Asmara di ujung peluru
Di suatu pagi, seorang anak muda sedang berjalan diantara pepohonan. Ia berjalan dengan santainya. Diamatinya pepohonan yang berjajar dipinggir pinggir jalan.
“Hmm, indah sekali pagi ini!”. Gumamnya.
Dia terus saja berjalan. Dipundaknya memikul sebuah cangkul. Rupanya, ia barusaja pulang dari mengairi sawahnya. Matahari mulai memunculkan diri. Jalanpun mulai ramai. Banyak orang berlalu Lalang. Diantara sekian banyak orang yang melintas, ia melihat seorang gadis berpakaian hijau pupus sedang berjalan dengan membawa keranjang yang penuh dengan bahan-bahan makanan. Nampaknya ia barusaja selesai berbelanja. Anak muda itu pun menghampirinya.
“Selamat pagi nisanak…”. Sapanya.
“Selamat pagi…..”. Balasnya.
“Sepagi ini, kau darimana?”.
“Aku dari membeli beberapa kebutuhan dirumah yang agaknya mau habis. Kakang sendiri darimana?”. Notes: Kakang adalah sebutan kakak sebagai laki-laki.
“Oh, aku dari mengairi sawahku. O, iya. Siapa namamu?”.
“laras, kang.”.
“Hmm, nama yang bagus…”
“Ah kang, itu nama pemberian orangtuaku.”.
“yaya. Tentunya orangtuamu mempunyai harapan dengan namamu itu.”.
“Kakang sendiri belum menyebutkan nama kakang…”.
“o, aku sampai lupa. Namaku teja.”.
“Ah, sebuah nama yang bagus…”.
“Ah kau, jangan terlalu memuji.”.
“Baiklah kang, aku akan akan pulang.”.
“Dimana rumahmu?”.
“Rumahku terletak disebelah simpang empat yang ada tanaman bunga soka di pinggir jalan.”.
“o, baiklah. Aku juga akan pulang.”.
Teja pun lalu melanjutkan perjalanan pulang. Sesampainya dirumah, ia langsung membersihkan diri di pakiwan. Setelah selesai, teja bergegas menuju ke ruang dalam. Didapatinya ayah,, ibu, dan adiknya sudah menunggu.
“Darimana sajakah kau, teja?”. Tanya ayahnya.
“Dari mengairi sawah, ayah.”.
“Mengapa baru pulang?”.
“Tadi, ketika aku akan pulang, ditengah perjalanan, aku berkenalan dengan seorang gadis yang bernama laras, ayah.”.
“o, jadi, kau telah berkenalan dengan gadis itu?”.
“Iya ayah.”.
“Berhati-hatilah ngger. Dia bukanlah anak orang sembarangan. Ayahnya merupakan salah seorang anak buah kumpeni.”.
“Jadi, ayahnya itu seorang penghianat?”.
“Begitulah, ngger. Tetapi keluarganya tidak setuju. Yah, keluarganya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia termasuk orang yang keras. Jadi keluarganya tidak berani menentang kehendaknya. ”.
“Hati-hatilah kakang. Hindari pertemuan dengan gadis itu. Aku tidak ingin keluarga kita terkena masalah.”.
“Aku akan mencobanya, warni.”.
Untuk beberapa lama, ruangan itu menjadi hening. Mereka melanjutkan makan tanpa berbicara lagi.
Sejak pertama kali bertemu dengan laras, teja selalu teringat pada gadis itu. Dicobanya untuk melupakanya, namun ia gagal. Bayangan gadis itu justru semakin kuat mengcengkram ingatanya.
Matahari pun terus bergerak ke barat. Disebuah rumah yang berhalaman luas, berdiri seorang gadis. Gadis itu termangu-mangu. Dipandanginya langit yang berwarna merah saga. Pandanganya beralih ke berbagai tanaman bunga yang berjajar rapi. Pikiranya melayang-layang tak tentu arah.
“Anak muda yang bernama teja itu sangat ramah, baik dan tampan. Oh, kenapa aku jadi begini? Apakah aku suka kepadanya?”.
Ketika gadis yang tak lain adalah laras itu masih saja berangan-angan, terdengar derap langkah beberapa ekor kuda. Seketika itu juga, Angan-anganya lenyap. Bayangan teja pun hilang. Di regol halaman, Nampak beberapa orang kumpeni belanda. Laras bergegas masuk. Ia tidak ingin terlihat oleh orang-orang itu. Namun ia tidak menyadari, ketika ia masuk ke rumah melalui halaman samping, seorang perwira kumpeni sempat melihatnya.
Laras bergegas masuk kedalam biliknya. Laras mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara gaduh di pendapa rumahnya.
“Huh, aku muak dengan suara-suara itu. Suara orang-orang yang kasar. Pasti sebentar lagi mereka minum-minum.”.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, laras mendengar suara dentingan gelas. Laras menarik nafas Panjang.
Sementara itu, di pendapat. Ayah laras yang bernama ki reksa menemui tamu-tamunya. Ki reksapun menemani mereka dalam perjamuan itu. Setelah selesai, mereka larut dalam pembicaraan yang penting. Sampai tengah malam, para perwira kumpeni itu masih berada dirumah ki reksa. Pembicaraan mereka nampaknya telah selesai. Kembali mereka menenggak tuak-tuak mereka. Namun ada salah satu perwira yang nampaknya minum terlalu banyak. Perwira itu mulai mabuk. Bicaranya pun ngalor-ngidul. Ditengah-tengah mabuknya, perwira itu sempat menyinggung-nyinggung anak ki reksa.
“Tuan reksa, tadi ketika aku memasuki halaman rumah ini, aku melihat seorang gadis. Gadis itu apamu?”.
“O, itu anakku. Namanya laras.”.
“Cantik sekali.”.
“Ah, dia adalah seorang gadis desa biasa.”.
Seorang kawan perwira itu menyahut, “sudahlah, ayo kita kembali ke markas.”.
Merekapun segera berpamitan kepada ki reksa. Sejenak kemudian, pendapa rumah itu menjadi sepi. Ki reksa memanggil salah seorang pembantunya untuk membereskan pendapa itu.
Malam semakin larut. Terdengar suara kentongan dengan irama titir. Irama itu menunjukan waktu tengah malam. Seorang anak muda, yang tak lain adalah teja itu sedang berjalan-jalan. Hembusan angin dingin menerpa wajahnya. Ketika teja melewati gardu peronda, ia berhenti beberapa saat. Salah seorang anak muda yang kebetulan saat itu mendapatkan giliran meronda itu menyapanya.
“Mampir kang, ini ada wedang sere gula kelapa dan jagung bakar yang masih hangat.”.
“Baiklah, kebetulan perutku agak lapar.”.
Mereka tertawa serempak. Mereka berbincang-bincang sampai larut. Pembicaraan mereka terus mengalir. Kadang diselipi kelakar yang membuat tawa mereka pecah.
“Aku akan pulang. Mataku mulai berat.”.
“Silahkan, kang.”.
Teja bergegas meninggalkan gardu peronda itu. Ditelusurinya jalan-jalan di padukuhan yang sangat sepi. Tiba-tiba di simpang empat, teja melihat sekelompok tantara kumpeni sedang minum-minum. Dengan wajah merah, teja memandangi mereka.
“Aku sudah muak melihat mereka. Tapi sayang, aku masih belum bisa menghadapi mereka. Aku masih memerlukan latihan-latihan bela diri yang lebih baik lagi.”.
Teja cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin menarik perhatian mereka. Sesampainya dirumah, teja langsung menuju ke biliknya. Dan tak lama kemudian, tejapun tertidur.
Teja hanya sempat memejamkan mata sejenak. Karena sebentar kemudian, hari sudah pagi. Tejapun segera terbangun. Ia langsung menyapu dihalaman. Setelah itu, teja membersihkan diri. Selesai membersihkan diri, ia duduk-duduk di pendapa sambil menikmati wedang jahe yang masih mengepul.
“Teja, sebelum angger berlatih Bersama anak-anak muda pejuang, makanlah terlebih dahulu.”.
“Baik ayah.”.
Setelah makan pagi, teja langsung pergi menuju tempat dimana anak-anak muda pejuang berlatih ilmu bela diri untuk melindungi diri sendiri dan membantu saudara-saudara yang lain. Teja berlatih dengan kawan-kawanya hingga matahari berada ditengah-tengah. Setelah selesai berlatih, merekapun beristirahat dibawah pohon gayam yang tumbuh di pinggir jalan itu. Setelah keringat mereka kering, mereka berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing. Ditengah perjalanan pulang, teja berpapasan dengan laras yang saat itu barusaja pulang dari mengunjungi rumah temanya.
“Darimana, kakang?”.
“Aku barusaja berlatih Bersama kawan-kawan, laras. Kau sendiri darimana?”.
“Aku dari mengunjungi rumah wulan.”.
“o, lalu , kau mau pulang?”.
“Iya kang. Tapi, kang teja nanti sore bisa temui aku di taman dekat surau itu?”.
“Ada apa laras?”.
“Tidak, aku hanya ingin berbincang-bincang saja dengan kakang.”.
Teja berdebar-debar. Ia teringat pesan keluarganya agar tidak menjalin hubungan dengan laras. Namun, ketika teja memandangi wajah laras, ia tidak sanggup menolak.
“Baiklah. Aku akan menemuimu di taman nanti.”.
Laraspun tersenyum.
“Kalau begitu, aku pulang dulu kang. Berhati-hatilah. Tentara kumpeni semakin menggila.”.
“Iya laras. Kau juga berhati-hatilah. Apalagi kau seorang gadis.”.
“Baik, kang.”.
Merekapun berpisah. Dalam perjalanan pulang, teja masih merenungi ajakan laras untuk bertemu di taman dekat surau. Apa yang ingin dibicarakan laras? Tanpa teja sadari, ia semakin mempercepat langkahnya. Sesampainya di rumah, teja melihat warni sedang menyirami bunga di halaman.
“Darimana kakang?”.
“Aku baru selesai berlatih, warni.”.
“Tapi, mengapa kang mardi sudah pulang? Sedangkan kakang belum.”.
Teja menarik nafas Panjang. Ia ragu-ragu untuk menceritakan pertemuanya dengan laras.
“Warni, aku barusaja bertemu laras.”.
“Jadi, kang teja bertemu laras lagi?”.
“Iya, warni. Bahkan laras mengajak aku untuk menemuinya di taman dekat surau.”.
“Mengapa laras mengajakmu untuk menemuinya?”.
“Dia hanya ingin berbincang-bincang saja denganku.”.
“Apa yang ingin dibicarakan laras?”.
“Entahlah, aku masih belum mengetahuinya.”.
Teja dan warni saling berdiam diri. Mereka merenungi ajakan laras itu. Teja lalu melangkah berlahan-lahan memasuki rumahnya. Dijumpainya ayah dan ibunya sedang duduk-duduk di pendapa.
“Ayah dan ibu, aku barusaja bertemu dengan laras.”.
“O, lalu?”.
“Dia mengajaku untuk bertemu di taman dekat surau itu ayah.”.
“Lalu kau bersedia?”.
Dengan ragu teja menjawab, “iya ayah.”.
Ayah dan ibu teja saling berpandangan sesaat. Nampak diwajah mereka kecemasan yang sangat.
“Semoga tidak terjadi apa-apa, ngger.”. Kata ibunya.
“Jadi, ayah dan ibu mengijinkan aku untuk menemui laras?”.
“Sebenarnya, aku mencemaskan kau, teja. Tapi tidak ada salahnya kita berbaik sangka terlebih dahulu.”.
“Terimakasih, ayah dan ibu.”.
“Kapan kau akan menemuinya?”.
“Nanti sore ayah.”.
“Berhati-hatilah, Jaga dirimu dengan baik.”.
“Iya ayah. Aku akan berhati-hati.”.
Teja lalu ikut makan Bersama keluarganya.
“Wah, sayur bayam ini rasanya segar sekali.”. Gumam teja seolah-olah berkata ke dirinya sendiri.
“Huh, kakang. Pasti lebih segar lagi kalau kakang bertemu dengan laras.”. Goda warni.
“He, apa katamu?”. Sahut teja dengan memasang tampang sangar.
Warni langsung berpura-pura menunduk. Semua yang ada disitu tersenyum-senyum.
Dan tidak terasa, matahari sudah berada diarah barat. Teja langsung pergi ke taman di dekat surau.
“Berhati-hatilah kakang.”. Pesan warni sebelum teja berangkat.
Sesampainya di taman, teja melihat laras sudah berada disitu.
“Maaf, laras. Kau jadi menunggu agak lama.”.
“Tidak apa, kang. Aku juga barusaja berada disini.”.
“Ada apa sebenarnya laras. Mengapa kau mengajaku untuk bertemu disini?”.
“Tidak ada apa-apa, kakang. Aku hanya ingin kita berbincang disini.”.
Mereka larut dalam pembicaraan. Kadang diselingi kelakar yang membuat laras semakin berdebar-debar. Hatinya saat itu merasa berbunga-bunga.
“Apakah aku mencintainya? Apakah dia juga merasakan hal yang sama?”.
“Laras, akum au bertanya kepadamu.”.
“Bertanya apa kakang?”.
“Menurut ayah dan ibuku, ayahmu adalah seorang anak buah kumpeni.”.
“Itu memang benar kakang. Ayahku adalah salah seorang anak buah kumpeni. Ayah telah mabuk duniawi.. Karena kumpeni memberi ayah kekayaan, sehingga ayah mau bekerjasama dengan penjajah. Bahkan, ia diserahi tugas-tugas penting. Aku dan ibu sudah berusaha mencegahnya. Tapi ayah tetap dalam pendirianya. Malah suatu hari, ibu pernah dibentak ayah karena ibu dianggap selalu menghalangi setiap langkahnya. Aku sadar, sekarang ayah telah menjadi penghianat. Ayah telah menghianati bangsanya sendiri.”.
Laras terus saja bercerita. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Teja menjadi tersentuh melihat kesedihan laras.
“Sudahlah laras, janganlah kau bersedih.”.
“Tapi aku sangat malu dengan kawan-kawanku kakang. Aku sering mendengar kata-kata sindiran yang tajam ditujukan kepadaku.”.
“Sudahlah, mungkin mereka tidak tau apa yang sebenarnya kau alami.”.
“Kakang, aku ingin berjuang Bersama kakang dan kawan-kawan. Namun apa yang bisa aku lakukan?”.
“Sabarlah laras, pada saatnya nanti, kau bisa ikut berjuang Bersama kami.”.
Mereka masih saja melanjutkan pembicaraan. Semakin lama, hati teja dan laras semakin berdebar-debar. Akhirnya, teja tidak kuat lagi menahan gejolak di hatinya.
“Laras, Entahlah, sejak pertama kali kita bertemu, aku mulai menyukaimu.”.
Wajah laras Nampak berubah. Ia memandang mata teja. Ia menemukan kesungguhan disana.
“Kakang, sebenarnya akupun juga merasakan hal yang sama.”.
“Benarkah laras?”.
“Iya kakang.”.
Merekapun saling berpandangan beberapa saat lamanya. Sorot mata merekalah yang berbicara.
“Laras, aku mencintaimu.”. Bisik teja.
“Aku juga kakang.”.
Mereka saling berpelukan untuk beberapa lama. Bunga-bunga di taman itu dan langit sore menjadi saksi bertautnya kedua cinta dari kedua ingsan itu. Langit mulai gelap. Mereka mengakhiri pertemuan itu. Teja dan laras pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya dirumah, laras melihat beberapa orang kumpeni sedang berada dirumahnya. Laras Menyelinap ke sudut-sudut yang gelap, agar tidak terlihat oleh orang-orang itu. Sesampainya di ruang dalam, laras sempat mendengar percakapan ayahnya dengan perwira kumpeni.
“Aku tertarik kepada anakmu sejak aku melihatnya secara tidak sengaja berada di halaman samping ki reksa.”.
“Ah, dia hanya seorang gadis desa, tuan. Ku kira tidak pantas ia menjadi istrimu.”.
“Tapi aku sudah terpikat dengan kecantikanya, ki reksa. Nanti, jika kelak anakmu menjadi istriku, ia akan baik-baik saja. Segala kebutuhannya tercukupi. Ki reksa juga akan menikmati kemewahan itu.”.
Untuk sesaat, ruangan itu menjadi hening. .
“Baiklah, aku akan bertanya kepada anakku.”.
“Ia harus mau, ki reksa. Jika tidak, kau tau sendiri akibatnya.”.
“Ya, ya. Aku akan membujuk anak itu.”.
Laras tidak tahan lagi. Ia langsung berlari ke bilik ibunya. Dengan berurai air mata, laras memasuki bilik ibunya.
“Ada apa laras?”.
“Ibu, ayah akan membujuku agar akum au menjadi istri salah seorang perwira kumpeni.”.
Laraspun menceritakan percakapan yang sempat didengarnya. Ia tidak mau dijadikan istri perwira itu. Laras juga menceritakan pertemuanya dengan teja di taman sore tadi. Laras mengakui, bahwa ada hubungan khusus diantara mereka.
Nyi reksa termenung beberapa saat lamanya. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran.
Tiba-tiba saja, terdengar ki reksa memanggil nyi reksa. Nyi reksa dan laraspun bergegas keluar menemui ki reksa.
“Laras, darimana saja kau? Mulai sore tadi aku tidak melihatmu.”.
“Ampun ayah. Laras tadi sore menemui kang teja, ayah.”.
“Apa? Jadi, kau bertemu dengan teja? Ada hubungan apa kau dengan teja?”.
Laras terdiam. Ia tidak berani terang-terangan mengakui bahwa ia dan teja sudah menjalin hubungan khusus.
“Laras, dengarlah. Kau telah menarik perhatian tuan storm. Kau akan dijadikan istrinya.”.
“Tidak ayah. Aku tidak mau.”.
“Apa? Kau mulai berani menentang ayahmu? Hah!”.
“Maaf, ayah. Hamba tidak bermaksud menentang ayah. Namun hamba sudah memiliki tambatan hati hamba sendiri.”.
“Siapa? Hah? Siapa? Apakah teja itu telah menjadi kekasihmu?”.
Dengan ragu, akhirnya laras tidak menutup-nutupi lagi. “Iya, ayah.”.
Dengan nada tinggi, ki reksa membentak laras. “Laras, apa yang kau dapat dari pemuda itu? Teja adalah seorang pemuda miskin. Tidak punya apa-apa. Ia hidup sengsara karena ia tidak mau bergabung dengan para kumpeni. Lihat ayahmu ini, laras. Lihat! Ayah menjadi kaya. Apapun yang ayah inginkan, pasti terpenuhi. Apa enaknya jadi istri orang miskin? Jika kau diperistri tuan storm, hidupmu menjadi lebih baik. Mulai sekarang, putuskan hubunganmu dengan teja. Aku tidak mau lagi kau berhubungan dengan anak itu.”.
Laras tidak tahan lagi mendengar kata-kata ayahnya yang menyakitkan itu. Dengan tiba-tiba, laras berlari menghambur ke dalam biliknya. Ditutupnya pintu bilik itu rapat-rapat. Laras menangis sesenggukan.
“Aku muak dengan ayah. Ia terlalu mementingkan kekayaan. Oh, apa yang harus aku lakukan? Aku terlanjur mencintai kang teja.”.
Hampir semalam penuh, laras menangis di dalam biliknya. Laras mencoba untuk tidur walau sesaat. Namun akhirnya, laras tertidur. Wajahnya masih membayangkan kesedihan.
Sedangkan dirumah teja, teja bercerita banyak tentang pertemuanya dengan laras. Juga tentang hubunganya dengan laras yang semakin dekat.
“Teja, kau harus ingat. Lara situ siapa. Ayah dan ibu tidak melarangmu menjalin hubungan dengan seorang gadis. Namun, kau juga harus bisa menilai gadis itu dari segala segi. Terutama dari segi keluarga. Jika keluarga gadis itu tidak mempermasalahkan anak gadisnya itu menjalin hubungan denganmu, maka tidak ada masalah. Jika tidak, itu yang harus kau pertimbangkan.”.
“Tapi ayah, aku siap mempertahankan hubunganku dengan laras.”.
“Aku tidak bisa memaksamu, teja. Ibu hanya berpesan, berhati-hatilah.”.
“Baik, ibu.”
Malam itu, teja tidur dengan nyenyaknya. Keesokan harinya, teja sudah bersiap-siap berlatih.
“Tumben kang, sepagi ini sudah rapi.”.
“Akum au berlatih Bersama kawan-kawanku, warni.”.
“Ku dengar, kang teja punya hubungan khusus dengan laras.”.
“Kau tau darimana, warni.”.
“Ayah dan ibu yang memberitau aku.”.
Teja hanya tersenyum. Warni tau, bahwa ada hubungan khusus antara kakaknya dan laras. Warni hanya memandangi langkah teja yang menuju ruang dalam.
“Ayah, aku hari ini akan berlatih lagi Bersama kawan-kawan.”.
“Berhati-hatilah, teja. Kau sudah masuk ke dalam permainan yang berbahaya. Hubunganmu dengan laras itulah yang harus kau jadikan peringatan agar kau semakin berhati-hati.”.
“Baik, ayah.”.
Setelah menyelesaikan makan pagi Bersama anggauta keluarganya, teja segera pergi menuju tempat dimana anak-anak muda sedang berlatih. Teja segera menggabungkan diri ke dalam latihan. Namun yang tidak terduga itu terjadi. Ketika latihan itu hamper selesai, beberapa orang upahan ki reksa langsung mendatangi tempat itu.
“Hei! Untuk apa kalian berada disini?”. Berkata salah seorang diantara mereka yang terkenal dengan nama, ki kerta.
“Kami hanyalah berolah raga, ki kerta.”.
“Bohong!”. Bentak ki kerta.
“Sungguh, ki kerta. Kami hanyalah memanaskandarah kami.”.
“Baiklah, aku tidak peduli. Adakah diantara mereka yang bernama teja?”.
Teja lalu maju beberapa tindak. “Ki kerta, akulah yang bernama teja.”.
“Bagus, kau telah menunjukan dirimu. Sekarang, ikutlah kami.”.”
“Mau di bawa kemana saya ini?”.
“Sudah, jangan banyak tanya.”.
“Tidak, aku tidak mau kau bawa.”.
“Kurangajar. Ayo, tangkap anak ini.”.
Serentak orang-orang itu bergerak maju. Teja dan kawan-kawanya mempersiapkan diri.
“Jangan melawan, karena melawan tidak ada guna.”.
“Kami juga akan membela diri kami.”.
“Persetan!!!!!”. Ayo, tangkap anak-anak itu!!
Pertempuran tak dapat dielakan lagi. teja dan kawan-kawanya terus saja bertempur dengan gagah berani. Ki kerta dan kawan-kawanya tidak mengira, bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menangkap anak-anak muda itu. Teja bertempur seperti singa terluka. Senjatanya menyambar-nyambar kekanan-kiri. Tiba-tiba saja, ujung senjata ki kerta mengenai bahunya. Teja melompat surut.
“Kurangajar, kau telah melukaiku ki kera.”.
Ki kerta tertawa mengejek. Teja menyerang ki kerta dengan derasnya. Ki kerta berkelit menghindar. Namun, teja tidak memberinya kesempatan. Diburunya ki kerta yang masih mempersiapkan diri. Ki kerta berusaha menghindar. Namun, goresan senjata teja sempat mengenai lenganya.
“Iblis kau! Aku akan melaporkan kau ke ki reksa.”.
Sejenak kemudian, ki kerta memberi isyarat kepada kawan-kawanya untuk mundur. Ki kerta mengakui, betapa ia sudah berusaha menangkap anak-anak muda itu, tapi ia dan kawan-kawanya mengalami kesulitan. Teja dan kawan-kawanya membiarkan saja mereka melarikan diri.
“Teja, apakah kita tidak perlu berpindah tempat berlatih kita?”.
“Ku kira kita harus pindah, darma. Tempat ini sudah tidak aman lagi.”.
“He, bahumu kenapa?”. Ujar mardi.
“Tadi, senjatan ki kerta mengenai bahuku.”.
Mereka sibuk merundingkan tempat mereka berlatih yang baru. Setelah dicapai kata sepakat, mereka sengaja memilih tempat di sekitar bukit di sebelah barat padukuhan itu.
“Baiklah kawan-kawan, kita akhiri latihan kita hari ini. Aku berpesan agar kalian lebih waspada lagi dengan peristiwa ini. Aku akan pulang untuk mengobati Lukaku.”.
“Baik, teja. Kami akan berhati-hati.”.
Mereka berpisah. Teja berjalan agak cepat. Tiba-tiba, laras melambaikan tanganya. Teja menghampiri laras yang berada dibawah pohon mangga.
“Kakang, kenapa dengan bahumu.”.
“Aku dan kawan-kawan barusaja bertempur melawan orang-orang yang mengaku sebagai orang upahan ayahmu.”.
“Apa? Ayahku mengupah orang-orangnya? Untuk apa kakang?”.
“Entahlah, laras. Mereka ingin membawaku. Tapi aku tidak mau dibawa mereka. Akhirnya, aku dan kawan-kawan mengadakan perlawanan.”.
Laras terdiam. Tiba-tiba, air matanya mengalir deras. Laras memeluk teja dengan eratnya.
“Kakang, maafkan aku. Ini semua penyebabnya adalah aku.”.
“Apa maksudmu, laras?”.
“Semalam, ayahku didatangi perwira kumpeni yang bernama tuan storm. Katanya, ia ingin menjadikan aku sebagai istrinya. Tentu saja aku tidak mau, kakang. Lalu aku bercerita kepada ayah dan ibu. Ayah tidak setuju kalau aku menjalin hubungan khusus dengan kakang. Aku disuruh untuk memutuskan hubungan kita ini, kakang. Tapi, tapi aku tidak menuruti kemauan ayahku itu.”.
Sambil beruraian air mata, laras menceritakan seluruh apa yang dialaminya semalam. Teja termangu-mangu. Ia tidak tau apa yang harus diperbuat.
“Jadi, kau akan dijodohkan dengan penjajah itu?”.
“Iya, kakang. Tapi, aku tidak mau.”.
“Laras, ini sudah tekatku. Aku akan mempertahankan hubungan kita ini. Apapun yang terjadi.”.
“Benarkah itu kakang?”.
Dengan mantap, teja mengangguk. Laras seketika itu juga berlutut dihadapan teja.
“Terimakasih, kakang. Aku akan selalu bersamamu. Apapun yang terjadi.”.
Mereka saling berpelukan beberapa lama. Laras lalu mengobati luka-luka di bahu teja. Laras memborehkan serbuk yang kebetulan ia bawa. Setelah beberapa lama, mereka pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, teja disambut dengan Pertanyaan. Teja lalu menceritakan dengan lengkap, tanpa ada yang terlewati.
“Teja, kau sudah mulai masuk dalam bahaya. Kau harus lebih waspada lagi, teja.”.
“Iya, ayah. Aku siap mempertahankan hubunganku dengan laras. Ayah dan ibu tidak usah khawatir. Begitu juga kau, warni. Mereka tidak mungkin mengusik keluarga ini. Lagi pula, kesempatanku untuk mencoba berjuang mulai terbuka.”.
“Kami hanya bisa mendoakan kau, teja.”.
“Iya ayah.”.
Demikianlah. Hari demi hari telah berlalu. Untuk sementara, teja dan kawan-kawanya masih aman berlatih. Namun dalam beberapa hari ini, teja tidak melihat laras. Teja agak khawatir dengan keadaan laras. Sebenarnyalah, sejak usaha penangkapan terhadap teja telah gagal, laras tidak diperbolehkan lagi untuk keluar. Nyi reksa tidak bisa mencegah. kehendak suaminya. Laras hanya bisa menangis dan menangis di dalam biliknya. Sesekali, nyi reksa menghibur laras. Tapi laras masih saja bersedih. Namun disuatu hari, rumah ki reksa menjadi geger. Laras telah hilang dari rumah. Ki reksa sangat marah. Ki reksa langsung memerintahkan orang-orangnya untuk mencari dan membawa laras pulang. Sebenarnyalah, ketika seisi rumah masih tertidur, laras pergi dengan diam-diam. Ia berjalan dengan cepat menuju ke rumah teja. Teja yang pagi itu sedang menyapu di halaman terkejut. Dilihatnya laras berlari kearahnya.
“Kakang.”.
Laras langsung menghambur ke dalam pelukan teja.
“Ada apa, laras. Apa yang terjadi?”.
“Aku tidak tahan lagi, kakang. Ayah mengurungku di kamar. Aku tidak di izinkan keluar.”.
“o, baiklah. Kau dapat tinggal Bersama kami.”.
“Apa aku tidak membebani keluarga kakang?”.
“Ah, jangan seperti itu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong sesama.”
Sebenarnyalah, keluarga teja tidak berkeberatan menerima laras. Namun ada sedikit keraguan di dalam hati warni. “Apakah aman-aman saja dia berada disini?”. Sehari itu, laras berada dirumah teja. Ketika teja berada di halaman, mardi dating menemuinya.
“Teja, ki reksa kehilangan anaknya.”.
“Ya, ya. Aku sudah mengetahuinya.”.
“Tau darimana?”.
“Asalkan jangan kau beritau siapa-siapa. Hanya kau dan aku saja yang tau.”.
“Ada apa, teja.”.
“Laras sekarang berada dirumahku.”.
“Apa? Jadi, laras sekarang berada dirumahmu? Sejak kapan ia berada disini?”.
“Tadi pagi, ia datang ke rumahku. Ia merasa tidak nyaman dirumahnya. Ayahnya bersikap kasar kepadanya.”.
Mereka melanjutkan pembicaraan. Setelah meminum minuman yang disediakan, mardi berpamitan. Malampun datang. Tiba-tiba saja, sekelompok orang mendatangi rumah teja. Teja dan keluarganya berdebar-debar. Mereka menduga, pasti orang-orang upahan dan kumpeni mendatangirumah mereka.
“He, teja. Dimana anaku? Berani benar kau membawa lari dari rumahku?”.
“Ampun, ki reksa. Hamba tidak membawa lari laras.”.
“Bohong. Cepat, geledah rumah ini.”.
Disaat anak buah ki reksa bersiap untuk menggeledah rumah teja, mendadak munculah laras.
“Ayah, aku tidak dibawa lari. Memang aku berniat lari dari rumah. Aku tidak sudi menjadi istri perwira itu. Aku kecewa terhadap ayah yang memaksakan kehendak.”.
“Dasar anak gila! Kau akan hidup enak, malah menolak. Apa yang kau inginkan? Hah!”.
“Aku ingin Bersama kang teja, ayah. Aku tidak memerlukan kekayaan. Aku hanya memerlukan kesetiaan dan ketulusan. Lagi pula, aku tidak mau menjadi istri penjajah.”.
“Maaf, ki reksa. Bia raku yang menghadapinya.”.
“Silahkan, tuan storm.”.
“Hei anak manis, aku tidak akan menyakitimu. Jika kelak kau hidup bersamaku, kau akan hidup dengan bahagia. Apapun yang kau inginkan, pasti terpenuhi.”.
“Tidak! Aku tidak sudi. Aku benci dengan penjajah. Seharusnya, kau dimunaskan dari bangsaku.”.
“Percayalah anak manis, aku berjanji. Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan membahagiakanmu.”.
Ketika tuan storm mendekati laras, tiba-tiba saja, laras bergerak sangat cepat. Ia menyerang tuan storm dengan cepat. Dada tuan storm terkena hantaman tangan laras sehingga ia terjatuh.
“Kurangajar, kau telah berani menyakitiku?he. Ayo, cepat tangkap gadis itu.”.
Ketika beberapa orang hendak menangkap laras, teja langsung bergerak maju. Dengan cepat, teja menyerang mereka. Beberapa orang yang tidak mengira kalau mendapat serangan seperti itu tidak sempat melawan. Mereka berjatuhan. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak, tuan storm dan orang-orangnya mengeroyok teja. Teja terus melawan. Tiba-tiba saja, salah seorang tentara kumpeni menembaknya. Untunglah, teja masih sempat menghindar. Laras terkejut. Ia melihat, teja hmpir saja terkena peluru. Tanpa berfikir Panjang, laras tiba-tiba saja telah menggabungkan dirinya untuk Bersama-sama menghadapi tuan storm dan tentaranya. Namun naas, ketika ia menyerang salah seorang perwira, sebuah peluru yang ditujukan kepada teja tidak sengaja mengenai laras. Teja terkejut. dengan secepat kilat, ia berusaha menyambar tubuh laras. Namun sayang, peluru itu terlanjur mengenai laras. Laras terpekik. Tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dengan sigap, teja menyambar tubuhnya. Laraspun tidak sampai terbanting di tanah. Dengan lemah, laras membuka matanya. Dilihatnya teja, ki reksa, dan ayah teja.
“Ayah. Ma, maafkan aku, ayah. Aku telah bersikap kasar terhadap ayah.”.
“Tidak, laras. Kau tidak bersalah. Ayahlah yang bersalah memaksa kau untuk mau dijadikan istri tuan storm.”.
“Sudahlah ayah, ayah tidak perlu menyesalinya. Sebelum aku pergi,….”.
“Jangan, jangan nduk. Kau tidak boleh pergi. Kau pasti akan sembuh.”. Potong ki reksa.
“Tidak, ayah. aku tidak lama lagi. Sebelum aku pergi, aku minta tolong, jangan hianati bangsa ayah sendiri. Bantulah rakyat kita dalam memerangi kaum penjajah. Jangan tergoda dengan kekayaan, ayah. Kekayaan tidaklah abadi. Hanya perjuanganlah yang akan abadi. Jika ayah gugur, nama ayah menjadi harum karena ayah membela bangsa sendiri. Dan kau, kakang. Maafkan aku,kakang. Aku belum bisa membuatmu bahagia. Maafkan aku kakang. Aku akan pergi, kakang. Selamat tinggal semua!!!!!!”.
“laraaas!”.
Teja memeluk laras begitu eratnya. Air matanya mengalir deras. Beberapa tetes air matanya jatuh mengenai wajah laras. Teja merasa sangat kehilangan. Ki reksapun hanya mematung saja. Tiba-tiba saja, teja bangkit dengan wajah merah membara.
“Bangsat kalian! Kalian membunuh kekasihku.”.
Setelah selesai menggeram, teja melompat menyerang tuan storm. Serangan teja begitu cepat, sehingga tuan storm tidak sempat lagi menghindar. Ujung senjata teja dengan telak menikam di dada tuan storm. Dengan marah, tuan storm masih sempat mengarahkan meriamnya kearah teja. Namun, teja masih sempat menghindar.
“Bia raku saja yang membunuh orang ini, teja. Kau selesaikan kawan-kawanya.”.
“Baik, ki reksa.”.
ki reksa maju beberapa tindak. Dipandanginya tuan storm yang masih mendekap dadanya.
“Dasar penghianat kau, ki reksa.”.
“Aku telah sadar dengan apa yang selama ini telah aku perbuat. Kini aku berniat melawan kaum penjajah.”.
“Mana janjimu untuk mengumpulkan warga desa yang bersedia bergabung dengan kami?”.
“Maaf, tuan storm. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu itu. Kini aku akan membunuhmu. Kau telah membunuh laras.”.
Dengan tanpa berkata-kata lagi, ki reksa menyerang tuan storm. Perkelahianpun tak bisa dihindari. Tuan storm yang sudah terluka itu masih sangat garang. Namun sebenarnyalah, berlahan-lahan tenaganya mulai menyusut. Sementara itu di arena yang lain, teja mengamuk bagaikan harimau lapar. Ujung senjatanya menyambar-nyambar. Banyak sudah korban yang berjatuhan. Ujung senjata teja telah diwarnai oleh darah. Teja terus saja mengamuk. Di dorong kemarahan yang meluap-luap, teja Nampak sangat ganas. Ketika salah satu vmeriam teracung terarahnya, teja melompat menghindar. Namun sayang, dari arah belakang, salah perwira kumpeni berhasil membidik pelurunya dengan baik. Punggung teja telah terkena tembakan. Teja segera membalikan tubuhnya. Dengan wajah merah, ia menyerang orang itu dengan derasnya. Orang itu tak sempat menghindar. Tusukan senjata teja telah mengakhiri hidupnya. Teja terus saja mengamuk tanpa menghiraukan luka-lukanya. Ketika ia berhasil melukai lawanya, ia tidak dapat bangkit lagi. Teja terjatuh. Ia merasa sangat lemas. Punggungnya merasa kesakitan. Akhirnya, tejapun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mengetahui kematian teja, ki reksa tidak berpengharapan lagi. Ia semakin mengamuk membabi buta. Ujung senjatanya berhasil memperparah keadaan tuan storm. Tuan storm dengan cepat menembak ki reksa. Ki reksa terkejut. Namun ia tak sempat menghindar lagi. Ki reksa terjatuh. Tubuhnya terbaring di tanah. Ketika keadaanya semakin lemah, dengan sekuat tenaganya, ki reksa melempar senjatanya kearah tuan storm. Senjata ki reksa berhasil menembus dada tuan storm sampai menikam jantung. Maka demikianlah. Malam itu terjadi peristiwa berdarah di depan halaman rumah teja. Pemimpin kumpeni yang paling disegani, yaitu tuan storm, telah mati ditangan ki reksa. Ki reksapun tak dapat ditolong lagi. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir disaat tuan storm terbunuh.
Para anak buah tuan storm yang tersisapun melarikan diri. Mereka akan pergi ke daerah lain untuk bergabung dengan kelompok mereka yang lain. Untuk sementara, kehidupan di padukuhan itu terbilang aman. Warga padukuhan pun merasa bebas tanpa ada yang menekan mereka lagi. Kawan-kawan tejapun sangat kehilangan dengan. Namun, mereka dapat menerima kenyataan itu. Teja gugur dalam perjuanganya. Usahanya bisa dibilang tidak sia-sia. Teja berhasil membunuh pimpinan penjajah di daerah itu. Mereka menikmati kebebasan sementara itu.