Termanis di Redaksi

“Dek, ini sekolah ayah dulu.” Ucap sang ayah pada si kecil.

 

“Cekolah dicini ya yah.”

 

“Iya”

 

“Enak cekolah dicini”

 

“Enak”

 

“Adek cekolah dicini juga ya yah”

 

“Boleh, tapi harus belajar yang rajin. Soalnya ini sekolah favorit, Dek.”

 

“Favoyit yah.”

 

“Adek tahu, favorit itu apa?”

 

“Iya.”

 

“Apa coba?”

 

“He he..”

 

Itulah jawaban polos Nadya. Plus tawa kecil yang begitu renyah. Dicubitnya pipi tembem si kecil. Ayah dan anak, berdua mereka menyusuri trotoar depan SMA I SITUBONDO. Tempat bertemunya ayah dan bunda Nadya.

 

***

 

Enam tahun yang lalu, perkenalan itu bermula. Saat Fendi dan Desy masih berseragam putih abu-abu. Saat itu, basecamp jurnalistik jadi saksi. Hari-hari mereka lalui bersama. Meski tak setiap hari, namun karena tempat itulah, cinta keduanya bersemi.

 

Fendi sudah kelas II, dan Desy masih kelas I. Fendi yang baru terpilih menjadi Pemred majalah sekolah menjadi pusat perhatian semua warga sekolah. Bergerilya mempromosikan kegiatan jurnalistik sekolah menjadi tugasnya sebagai Pemred baru. Memperkenalkan visi, misi, dan agenda kegiatan dari kelas ke kelas. Dengan tujuan untuk menarik minat adik kelas agar bisa bergabung dengan kegiatan ektrakulikuler yang ia pimpin.

 

Hasilnya, memuaskan. Banyak diantaranya berminat untuk bergabung dalam kegiatan ektrakulikuler itu. Namun tak mudah untuk menjadi anggota redaksi majalah sekolah. Meski hanya majalah sekolah yang lingkupnya cukup didalam sekolah, namun perekrutannya melalui tes tulis yang berupa pembuatan artikel singkat dengan tema bebas. Dari semua calon siswa kelas satu yang mendaftar, ada 25 siswa yang layak untuk menjadi anggota. Diantaranya Desy. Namun terpilihnya Desy termasuk rumit. Tak semua senior dalam organisasi majalah itu setuju Desy bergabung.

 

Hanya karena satu alasan Desy tak dapat bergabung, Desy tak bisa berjalan seperti layaknya yang lain. Ia tak dapat berjalan dengan baik. Sedangkan anggota jurnalistik diharapkan dapat bisa aktif. Mondar mandir kesana kemari mencari informasi dan bekerja dengan deadline. Salah satu tugas yang diemban adalah mencari berita diluar sekolah layaknya wartawan. Terkadang pula harus mewawancarai tokoh-tokoh lokal yang ada dikota itu. Perdebatan sedikit memanas. Namun pada akhirnya, keputusan tetap ada ditangan Pemred. Dan Fendi, sebagai Pemred memberi jaminan pada semua senior bahwa Desy tidak akan merepotkan dan dijamin akan banyak menyumbangkan ide-idenya melalui tulisan yang ia buat.

 

Sore itu, Fendi masih duduk dalam ruang redaksi. Sendiri tanpa anggota yang lain. Tempat sederhana yang berukuran 4 x 4 itu hanya beralaskan karpet sebagai tempat duduk lesehan. Meja penuh dengan kertas. Berisi tulisan anak kelas I yang lolos seleksi menjadi anggota redaksi. Satu kertas ia pisah. Kertas berisi tulisan singkat Desy. Berulang-ulang ia baca.

 

“Menarik, tulisannya berbobot.” Gumamnya ditambah sedikit senyum diujung bibirnya.

Diliriknya pula foto yang berada dipojok kiri atas formulir pendaftaran itu,

 

“Manis juga” gumamnya lagi.

 

Tak ada manusia yang sempurna. Manusia tercipta dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Termasuk Desy, senyumnya begitu manis meski secara fisik dirinya tak sempurna.

 

***

 

Hari berlalu, Fendi begitu antusias melatih para junior di ruang redaksi. Diskusi, debat, sedikit konflik namun tetap dalam garis kewajaran. Tak terasa sudah hampir satu semester Fendi memimpin redaksi majalah sekolah. Selama itu pula, waktu telah membawa dirinya dekat dengan Desy. Diluar dugaan, Desy menyimpan segudang potensi dibidang jurnalistik. Tulisannya selalu muncul dalam setiap edisi. Cerpen yang menyegarkan dan selalu menarik hati siswa-siswi satu sekolah. Tak sia-sia Fendi mempertahankan keberadaan Desy.

 

Melihat kesamaan minat di bidang jurnalistik, Fendi memanfaatkan waktunya untuk bertukar pikiran dengan Desy. Tentang dunia tulis menulis dan segala hal termasuk urusan hati dan perasaan.

 

“Des, tinggalin aja berkas-berkas nya disitu. Biar aku yang beresin. Deadline masih dua minggu lagi kan?” ucap Fendi di Sabtu sore kala itu.

 

“Nanggung kak. Sedikit lagi selesai.”

 

“Yang lain sudah pada bubar lho. Ini kan malam minggu. Nggak siap-siap diapelin?”

 

“Akh, kak Fendi. Nggak ada kak. Siapa juga yang mau sama aku. He.. he.. aku kan seperti ini.” ucap Desy sambil melihat kearah kakinya yang kecil sebelah.

 

Deg.. salah. Pertanyaan ini salah. Ucap Fendi dalam hati.

 

“Kok diam kak.”

 

“Ah.. eh.. nggak kok. Maaf, pertanyaanku tadi. Nggak ada maksud untuk…”

 

“Nggak apa-apa kok kak. Nggak perlu minta maaf. Semua juga sudah tahu. Tidak ada yang perlu aku tutup-tutupi dengan keadaanku yang seperti ini. Biasa aja lah. Diberi sehat dan masih bisa bernafas saja, sudah anugerah buatku kak.”

 

Kembali Fendi termangu mendengar ucapan Desy,

 

“Sedikit aku cerita ya kak. Boleh nggak.”

 

“Oh, cerita aja Des.” Ucap Fendi antusias.

 

Baginya, berbagi cerita dengan Desy begitu mengasyikkan. Tutur katanya teratur, lugas, dan hmm.. plus senyum manis khas Desy.

 

“Dalam keluargaku tidak ada yang seperti aku. Mereka sempurna secara fisik. Sedang aku terlahir dengan kaki yang berbeda. Hingga untuk jalan pun aku dibantu tongkat penyanggah. Ini memang sudah digariskan. Pernah suatu ketika, aku bertanya pada ayah, kenapa ayah bercerai dengan ibu.”

 

“Oh, orang tuamu bercerai Des?” tanya Fendi terheran-heran.         

 

“Hm.. iya. Dan itu terjadi karena satu hal. Keluarga besar ibuku tidak menerima kehadiranku yang seperti ini. cacat.”

 

Sejenak suasana senyap. Desy menghentikan ucapannya. Terlihat menitikkan air mata.

 

“Des..”

 

“Oh, maaf Kak. Aku terbawa…” ucap Desy sambil menyeka airmatanya.

 

“Sudah Des, kalau cerita itu membuat kamu sedih, tak perlu kamu lanjutkan. Lebih baik disimpan saja.”

 

“Nggak apa-apa kak. Aku cuma ingin berbagi cerita aja. aku lajutkan ya kak..”

 

Fendi pun mengangguk.

 

“Menurut Ayah, pernikahan Ayah dan Ibu dari awal memang tak direstui. Karena Ayah hanya seorang anak buruh pabrik. Sedang keluarga besar Ibu semuanya bekerja di BUMN. Namun Ayah berusaha keras untuk membuktikan bahwa beliau bisa berhasil lulus sarjana dan bisa bekerja sebagai pegawai kantoran. Semua itu Ayah lakukan demi Ibu. Ayah sangat sayang pada Ibu. Semua Ayah lakukan untuk membuktikan keseriusannya, bahwa Ayah bisa membahagiakan Ibu. Dan pada akhirnya, keluarga besar Ibu merestui hubungan mereka. Karena terpaksa. Setelah menikah, masalah belum selesai. Keluarga besar Ibu tidak ingin ada keturunan dari Ayah. Saat mengetahui Ibu hamil, Tante dan keluarga yang lain berusaha untuk menggugurkan kandungan Ibu. Ibu dicekoki berbagai macam jamu. Disisi lain, Ibu tetap bersikukuh mempertahankan janinnya. Dan akulah janin yang Ibu pertahankan itu.”

 

Suasana kembali hening. Namun tak ada suara isak dari Desy. Kali ini Desy terlihat lebih tegar.

 

“Kehadiranku di dunia disambut suka cita oleh keluarga Ayah. Dengan segala kondisi ku saat itu. Dan dukacita juga tak bisa dihindari. Ibu harus mengikuti kemauan keluarganya untuk bercerai dengan ayah.”

 

“Subhanallah. Ternyata gadis manis yang ada dihadapanku kini memiliki masa kecil yang begitu pahit. Namun Desy begitu tegar. Tak ku sangka. Desy yang ku kenal beberapa bulan terakhir ini menyimpan segudang cerita hidup yang hmm.. Hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik untuk kehidupan setiap hamba-hamba Mu. “ Fendi berkata dalam hati.

 

***

 

Satu semester berlalu. Dan Desy juara kelas. Semakin membuatku terkagum-kagum. Semakin hari, berdiskusi dengannya, berbagi cerita segala hal membuat kami semakin dekat. Dan Desy, semakin hari semakin manis saja. Mungkin karena sehari-hari bersamanya. Namun terkadang Desy menjaga jarak. Hingga suatu ketika..

 

“Des, aku mau jujur.” Ucapku sore itu

 

“Soal apa, Kak?”

 

“Aku suka sama kamu. Aku ingin kamu jadi pacarku.”

 

“Haah.. nggak salah kak.” Ucap Desy dengan suara agak keras karena kaget.

 

“Nggak ada yang salah.”

 

“Kak, lihat. Aku ini siapa sih?” ucap Desy sambil menunjuk tangannya kearah kaki kirinya.

 

“Des, aku tidak melihat segalanya dari fisik atau materi.”

 

“Kakak kasihan sama aku! Jujur baru kali ini ada cowok sesempurna kakak mau mengutarakan isi hatinya sama orang cacat kayak aku.”

 

“Ini bukan rasa kasihan atau iba, Des. Aku benar-benar suka, sayang sama kamu.”

 

Tanpa berkata-kata lagi Desy berlalu meninggalkan Fendi.

 

Hari berlalu. Semenjak pembicaraan hari itu, Desy terlihat berbeda. Tak serajin dulu mengunjungi ruang redaksi.

 

“Des, ini ada undangan rapat redaksi nanti sore.” Ucap salah satu anggota redaksi menyodorkan undangan.

 

Seperti biasa. rapat dimulai dengan laporan tiap-tiap redaktur. Begitu pula dengan Desy. Melaporkan semua aktivitasnya yang berkaitan dengan redaksi. Bertutur seperti biasa seolah tak ada apa-apa antara Desy dan Fendi. Dan rapat pun berakhir.

 

“Des, jangan pulang dulu. Ada yang harus aku bicarakan dengan kamu. penting” Ucap Fendi dengan tegas ditengah-tengah keriuhan usai meeting. Tak ayal, semua mata memandang kearah keduanya.

 

“Maaf, nggak bisa ditunda esok?” ucap Desy datar

 

“Tidak bisa. Ini masalah hati. Tak bisa ditunda lagi.”

 

Gerrrrrrrrrrrrrr..

 

Semua yang ada diruangan itu berhenti sejenak dari aktivitasnya. Namun tak ada yang berani buka suara.

 

“Kak, kakak sadar. Banyak teman yang mendengar. Kakak tidak malu didengar teman-teman yang lain”

 

“Malu? Kenapa harus malu.”

 

Desy terdiam dan menunduk mendengar perkataan Fendi. Seolah tak memperdulikan suasana yang saat itu masih penuh dengan anak redaksi.

 

“Aku serius Des.”

 

“Aduuuh kak. Apa yang harus aku lakukan.”

 

“Kamu cukup bilang ‘iya’ atau ‘tidak’ ”.

 

“Apanya yang ‘iya’, ‘tidak’?

 

“Yah, pertanyaanku tempo hari?”

 

“Aku pikirkan dulu kak. Nanti aku jawab.” Desy pun berlalu meninggalkan teman-temannya yang masih riuh diruang meeting redaksi.

 

Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Menyembunyikan diri dibalik peraduannya setelah seharian menyinari bumi. Dan berganti bulan yang mulai menampakkan wajahnya dengan sinarnya yang penuh. Desy gelisah dipembaringan. Mengingat akan kejadian sore tadi. Tak pernah ia sangka sebelumnya. Kehadirannya dimuka bumi yang penuh dengan kekurangan masih berarti untuk orang lain. Desy ragu. Keseriusan seperti apa yang ada dalam hati Fendi. Jangan-jangan ia hanya suka biasa, setelah bosan akan ia campakkan. Desy pun tak bisa membohongi dirinya. Bahwa ia suka pada Pemred itu. Bimbang. Dan ditengah kebimbangan itu, Desy berdo’a. Mengharapkan ada petunjuk akan masalah yang ia hadapi. Sepertiga malam ia habiskan untuk bermunajat. Hingga tak terasa pagi itu tiba. Dan Desy sudah mengambil keputusan.

 

Pagi kembali menjelma. Seperti biasa. Desy pergi diantar oleh ayahnya hingga pintu gerbang sekolah. Dan dipintu gerbang itu sudah berdiri pemuda. Fendi, sudah berdiri disana. Sedikit memberi anggukan pada ayah Desy. Ayah Desy pun membalas anggukan Fendy.

 

“Pagi sekali kak. Tidak seperti biasanya.” Ucap Desy sedikit menyindir Fendi yang biasanya datang agak siang.

 

“Pastilah. Untuk satu keputusan penting dalam hidupku.”

 

Desy menatap kearah Fendi. Mencari kebenaran akan ucapan itu. Dan..

 

“Nggak usah risau dan khawatir lagi. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik buat kakak, mengisi hari-hari kakak. Aku akan berusaha jadi tempat dikala kakak butuh. Mau sharing, diskusi, dan..”

 

“Maksud kamu..”

 

“Iya kak. Aku akan ada di hari-hari kakak.”

 

Subhanallah.. Senyum mengembang diwajah Fendi. Hari-hari mereka pun indah hingga waktu itu tiba. Mereka menikah setelah lulus sekolah, menikah dini dan tetap melanjutkan kuliah bersama. Dan kini telah hadir si kecil Nadya yang tumbuh menjadi anak yang pintar, cerdas, dan subhanallah. Sempurna secara fisik. Dan sekolah ini. menyimpan banyak kenangan. Kenangan termanisnya diruang redaksi. Kenangannya bersama Desy. Tempat yang telah berjasa mempertemukan dua hati tanpa melihat kekurangan pasangan.

 

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *