caranya, berikut dengan segala kegigihan perjuangannya. Cinta bisa dimulai darimana saja, termasuk dari rasa nyaman yang timbul dari sesuatu yang disebut sebagai kebiasaan. Kak Omar adalah orang yang sebenernya sering aku curhatin soal sampean dulu…” Maryam menjelaskan semuanya tanpa rasa bersalah. Dan memang sebetulnya dia tidak bersalah, karena dia Cuma berharap dan nggak menuntut agar harapannya terbalas.
“Selamat ya, aku ikut seneng. Nanti pasti aku datang…” Yusuf berucap pelan usai ia mampu mencerna segalanya dengan baik.
“Terima kasih, Mas Yusuf, Mas Yusuf adalah sahabat terbaik aku…” ucap Maryam. Yusuf mencoba tersenyum walaupun hatinya menangis. Ternyata, nnggak Cuma jatuh cinta, patah hati juga bisa terjadi dua kali. Dan Yusuf harus mencoba menerima segalanya dengan lebih lapang dada.
***
Yusuf naik ke atas pelaminan yang didominasi dengan warna emas itu, dan menyalami kedua mempelai yang tampak sangat serasi dan Bahagia. Sumpah demi apapun, Maryam juga kelihatan cantik banget hari ini.
“Selamat ya kalian, samawa til Jannah pokoknya…”
“Makasih mas, kukira sampean gak datang lho…” Maryam tersenyum, menjabat erat-erat tangan sahabatnya tersebut.
“Ya datanglah, gila-gila, kalian berdua kan sahabatku, rugi dong!” Yusuf balas tersenyum, bahkan ia nyaris tertawa. Kemudian ia memeluk Omar, dan mereka saling berbisik-bisik. Maryam yang merasa tidak diajak hanya bisa mencebik kesal dan malah mengarahkan jjuru kamera untuk mengambil potret mereka setelah ini. Tuh, kan, kubilang juga apa, penyesalan itu pasti adanya di belakang, yang di depan itu Namanya registrasi sama pembayaran uang muka. Sekarang kalau udah begini, siapa yang mau disalahin coba? Maria menolak, Maryam pun lenyap. Nasiiib-nasiiib.
SELESAI
ZELDA MAHARANI
emang benar si. penyesalan itu datangnya diakhir.
Makanya, jangan menyia-nyiakan sesuatu yang masih ada ya 🤗 btw, makasih udah mampir ❤️🙏
ok sama-sama.