Melayang

“Dimana?”

 “Dalam perjalanan, Sayang.”

 

“Jangan lama-lama ya. Cepet sampek.”

 

“Iya, sabar ya.”

 

Emm.. ternyata dia dalam perjalanan. Tapi, kenapa selama ini ya. Seharusnya sejam yang lalu sudah sampai.

 

Tok… tok… tok…

 

“Iya masuk, Sayang.”

 

Seperti biasanya, senyumnya selalu mengundang senyumku. Aku suka senyumannya. Matanya yang biru menenangkan. Aku suka matanya. Dia mencium keningku dengan kelembutannya, kelembutan seorang kekasih. Seakan panas tubuhku menjadi normal kembali. Aku suka ciumannya. Tapi, kenapa dia memakai…

 

“Parfum baru ya?”

 

“Hah? Nggak, Sayang. Ini parfumnya Mama. Tadi pagi aku nganterin mama ke mall. Mungkin nempel dikit”.

 

“Oh…”

 

“Kapan mau sembuh?”

 

“Sekarang udah sembuh kok”

 

Dia tersenyum lagi, menyusul senyumanku. Seminggu ini aku hanya terbaring dirumah, setelah sebulan menikmati suasana yang sama sekali tak nyaman di rumah sakit. Seharusnya saat ini aku masih di rumah sakit, tapi aku memaksa pulang. Mama mengizinkan, tapi aku harus rajin minum obat. Itu syarat dari Mama. Dan nggak boleh telponan sama cowok lain. Yang ini syarat dari Indra. Dia cowokku yang paling pencemburu. Tapi aku suka. Setelah kecelakaan mobil yang tak dapat kuingat itu, kakiku sulit untuk digerakkan. Seperti ada bola besi besar yang terikat dikakiku. Tapi tak sakit, ini yang aku takutkan. Kenapa tak sakit?

 

Tapi, ada yang lebih aku takutkan, sebagian memoriku hilang setelah kepalaku terbentur dengan keras ke setir mobil. Sungguh aku tak dapat mengingat sesuatu yang penting sebelum kejadian itu. Sesuatu yang sangat penting. Tentang Indra sepertinya. Kenapa kalian tak percaya bahwa aku benar benar tak ingat? Karena aku tau bahwa aku mengalami kecelakaan mobil? Karena aku tau bahwa kepalaku terbentur keras ke setir mobil? Percayalah, karena itu semua aku tau dari cerita Mama. Tapi aku memahami ketidakpercayaan kalian. Aku juga begitu. Aku tak lagi percaya sepenuhnya pada Indra. Padahal aku benar-benar lupa apa yang aku saksikan tepat sebelum kejadian itu. Dan mungkin itulah penyebab kecelakaan mobil itu. Aku tak tau. Aku lupa.

 

“Ngelamunin apa, Sayang?”

 

“Em.. Nggak kok. Cuma mikir aja. Kapan aku bisa sembuh? Kapan aku bisa jalan lagi?”

 

“Sebentar lagi kamu pasti sembuh kok. Asal…”

 

“Apa?”

 

“Setia.”

 

Hehem… kami tertawa. Tapi, tiba-tiba aku teringat akan memori yang hilang itu. Apa ada kaitannya dengan kata yang baru saja Indra ucapkan? Apa lagi yang bisa menjadi penyebab ketidakpercayaan seorang cewek terhadap cowoknya selain karena ketidaksetiaan? Aduh…kepalaku pening.

 

“Kenapa Sayang?”

 

“Nggak apa-apa kok.”

 

“Hayo mikirin apa? Jangan mikir yang berat-berat dulu ya. Kepalamu masih manja itu.”

 

“Nggak. Aku nggak mikirin batu kok.”

 

“Bisaaaaaaaa aja,” dia tersenyum sambil menjewer hidungku. Harusnya kan telinga. Sudahlah…

 

Aku mulai bosan dengan pemandangan kamarku. Aku tak ingin hanya memandangi tembok-tembok itu setiap saat. Tembok berwarna biru muda, sama seperti piamaku. Warna favoritku. Dengan lukisan abstrak yang enak dipandang. Iya, karena itu lukisanku sendiri. Dan beberapa foto fotoku dengan Indra. Tapi kenapa foto itu tak sejuk lagi dipandang? Pasti ada kaitannya dengan memoriku yang hilang itu. Memori tentang suatu fakta. Tentang Indra, sepertinya.

 

Sayang. Sudah malem. Aku pulang ya.”

 

“Besok kesini lagi kan?”

 

“Iya. Aku pulang dulu ya.”

 

“Eem. Hati-hati dijalan Sayang. Langsung pulang ya.”

 

“Iya.” Indra mengakhiri kalimatnya dengan kecupan di keningku. Aku suka.

 

Tak bosan-bosannya jarum jam itu berputar ditempat. Dan masih berputar. Cahaya rembulan menembus kaca jendela dan merayap ke seluruh tubuh. Bersamanya menyelinap melewati jendela, aroma angin malam yang mendesir membelai telinga. Tak kutemukan memori itu saat aku terjaga. Mungkin aku harus tidur untuk menemukannya. Tapi, saat ini aku ingin menulis. Diary.

 

Aku bingung, Sayang. Aku bingung. Aku merasa kehilangan banyak memori. Tapi bukan karena jumlahnya aku merasa bingung. Tapi, sepertinya ada memori yang hilang tentangmu. Memori yang melayangkan separuh kepercayaanku terhadapmu. Entah apa. Dapatkah kau menceritakannya? Mungkin kau tahu. Ceritakan dengan jelas kepadaku. Apakah memori itu yang membuatku mengalami kecelakaan itu? Apa itu tentang sebuah kesetiaan? Apa yang aku lihat saat itu? Apakah kau yang aku lihat? Tapi, apa yang kau lakukan hingga aku mengalami kecelakaan itu? Atau bukan kau. Lalu siapa? Dan apa? Semoga bukan karena orang ketiga. Karena aku nggak akan suka itu. Indra….

 

Cerita klasik. Ingatan itu muncul melalui mimpi. Seorang gadis disana. Aku tak tau siapa. Bersamanya seorang lelaki. Hah…Aku tak ada urusan dengan mereka. Aku pergi saja, tancap gas. Melajuuuuuuuuuuuuu….. Tapi tunggu! Reeeeeemmm…

 

“Indra!”

 

“Shin…Shinta. Tunggu. Ini bisa kujelaskan.”

 

Jalanan tiba-tiba terasa sepi. Hanya aku dan Kijang biruku disana. Dan seorang yang kupercaya namun tak lagi. Bersama seorang gadis. Entah aku masih bisa menyetir atau tidak dalam keadaan yang seperti ini. Mari kita coba. Klerk..kunci itu masuk ketempatnya. Entah bagaimana urutan selanjutnya, yang aku tau mobil ini sudah berjalan. Melaju kencang. Hah….kuda mana yang mampu menyusulku. Ya Tuhan. Aku hanya menaiki sebuah mobil. Memang tanpa kontrol. Ampunilah aku. Sebenarnya, terserah Kau mau mengampuniku atau tidak. Beberapa detik yang lalu jalanan itu tetap kosong.

 

Tapi, tiba aku menabrak sesuatu. Padahal kosong. Kosong sama sekali, tak ada apa-apa. Tapi mengapa mobilku berhenti, seperti telah menabrak? Entah… aku hanya merasa mengecap cairan yang harusnya mengalir didalam tubuhku. Darah. Rasanya sungguh tak enak. Lalu….gelap.

 

Aku terbangun. Memang sebagian mimpi, tapi darah itu bukan cuma mimpi. Aku merasakannya mengalir melalui hidung. Entah apa yang terjadi. Aku hanya merasa pusing. Hanya sedikit awalnya. Tapi, ternyata ia ingin menemani jarum jam yang berputar ditempat itu. Hanya saja, ia memilih berputar di kepalaku. Rasanya… sungguh. Obat. Mana obatku. oh… terima kasih. Ada di meja yang berdampingan dengan ranjangku. Aku bisa menggapainya dengan mudah. Tapi.. tiba-tiba gelap. Hitam. Dan tiba-tiba putih. Akhirnya aku tersadar.

 

Syukurlah. Ternyata aku masih punya waktu. Banyak orang disana. Tapi, mengapa tak ada yang mempedulikanku? Aku disini, di lantai. Mengapa kalian hanya berdiri? Mengapa tak ada yang membantuku bangun? Melihat pun tidak. Apa ada orang lain yang pingsan? Di kamarku? Siapa? Sudahlah. Aku bangkit sendiri saja. Lagi pula aku sudah merasa sehat.

 

Sekarang aku telah berdiri dan berencana melangkah kearah kerumunan yang… Eh.. hei…aku bisa berdiri dan bahkan berjalan. Mamaaaaaaa….. Indra…….. aku bisa jalan. Lihat. Aku menoleh ke arah kerumunan yang meninggalkan kamarku. Tapi tak ada yang mendengarkan. Mereka keluar. Menggotong seseorang. Aku berlari. Hei.. aku bahkan bisa berlari. Menuruni tangga dan satu meter lagi sampai kepada gadis yang digotong itu. Sepertinya gadis, atau seorang wanita. Karena ia berkerudung. Itu mama. Mama kenapa? Tapi bukan mama yang tadi digotong dari kamarku. Mama memakai baju dres hiijau. Sedangkan yang aku lihat tadi memakai piama berwarna biru, sama seperti piamaku.

 

Aku mengejarnya. Aku ingin tau siapa dia sebelum ia sampai di mobil ambulan. Dua meter lagi. Tiba-tiba lariku melambat. Semakin melambat, seakan aku berjalan diudara. Dan benar saja. Kini aku melayang. Tetap aku berusaha menerjang-menerjang udara untuk menggapainya. Ada Indra disebelahnya. Hah…aku benci dia. Aku hampir bisa melihat gadis itu. Iya, dia seorang gadis. Aku berhasil melihat rambutnya. Kini dahinya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya. Itu aku.

 

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *