Kakman dan Keluarga Disabilitas #2

Aku turun dari angkot di sebuah jalan berbatu. Udara sore terasa dingin mengelus wajahku. Kakiku melangkah perlahan menyusuri jalan batu yang di sisi kanan kirinya ditumbuhi pohon aren. Desa Cieunteung sudah mulai mengalami perubahan.


 


Dulu jalan yang menghubungkan desa dengan jalan raya menuju Bandung ini masih berupa tanah. Jangkrik dan cihcir mulai menyanyikan nada-nada perkusi. Suasana alam pedesaan semakin terasa ketika aku memasuki batas Cieunteung. Rumah penduduk pun rupanya sudah banyak yang dibuat dari batu bata.


 


Banyak warga desa yang berpapasan denganku, namun rupanya mereka sudah tak mengenaliku lagi. Setelah setengah jam berjalan kaki, aku tiba di rumah yang lima tahun lalu telah ku tinggalkan. Rumah panggung itu belum berubah, bentuknya masih sama, kotak, dan memiliki dapur terpisah dari bangunan utama. Balai bambu buatan ayah masih ada sebagai beranda rumah. Aku mencari sohsok hitam yang dulu sering ku duduki bersama Kak Ilham.


 


”Ah, rupanya kamu masih ada!”


 


Aku menghampiri batu berbentuk perahu itu. Ku pandang sekilas seraya melangkah menuju pintu rumah.


 


”Assalamualaikum!” kataku sambil mengetuk pelan pintu.


 


Terdengar obrolan di dalam rumah. Suara Abah dan Umi, aku masih ingat suara keduanya.


 


”Siapa itu bertamu sore-sore begini?” tanya suara umi dengan aksen sunda agak halus.
”Coba tengok, Kang!”


 


Terdengar langkah kaki menuju pintu. Aku menantikan wajah tersenyum orang yang dulu sering menyanyikan kidung pujian, saat aku tertidur di pangkuannya. Pintu terbuka.


 


”Assalamualaikum, Abah!”


 


Lelaki setengah baya itu menatapku. Diamatinya wajahku, kemudian pandangannya mengamati sekujur tubuhku. Ia belum berkata apa-apa. Wajahnya nampak tak percaya, kemudian tangannya merangkulku.


 


”Akhirnya kamu pulang juga, Jang!”


 


Abah menoleh dan berteriak memanggil Umi.


 


”Mi, coba kemari lihat, siapa yang datang!”


 


Abah menarik tanganku memasuki ruang depan. Umi muncul dari pintu dapur yang terhubung dengan ruang depan. Aku memandang wajahnya yang mulai keriput. Ia menatapku tak percaya, berulangkali diamatinya wajahku.


 


”Kakman?”


 


Aku menghampiri Umi dan mendekapnya. Beliau mengusap ubun-ubunku.


 


”Maaf Mi, Kakman baru bisa pulang sekarang.”


 


”Yang penting, kamu selamat. Umi dan Abah selalu khawatir dengan keadaanmu. Kamu tak pernah kirim surat.”


 


”Kakman terlalu banyak kerjaan, Mi, sampai lupa mengirim surat ke kampung!”


 


”Kamu sudah bekerja, Man?” tanya Abah.


 


Aku melepaskan dekapanku, kami duduk di tikar pandan. Ku sandarkan badanku ke dinding rumah yang sebagian terbuat dari bilik bambu.


 


”Alhamdulillah, Bah, saya bekerja di kampung yang isinya rumah-rumah bagus.”


 


Aku menggunakan istilah kampung rumah bagus agar Abah memahami yang ku maksud adalah kompleks. Kami melanjutkan obrolan hingga usai magrib sambil menikmati ubi bakar.


 


“Jadi, Kang Ilham sudah menikah, Bah?” tanyaku meyakinkan.


 


Kami sedang berjalan menuruni undakan menuju Masjid.


 


”Iya, dua tahun lalu. Pestanya cukup ramai, warga sekampung merayakan pesta pernikahan kakakmu. Mereka ikut senang, karena kakakmu mendapatkan jodohnya.”


 


”Siapa yang berhasil menaklukkan hati Kak Ilham?”


 


Kami menyebrangi selokan melewati jembatan bambu yang tidak terlalu lebar. Dulu, disinilah Kak ilham belajar matematika bersamaku sambil duduk bersandar pada pohon sawo di pinggir selokan.


 


”Seorang gadis manis dari desa sebelah, desa Dangdeur. Kakakmu berhasil menyuntingnya walaupun dengan halangan yang cukup berat.”


 


”Orang tuanya tidak setuju?” kataku menduga.


 


Kami tiba di teras masjid. Teras masjid berbentuk rumah panggung itu berupa dipan kayu.


 


”Bukan, coba kalau nanti bertemu dengan kakakmu tanyalah padanya. Ia bisa bercerita lebih lengkap padamu.”


 


Iqomah mulai berkumandang. Kami masuk ke masjid, banyak orang yang menatapku penasaran, abah tersenyum pada mereka dan ikut di shaft belakang.


 


”Kakman!?” ujar seorang kakek yang sepertinya aku mengenalnya.


 


”Wak Punduh?”


 


Beliau tersenyum hangat. Masih seperti dulu, beliaulah yang memimpin shalat berjamaah di masjid sederhana ini.


 


***


 


Aku menemuinya di rumah Zakira, perempuan Dangdeur yang kini menjadi istrinya. Aku tiba di depan rumah bata itu. Ia sedang sibuk membersihkan lidi-lidi aren. Aku kemudian menghampiri dan menepuk bahunya.


 


”Assalamualaikum, Kak Ilham!”


 


Ia menoleh ke arah suaraku.


 


Saha eta?”tanyanya sambil mencari-cari sosok orang yang menyapanya.


 


“Kau lupa dengan suaraku?”


 


Aku bernyanyi pelan. Lagu yang dulu sering kami nyanyikan bersama teman-teman kami sambil bertengger di pohon jeruk bali di dekat sungai desa.


 


”Kakman? Kau Kakman?”


 


Ia menemukan tubuhku dan merangkulku dalam dekapannya.


 


”Ku pikir kau lupa pada kampung halaman. Ayo masuk!”


 


Ia menggandengku menuju beranda rumah. Langkah-langkahnya pasti, seakan ia berjalan dengan mata normal. Ku pikir ia sudah hapal lingkungan rumah ini.


 


”Nyi, coba lihat siapa yang datang!”


 


Sosok perempuan berwajah khas sunda muncul dari ruang depan.


 


”Siapa dia, Kang?” tanyanya melangkah menghampiri kami.


 


”Ini adikku yang pernah ku ceritakan!”


 


”Kakman?”


 


Kami bersalaman.


 


”Apa kabar, Teh Zakira?”


 


”Darimana kau tahu nama istriku?”


 


”Abah memberitahuku!” aku tertawa kecil.


 


Kami memasuki ruang depan yang cukup luas. Aku duduk di balai bambu. Kak Ilham pergi ke dapur bersama istrinya.


 


“Jadi, sekarang kakak pengusaha gula aren?”


 


”Ya, aku berusaha melakukan yang terbaik demi mempertahankan hidup.”


 


”Saya kagum, mendengar kakak berhasil menyunting Teh Zakira. Saya dengar, kakak menemui halangan yang cukup berat.”


 


”Abah telah bercerita banyak padamu?”


 


”Ya, termasuk waktu kakak meyakinkan Wak Punduh kalau kakak tak akan menyengsarakan Teh Zakira.”


 


Ia menyeruput air gula aren dan mulai bercerita.


 


“Sebenarnya orang tua Zakira setuju atas pernikahan kami. Tapi, Wak Punduh sebagai sesepuh desa khawatir terhadap nasib Zakira kelak karena menikah dengan orang cacat sepertiku. Bagaimana nanti kami membina kehidupan dengan keadaanku yang pastinya tak bisa bekerja. Orang tua Zakira menyadari hal itu, selama ini mereka menyetujuiku dengan Zakira hanya karena mereka kagum pada kesolehanku yang sering mengaji dan membantu Pak Kades mengerjakan sedikit urusan kekelurahan. Rupanya abah Zakira cenderung mendukung pendapat Wak Punduh, ia masih belum yakin aku dapat membina keluarga dengan Zakira. Meskipun aku sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup terhormat di kantor kepala desa.”


 


”Kok bisa kakak bekerja di kantor Kades?”


 


”Ya, aku mengikuti program paket C di Bandung demi mendapat ijazah. Kang Dudung, putra Pak Kades, membantu membacakan soal-soal ujianku. Alhamdulillah.”


 


 Ia narik napas lega. Sepertinya ia membayangkan kembali peristiwa kelulusan itu.
”Aku lulus dengan nilai yang cukup baik. Ternyata penolakkan kepala sekolah SMA di Bandung dulu, membawa berkah tersendiri bagiku!”
”Dan, kepala desa menerima kakak di tempatnya.” Ia mengangguk kecil.
”Aku berusaha meyakinkan beliau, bahwa aku mampu menjadi pekerja yang baik.”
”Kakak membantu dalam urusan apa?” ia menghela napas, bibirnya yang merah membentuk senyuman tipis.
”Aku menjadi sekretaris desa.” Aku terperangah, bagaimana mungkin? Kak Ilham? Kakakku sang penyandang Disabilitas? Menjadi …
”Kau bercanda kak!” celetusku, ragu.
”Kau sendiri tak percaya?”
”Bagaimana aku bisa percaya, maaf! Bukannya aku meremehkan kemampuan kakak. Tapi …”
”Dengan keadaanku yang seperti begini!?” ia mengusap matanya. Aku mengamati kedua bola mata hitam itu, sekilas kedipan mata Kak Ilham mengingatkan aku pada orang-orang sepertinya yang tinggal di Jakarta.
”Persisnya, aku tidak menangani urusan tulis menulis Man. Ada pendampingku yang di tugasi Kades untuk menyelesaikan urusan semacam itu.” Aku mengangguk faham, sayang orang itu tak melihat isyaratku. Teh Zakira membawa jagung rebus, ia meletakkan makanan itu di meja dan duduk disebelah Kak Ilham.


 


 


                        “Jadi, apa tugasmu kak?”
”Aku membantu Pak Kades jika berbicara dengan pihak kota, kadang-kadang Pak Kades sulit memahami Bahasa Indonesia yang baik. Jadi, berhubung waktu itu aku mampu menguasai Bahasa Nasional kita dengan lumayan, dan kebetulan membutuhkan pekerjaan yang layak, diterimalah aku!” aku tersenyum bangga.
”Kang Ilham memang beruntung Dik Kakman. Dia mampu meyakinkan Kades kita, untuk menerimanya sebagai sekretaris Desa.”
”Kapan kau tiba dari Jakarta?” tanya Kak Ilham.
”Kemarin, aku sungguh kaget melihat perubahan di desa ini.”
”Ya, tapi asal kau tahu. Desa ini sedikit mengalami hambatan tentang sosial!”
”Kenapa?”


 


 


“Rupanya aku mempunyai banyak teman di desa ini. Dan asal kau tahu, nasib mereka, paling tidak kurang beruntung ketimbang diriku.”
”Maksud kakak? Ku pikir interaksi sosial warga desa ini sudah cukup maju, mendengar cerita abah sebagian besar warga desa sudah tak mempercayai lagi hukum leluhur, dan mereka sudah sering membaca koran yang tiba dari kota.”
”Benar, tapi kau ingat dengan masalalu kita? Saat kau membantuku belajar di luar kelas!?” aku mulai faham, sekilas bayangan aku dan Kak Ilham yang duduk di depan pintu kelas melintas di benakku.
”Jadi, ada orang lain, yang mengalami keadaan seperti kakak!?” ia mengangguk, ekspresinya menggambarkan keterpukulan amat dalam.
”Ada empat orang penderita cacat sepertiku, satu diantaranya tak mempunyai kaki meskipun matanya normal. Dan, mereka semua mengalami perlakuan kurang baik dari keluarganya.”
”Tunggu, aku punya kata yang lebih sopan untuk menyebut cacat.” Ia tertawa, dan kalimat yang menurutku pasti akan di ucapkannya terlontar juga.
”Wah, aku lupa kalau adikku ini pernah bersekolah di Bandung. Jadi, sudah kau temukan kata pengganti istilah …” ia menahan kalimatnya di udara.
”Disabilitas! Sekarang aku akan menyebutmu dan orang-orang seperti kakak dengan kata itu.”


 


***


 


Kak Ilham mengajakku berkeliling desa siang itu, udara terasa hangat saat kami berjalan di jalan setapak melintasi persawahan. Musim panen akan tiba sebulan lagi, beberapa hamparan sawah mulai di tumbuhi padi-padi berisi. Kami akan berkunjung ke salahsatu rumah penyandang Disabilitas di desa ini. Jembatan Sungai Ci eunteung berada tepat di sebrang pematang sawah, kami berjalan memutar mengikuti jalan setapak. Tiba di sebrang pematang sawah, Kami menelusuri jembatan bambu menyebrang sungai Ci eunteung. Ruma penyandang Disabilitas itu ada di sebrang sungai ini.
”Kau belum memberitahuku siapa nama orang yang akan kita kunjungi kak.” Aku memegangi Kak Ilham di sikunya. Berjalan diatas jembatan semacam ini, aku harus lebih berhati-hati.
”Nanti kau akan tahu sendiri, yang jelas! Mungkin kau bisa memberinya semangat hidup!” ekspresi wajahnya tenang, namun ada kejanggalan dalam nada suaranya. Aku mengarahkan langkah-langkah Kak Ilham dengan memegangi pundaknya, kami harus berjalan berdampingan. Jembatan ini tidak memiliki pegangan sehingga sulit bagi Kak Ilham untuk berjalan diatasnya. bagian jembatan yang rusak bisa menjadi ranjau dan menjebloskan kaki Kak Ilham.
”Awas kak ikuti aku.” Ada bagian jembatan yang bambunya sudah mengeropos, aku menghindari ranjau itu. Kak Ilham ku suruh berjalan di belakangku. Akhirnya kami tiba di ujung jembatan.
”Kalau kau berjalan sendiri, bagaimana caranya kau selamat Kak?” kataku, seraya mengamati jembatan lapuk itu.
”Ya, dengan terpaksa aku harus merangkak. Bambu-bambu yang telah mengeropos sulit di raba oleh tongkat kayu.”


 


Kami menaiki undakan batu menuju sebuah rumah panggung sederhana. Rumah itu tak memiliki beranda dipan seperti rumah panggung lainnya. Kang Ilham mengetuk pintu seraya mengucap salam.


 


”Tidak ada orang.” Gumamku. Kak Ilham mengetuk sekali lagi, ada suara gesekan pelan di papan rumah. Suaranya seperti orang menggosok papan dengan alat penghalus kayu, aku cermati suara itu.
”Sheeeeek !!! sheeeeek !!!” suara itu mendekati pintu. Aku mulai dilanda kecemasan, apakah itu suara ular besar? Atau orang ngesot? Kemudian suara klik lembut tulak pintu di putar. Aku ternganga ketika pintu menjeblak terbuka dan berhadapan dengan sohsok yang hampir membuatku jatuh pingsan. (Senna)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *