Masterpiece

“Setiap seniman mesti memiliki masterpiece,” ujar Wira dalam hati. Ia punya hobi membuat cerpen-cerpen. “Aku mau membuat sebuah Masterpiece” ujarnya lagi.

Wira teringat tentang sebuah film yang pernah di tontonnya. Kabarnya, film tersebut merupakan masterpiece sineasnya. “Eiffel I’m in love” yang menurut Wira sih kurang menarik. “Kok yang gituan bisa jadi ‘masterpiece’ sih?” Wira bertanya-tanya dalam hati.

Malam terus merangkak menyertai Wira yang masih diam dalam lamunannya. “Gue harus bikin Masterpiece yang lebih bagus daripada dia!” katanya bersemangat. Tapi semangat itu dibarengi dengan kebingungannya dalam mencari topik ceritanya. Wira mengklak-klik komputernya mencari Icon internet explorer. Berhasil. Ia mengetikkan beberapa kata sebagai keyword dan menklik ling serch pada komputernya, “girl friend

Hei guies I want to tell you something. Kemaren gw baru aja putus sama cewe gue yang cool bgt. Ya gimana ya….. MY GIRL FRIENDS. Hei guies, lo pada percaya akan cinta? Kalo gw sih ga tuh! Buktinya aja, gw bisa pacaran sama 7 cewe……

*****

Wira semakin pusing. Bukan itu yang dicarinya. Ia memang mengetikkan keyword tentang Girl Friend, tapi kok yang keluarnya malah beginian sih! Gumamnya dalam hati. Sambil memutar lagu-lagu yang ia anggap sok romantis, Wira menyandarkan dirinya di depan komputernya.

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu/ aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu…./ karena langkah merapuh tanpa dirimu…/ Karena hati tlah letih….

“Ih sok amat sih ni orang! Coba kalo dihadapkan sama tiga cewe cakep, pasti dia sikat semuanya tuh!” Wira marah-marah.

Di bayang wajahmu/ Kutemukan kasih dan hidup/ Yang lama lelah aku cari/
Dimasa lalu……

 “Ah ini apaan lagi! Emangnya wajah perempuan itu bisa memancarkan kasih?” Selama ini Wira memang kebal terhadap perempuan. Dari yang lugu kaya Mira, sampe yang cool abis kaya Arini sekalipun tidak  mampu meluluhkan hatinya.

Wira jadi emosi. Ingin rasanya ia membanting apa saja yang ada di depannya. Tapi, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Seandainya ia menuruti kata hatinya, pasti orang tuanya yang super galak itu bangun dan memarahinya.

Wira mematikan komputernya. Ia menghenyakkan dirinya di atas kasur empuk kamarnya. “Hmmm, cape sekali rasanya.” pikirnya.

 Alam imajinasinya mulai menjelajahi dunia. Ia membayangkan sebuah peluncuran film yang jauh lebih bagus dari Eiffel I’m In Love. Semua orang bertepuk tangan. Ia dinobatkan sebagai sineas muda paling berbakat dan menjadi pemenang utama piala Citra tahun 2010. Ia mendapat banyak uang dan hadiah. Para undangan menyalaminya. Dan, …..

“Wira! Wir! Bangun nak, sudah pagi. Cepat siap-siap ke sekolah. Bapakmu nanti ada meeting jadi harus berangkat lebih pagi. Cepet!…..” suara ibu membangunkannya.
“Makasih…makasih. Saya akan membuat karya yang lebih bagus lagi tentunya” katanya setengah sadar.

“Apa-apaan kamu! Cepet bangun!” teriak ibu sambil mengguncang-guncangkan tubuh kekarnya.

Wira akhirnya bangun juga. “Ganggu aja!” gumamnya dalam hati. Wira kesal. Ia bergegas mandi dan menghabiskan sarapannya.

“Gue mesti jadi apa yang ada dimimpi Gue semalem. Sekarang baru tahun 2007, masih ada 3 tahun lagi untuk membuat ‘masterpiece’ itu.” tekadnya. Wira teringat kalau Leonardo Dafinchi menyelesaikan Masterpiecenya “THE LASS SUPPER” dalam waktu sepuluh tahun. “Cukup tiga tahun. Ga usah sampe lama-lama amat.”

*****

Bulan berlalu, tahun berganti. Sekarang sudah tahun 2008. Wira sudah mengalami sedikit kemajuan. Paling tidak, dia sudah bisa menentukan judul cerita yang akan menjadi Masterpiecenya. “AKU TAK PERLU CINTA” demikian judul dari ceritanya. Judul yang berasal dari hatinya. Wira tak perlu cinta baik dari orang tua, maupun teman wanita. Yang pasti, Wira hanya ingin menjadi sineas muda paling berbakat. Ia ingin membuktikannya kepada orang tuanya kalau ia bisa lebih baik daripada kakaknya, Andra yang seorang penyanyi. Hanya itu yang pasti. Soal yang lain-lain, ia tidak tahu.

Tapi berhubung sekarang sudah bulan April, Wira terpaksa menunda pekerjaan membuat masterpiecenya itu. Ia harus berkonsentrasi untuk menghadapi ujian akhir nasional agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang ia inginkan. Wira bercita-cita menjadi novelis sekaligus sineas muda yang hebat.

*****

Ujian sekolah sudah berlalu. Sekarang, Wira ada di halaman sebuah fakultas seni sastra universitas negeri terfavorit di ibu kota ini. Wira cukup bangga. Ia sudah mampu membuktikan kepada orang tuanya kalau ia tidak seburuk yang mereka kira. Dan soal “AKU TAK PERLU CINTA”, yang diharapkan akan menjadi masterpisnya, Wira sudah menemukan alur ceritanya. Toh, cerita itu lebih mirip biografinya bukan? Ia tinggal menceritakan tentang seorang anak yang tidak pernah mendapat kasih sayang dari ayahnya. Tentang anak yang selalu dikucilkan ibunya karena kakaknya yang dianggap lebih pintar darinya. Dan seorang anak yang tidak butuh teman wanita karna ia menganggap mereka hanyalah makhluk sampah saja.

Tetapi semua itu berubah ketika suatu hari ia bertemu dengan seorang gadis yang sekilas melihatnya berjalan di koridor kampus. Kelihatannya, gadis itu se-fakultas dengannya. Sekarang, tampaknya sang pangeran telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis yang bertemu dengannya di kampus ini. Pertanyaannya, bagaimanakah dengan sosok Wira yang tak perlu cinta?
Sepertinya, Wira sudah melupakannya. Ia melupakan kerangka cerpen yang dirancangnya dan yang akan menjadi masterpisnya.

Wira bagaikan detektif kampus yang selalu mengawasi gadis incarannya. Belakangan diketahui bahwa nama gadis itu Nirmala. Nama yang cukup manis di telinganya. Dan yang lebih membuat Wira kagum, ternyata Nirmala adalah anak seorang penulis terkenal era delapan puluhan. Tapi ia tak pernah memamerkan statusnya tersebut.

Perlahan tapi pasti, Wira mulai mendekati gadis itu. Suatu hari, ia bertemu dengan Nirmala di kantin kampus. Dengan agak malu-malu, ia mendekatinya.

“Hai Nirmala.”

“Hai juga Wir. Panggil aja Mala” balasnya ramah.

“gimana kabarmu?”

“Ah, aku baik-baik saja.” jawabnya sambil memandangi wajah Wira.

Sejak pertemuan itu, mereka jadi sering bertemu. Wira sering menanyakan pendapat Nirmala tentang sebuah masterpiece. Yang lebih membuatnya kagum, Mala selalu menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan ramah. Dan beberapa waktu kemudian, Wira memintanya untuk menjadi kekasihnya. Permintaan itu diterimanya dengan bahagia.

Meskipun demikian, Wira tak pernah menyelesaikan kerangka karya “AKU TAK PERLU CINTA” yang sedianya menjadi masterpiece itu. Ia ragu. “bukankah aku sekarang perlu cinta?”

*****

 Waktu terus berlalu. Semester I di universitas sudah dilaluinya. Suatu hari, Wira menemukan rancangan kerangka cerpennya yang tak akan pernah selesai itu. Ia memasukkannya ke dalam tas untuk ditunjukkan pada Mala.

Keesokan harinya, ketika jam kuliah telah berakhir, Nirmala masuk ke kelasnya. Wira berpikir sekali lagi. Niat untuk menunjukkan kerangka cerpennya ia urungkan. Tapi, di saat yang tidak tepat, mata Nirmala yang awas itu melihat secarik kertas yang disembunyikannya dengan cepat.

“Apaan tuh?” tanyanya penasaran.

“Bukan, …. bukan …. apa-apa.”

Wira tak menyadari tangan ramping itu sudah memegang tasnya.

“Liat dong.” pintanya manja.

“Udahlah La, bukan apa-apa kok.”

Nirmala merogoh tas itu. Berhasil! Ia menemukan apa yang dicarinya. Sekilas ditiliknya kertas itu sebelum ia berlalu tanpa bekas meninggalkan Wira yang masih termangu menyaksikan semua yang terjadi.

Beberapa hari Nirmala tak menghubunginya. Hubungan telepon yang biasanya rajin dilakukan, sekarang tak pernah lagi. Wira sadar kalau ia telah membuat kekasihnya marah. Niat untuk minta maaf pun sudah dibulatkannya. Hanya saja ia tak punya kesempatan untuk melakukannya. Sehingga waktu mereka bertemu di kantin, Wira langsung mendekatinya.

“Maafin aku La.” pintanya lembut. “Cerpen itu emang mau aku buat. Rencananya, itu mau jadi masterpieceku. Sebenernya cerita itu tentang kehidupan aku sebelum bertemu kamu. Tapi bener La, aku ga mau meneruskannya” jelasnya panjang lebar.

“Terus, apa maksud kamu bawa kertas itu ke kampus? Pake nyumput-nyumputin segala lagi!” suara Mala meninggi.

“Aku cuma mau nunjukkin aja ke kamu, La. Aku mau minta pendapatmu.”

“Haaah,” Nirmala menarik nafas panjang. “Aku ga setuju dengan jalan ceritanya.”

“Trus menurut kamu gimana cerita yang bagus?”

“Aku ga tau!” Nirmala meninggalkan kantin. Kata-kata terakhir dari Mala begitu menyayat hati Wira. Kini ia menyadari sungguh-sungguh kalau dia perlu cinta.

*****

 Hari telah berganti malam. Di sebuah ruangan 3×5, seorang anak manusia duduk merenungi nasib. Pikiran-pikiran itu sejak tadi siang beterbangan di ruang otaknya yang kalut. Ditulisnya sebuah kalimat dalam buku harian yang dipegangnya:
“AKU PERLU CINTA”

Lama Wira termangu-mangu merenungi nasib yang dia dapat hari ini. Kalimat itu dibacanya berkali-kali, sambil menitikkan air matanya.

“Aku perlu cinta!”

“Aku perlu cinta!”

“Aku perlu cinta!”

Mendadak sepintas wajah Mala terbayang dibenaknya. Berganti dengan cita-citanya untuk menjadi seorang novelis dan sineas paling berbakat dan pemenang piala Citra tahun 2010 tersebut. Ditiliknya buku hariannya sekali lagi. “AKU PERLU CINTA.”

Sebuah gagasan cemerlangpun timbul dalam pikirannya. “Kenapa ga bikin cerpen yang judulnya ‘AKU PERLU CINTA’?” pikir Wira. “Gue harus nemuin Mala. Gue harus bicara mengenai gagasan ini!” Wira kini bersemangat. Dipandanginya wajah cantik yang bertahta di halaman depan buku harian tersebut sambil berdoa.
“Ya Tuhan, semoga saja dia mau mengerti dan membantuku untuk mewujudkan cita-citaku. Amin.”

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu…/ Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu…. / Karena langkah merapuh tanpa dirimu…/ Karena hati tlah letih….

*****

 Keesokan harinya, Wira mencari Nirmala. Ia menemukannya di sudut perpustakaan kampus. Disodorkannya secarik memo.
“AKU PERLU CINTA”

Nirmala membacanya. Dia berpikir sebentar sebelum berbicara. “Sekarang kamu udah perlu cinta?”

“Ya, La.”

“Trus apa maksud tulisan ini?”

“Judul masterpiece” jawab Wira tegas.

“Bagus. Tinggal bagaimana kamu mengembangkan jalan ceritanya.”

“Makasih ya La.”

By the way, kamu udah makan belom?”

“Belom sih. Emangnya kamu mau nraktir aku?” bibir Mala tersenyum kecil.

“Ok. Sebagai tanda permintaan maafku dan buat ngerayain judul masterpiece yang baru, gimana kalo kita makan diluar siang ini?”

Mala mengangguk. Merekapun meluncur ke parkiran kampus. Disitu sudah menunggu Shogun yang siap mengantar mereka ke resto yang sudah disepakati.

Selama makan, Wira menceritakan ambisinya untuk membuat film dari cerpennya. Film spektakuler yang dia harap mampu membawanya ke ajang piala Citra yang diinginkannya. Malapun dengan senang hati menawarkan bantuannya. Sebagai keluarga sineas yang mondar-mandir di perfilman Indonesia tahun delapan puluhan, tentu ayahnya punya relasi sutradara dan para pemain yang siap membintangi filmnya tersebut.

“Sekarang, kamu tinggal merampungkan konsep ceritanya saja. Aku yakin kamu mampu Wir. Aku yakin dengan kerja keras, kamu bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Tapi, kamu harus cepat. Sekarang sudah tahun 2009 kan?”

*****

 Wira mulai menulis. Ia terus menulis. Menumpahkan seluruh isi jiwa dan imajinasinya. Untuk membuat sebuah masterpiece. Wira kini menyadari kalau membuat masterpiece membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Seniman juga harus melibatkan seluruh emosi dan perasaannya. Bukan hanya sekedar ambisi belaka. Masterpiece sebenarnya sama seperti karya-karya lainnya. Ia butuh rasa, ekspresi dan emosi dari penciptanya.

Diakhir semester II dalam kuliahnya, Wira sudah hampir merampungkan masterpiece tersebut. Tapi, nasib buruk kembali mendatangi pemuda itu.  Suatu sore yang cerah, Wira merangkai akhir daripada ceritanya “AKU PERLU CINTA”. Saat itu telepon tiba-tiba berdering. Karena ia adalah satu-satunya orang yang ada di rumah saat itu, terpaksalah ia meninggalkan tulisannya untuk mengangkat telepon tersebut.

“Halo, bisa saya bicara dengan keluarga Bapak Hadi?”

“Ya, saya Wira, putranya.” jawabnya formal.

“Kami tidak menemukan nama Anda dalam kartu keluarga Bapak Hadi.”

Wira tersentak. Bisa-bisanya bapaknya itu tak memasukkan namanya dalam daftar keluarga Hadi.

“Tapi benar Pak, saya putranya. Wira Kusuma Hadijaya.”

“Ya sudahlah, itu tidak penting. Kami cuma mau ingin memberitahukan kepada keluarganya, bahwa beliau beserta istrinya menjadi salah satu korban meninggal dalam kecelakaan pesawat tadi siang dalam perjalanan Jakarta-Surabaya.”

“Apa?” suara Wira meninggi.

“Kami dari pihak Bianglala Airline, mengucapkan maaf yang sedalam-dalamnya atas peristiwa ini.”

“Lantas?”

“Anda harus memberitahukan keluarganya untuk menjemput jenazah mereka di rumah sakit  dan menandatangani berita acara besok pagi.”

Setelah sambungan terputus, Wira segera memberitahukan kakaknya, Andra mengenai hal ini. Kakaknya mengatakan bahwa ia akan mengurus semuanya. Satu hal lagi yang mengganjal di benaknya, “Mengapa ayahnya tidak memasukkan namanya dalam kartu keluarga?”

Belakangan, Wira diberitahu bibinya kalau sebenarnya ia adalah anak pembantu di rumah itu. Karna ibunya meninggal saat melahirkannya, maka keluarga Hadijaya diberi tanggung jawab untuk merawatnya.

“Lalu, dimana ayah kandung saya?”

“tidak ada seorangpun yang tahu dimana ayahmu.”

Satu lagi ganjalan yang menghalanginya meraih cita-cita di puncak pengharapannya. Kekisruhan keluarga yang harus dihadapinya. Untunglah, Mala selalu menemani dan menyemangatinya.

*****

Di akhir tahun 2009, Wira berhasil merampungkan karya masterpiece nya.
Segera setelah proses yang panjang, cerpen itu diangkat sebagai sebuah film layar lebar yang meledak di pasaran. Sebagai sutradaranya adalah Wira sendiri. Tanpa disangka-sangka, ia mampu melakukan pekerjaan itu dengan mulus. Dalam waktu singkat, film yang dibintangi artis-artis yang namanya sudah tak asing lagi itu memenuhi semua bioskop di seluruh negeri ini.

*****

“Kisah ini menggambarkan tentang seorang pemuda yang tidak pernah mendapat perhatian dari orang tuanya. Dalam film tersebut, sang sutradara menggambarkan betapa anak tersebut haus akan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya. Sampai akhirnya petualangan sang pemuda berakhir saat seorang gadis menerima cintanya. Ia berarti segala-galanya bagi sang pemuda. Anda tertarik?” Demikian sebuah sinopsis yang tertera di sampul CD dan pamflet yang terpasang di gedung bioskop utama.

Cerita tersebut disukai semua kalangan baik anak remaja maupun dewasa.

“Ceritanya cukup berkesan di hati saya” komentar seorang penonton yang diwawancarai seorang wartawan.

“Cerita yang bagus, penuh emosi dan ekspresi. Pantas kalau dibilang karya ini adalah masterpiece dari penciptanya” sela yang lain.

Di akhri tahun 2010, saat ajang FFI (Festifal Film Indonesia) mengumumkan peraih piala citra tahun ini, tersebutlah nama Wira sebagai sineas muda paling berbakat dengan karyanya “AKU PERLU CINTA”.

Wira menerima piala tersebut dengan mata berkaca-kaca. Ketika tiba saatnya bagi sang seniman menyampaikan sepatah dua patah katanya, Wira tampil didampingi Nirmala, sang motivator.

“Terimakasih bagi semua yang telah membantu saya dalam meraih piala kebanggaan ini. Ini adalah momen yang paling berharga dalam hidup saya. Dan dengan hal ini, akan menambah semangat para penulis muda lainnya untuk terus berkarya.
Sebagai masterpiece bagi saya, karya ini sangat berarti. Dan yang memotivator saya untuk dapat meraih piala ini adalah…” Ia berhenti berbicara.
“Nirmala!” serunya mantap.

Riuh tepuk tangan para penonton memenuhi ruangan. Para seniman lain memberi selamat. Dalam acara itu hadir pula kakak angkatnya Andra beserta istri, bibi dan paman angkatnya. Kakaknya menyanyikan sebuah lagu lama yang cukup manis terdengar.

Dibayang wajahmu/ Kutemukan kasih dan hidup/ Yang lama lelah aku cari/Di masa lalu

*****

Wira kini berbangga. Masterpiece pertamanya sudah menjadi pemenang seperti yang diharapkan. Tinggal menunggu karya-karya selanjutnya dari sang seniman. Wira percaya, ini bukan masterpiece terakhirnya. Masih ada masterpiece-masterpiece lain yang akan dihasilkannya.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Ria Andriani

Kontributor Kartunet.com dari Sydney, Australia

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *