Langit Senja Bagian 9

Aku menjatuhkan diri ke atas sofa di sisi mamah. Pulang sekolah dan menemukan mamah di rumah itu adalah rejeki luar biasa.

“Nggak ke mana-mana?” tanya mamah.

“Nggak, Mah.” Aku menjatuhkan kepalaku di pangkuannya.

“Gimana sekolah?” Mamah membelai kepalaku.

“Yah gitu, Mah. Biasa aja,” jawabku. “Eh, Mah. Entar sore temen-temen mau ke rumah, mau ngerjain tugas. Habis ashar.” Aku melirik jam yang tergantung di atas televisi. “Setengah jam lagi.”

Mamah mengangguk, lalu mengernyit, “Ya kenapa nggak langsung ke sini aja pulang sekolah tadi?”

“Tau tuh, Mah. Pada mau pulang dulu. Pada nggak berpikir praktis emang,” jawabku.

Mamah tertawa kecil, mengacak rambutku.

“Oiya, tadi pagi pas mau pulang, mamah ketemu sama Awan di rumah sakit.”

“Oh.”

“Kok cuma gitu tanggepannya?” Mamah bertanya padaku dengan heran.

“Emang gimana harusnya?” tanyaku bingung.

“Kamu nggak pengen tahu dia ngapain ke rumah sakit?” tanya mamah. “Ya udah kalau nggak mau tahu.” Mamah memasang tampang jual mahalnya.

Aku tertawa. “Tugas observasi.”

“Oh, udah tau. Pantes.” Mamah mengacak rambutku lagi.

Suara bel pintu membuatku dengan cepat bangun dan meninggalkan mamah, melangkah cepat ke teras. Di luar pagar sudah ada Ei, Eko, dan Senja.

“Semangat amat, yak?” kataku sewaktu membukakan pagar. “Suka deh kalau timnya solid kayak gini. Datengnya lebih cepet dari janjiannya.”

“Ewet!” kata Ei.

“Masuk.” Aku mempersilakan mereka masuk. “Mau ngerjain di mana? Teras, ruang tamu, atau di kamar?” tanyaku.

“Terserah yang punya rumah aja,” jawab Eko sambil mendorong motornya memasuki halaman.

“Di ruang tamu aja kali, ya? Lebih luas.” Aku menyentuh tangan Senja.

“Thank you,” katanya. Dia menempatkan tangannya di lenganku.

“Ape kate lu dah, Mpok!” kata Ei tak sabar. Dia memarkirkan motornya di sebelah motor Eko.

Aku berhaha-hehe. “Eh, tapi bentar, ya? Duduk dulu.” Aku mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. “Ja, di sebelah kiri kamu, setinggi lutut, ada sofa.”

Senja melepaskan tangannya dari lenganku. Dia meraba tempat yang aku tunjukkan lalu duduk di sana.

“Bentar, ya? Bentaaaar banget.” Aku bergegas masuk ke ruang keluarga.

“Ada siapa aja? Ei?”

“Iya. Sama ada temen lagi, Eko sama Senja.”

Mamah mengangguk-angguk.

“Mana temenmu? Mamah pengen kenalan.”

Mamah berdiri, meninggalkan koran yang tadi sedang beliau baca, lalu melangkah ke ruang tamu.

Tubuhku tiba-tiba menjadi tegang. Ada rasa cemas sewaktu melihat mamah melangkah ke ruang tamu. Cemas dengan bagaimana tanggapan mamah pada Senja nanti.

“Ini Eko sama Senja, Tante.” Ei tersenyum memperkenalkan Eko dan Senja.

“Eko pasti anak ketiga, ya?” tanya mamah sewaktu Eko menyalaminya.

“Bukan, Tante. Saya anak pertama,” jawabnya polos.

“Yaelah, dijawab,” kata Ei.

Mamah tertawa lalu menerima uluran tangan Senja.

“Senja? Namanya bagus, ya? Hati-hati nanti diculik sama Tata. Dia ngefans banget segala sesuatu yang hubungannya sama senja,” goda mamah, membuat Senja tersenyum.

Perasaan lega langsung meliputiku. Mamah tidak berkomentar apa pun, tidak bersikap aneh, tidak bersikap canggung. Sejauh ini keadaan aman.

Baca:  Langit Senja Bagian 3

“Ya udah. Kalau mau ngerjain tugas. Tante tinggal ke belakang dulu, ya?”

Mamah meninggalkan kami, menyunggingkan senyuman saat melewatiku.

“Bentar aku ambil peralatan dulu.” Aku melangkah cepat menaiki tangga lalu kembali dengan laptop dan beberapa buku.

“Aku udah coba bikin latar belakangnya semalem. Tapi coba diliat lagi, deh!” Aku menunjukkan laptop-ku pada Eko.

“Aku juga udah nyicil ngetik tentang teorinya.” Senja mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.

Semua langsung terdiam, memandangi Senja yang dengan cepat menyalakan laptop, membuka bagian makalah yang sudah dia cicil dan menunjukkannya pada Eko. Aku dan Ei saling melemparkan pandangan, masih lumayan terkejut dengan kemampuan Senja menggunakan laptop. Dia sama sekali tidak mengalami kesulitan menggunakan laptop-nya yang bisa berbicara itu.

“Bagus, Ja,” komentar Eko. “Ini sih namanya bukan nyicil, tapi nyelesein.”

“Cocok! Latar belakang udah ada, teorinya udah ada, berarti tinggal bikin analisisnya aja,” kata Ei. “Bikin, Ko!” Dia menunjuk Eko yang langsung melengos.

Kami lantas tertawa.

Ini adalah kerja kelompok tercepat yang pernah aku lakukan. Pembuatan makalah yang biasanya bisa memakan waktu sampai berjam-jam, kali ini bisa kami selesaikan hanya dalam waktu dua jam. Makalah yang kami susun sudah tercetak dan tertumpuk rapi, siap dijilid tepat di menit ke seratus dua puluh sejak kami duduk bersama.

“Selesai juga.” Ei meluruskan punggungnya. “Mikir itu bikin capek ternyata,” katanya.

“Emang kamu mikir buat bagian mana, Ei?” tanyaku.

Gadis itu mendelik ke arahku. “Nulis daftar pustaka juga butuh mikir kali!”

Kami tertawa lagi.

“Tapi analisisnya Dewi bagus, kok.” Eko membela. “Analisisnya Senja juga bagus. Rekta juga,” lanjutnya.

“Ya intinya, analisis kita bagus semua. Kita kan kelompok kerja yang solid,” kata Senja menengahi.

“Jangan lupa jilidnya yang bagus ya, Dew. Senin dikumpul habis ujian Kewarganegaraan,” kata Eko.

“Iya iya. Bawel, ih.” Ei memberikan lirikan maut pada Eko yang seketika membuatku tertawa.

“Kenapa?” tanya Senja.

“Ei tuh ngelirik Eko sambil monyong-monyongin bibir,” jelasku.

“Oh..” Senja ikut tersenyum. Manis sekali.

Duh, jantungku.

“Kayaknya hujannya bakalan lama,” kata Eko seraya mengamati hujan deras yang sudah satu jam ini turun, mengubah topik. Pandangannya dilemparkan ke luar pintu ruang tamu yang sengajs kami buka lebar-lebar, tak mempedulikan reaksi Ei tadi.

“Iya,” timpalku.

“Rekta nggak suka hujan?” tanya Senja.

“Kenapa nanya gitu?” tanyaku.

“Ya kedengerannya gitu.” Senja mengangkat bahu. Sedikit.

“Sok tau,” jawabku seraya mematikan laptop.

“Dia nggak suka hujan cuman kalau sore gini, Ja,” kata Ei, menyela, tiba-tiba. “Kamu nggak tau kan manusia aneh ini punya kebiasaan nongkrongin matahari terbenam kalau sore gini. Biasanya dia nongkrong di jendela kamarnya di lantai dua sana, cuman duduk liatin langit senja. Beneran nggak produktif.”

Aku langsung mendelik pada Ei. “Makasih loh, Ei,” kataku sarkastik.

“Iya. Sama-sama,” jawabnya sambil menahan tawa.

“Iya?” tanya Senja.

“Iya,” jawabku sekenanya. Sok-sokan bertanya padahal dia pernah menemaniku menikmati langit senja.

“Iya kamu manusia aneh?” Eko yang biasanya tak banyak bicara, tiba-tiba ikut menimpali. Padahal kedua matanya masih terpaku pada layar ponsel, bisa-bisanya dia ikut berkomentar.

“Kamu bisa ngomong, Ko?” tanyaku. Eko hanya mengangkat bahunya lalu membuat wajah tak peduli.

Aku melirik Senja. Dia tersenyum geli di sisiku.

“Kamu kayaknya seneng banget ya kalau aku dijadiin korban bullying kayak gini, Ja?”

“Lah, kok gitu?” Senja masih mengulum senyuman gelinya.

“Doyan apa laper, Ta? Duku berapa kilo itu dihabisin sendiri?” celetuk Ei lagi seraya melihat tumpukan kulit duku yang ada di hadapanku.

Hih, kenapa aku terus sih ini yang diserang?

“Ini sama Senja juga kali makannya, nggak cuma aku,” jawabku tak terima.

“Kamu suka duku, Rekta?” tanya Senja. Dia memasukkan laptop-nya ke dalam tas.

“Suka lah, kan manis kayak aku,” jawabku.

Senja tertawa. “Iya, percaya,” katanya.

“Makan duku itu kayak hidup, Ja.” Aku memundurkan tubuh lalu bersandar pada sofa di belakangku.

“Maksudnya?” tanya Senja.

“Ya, kayak hidup, nggak terduga. Walaupun dapet yang bagian manisnya, kita harus tetep nyiapin diri juga buat dapet pahitnya. Harus hati-hati. Harus pinter nempatin gigitan, biar nggak kena pahitnya.” Aku mengamat-amati duku terakhir yang baru saja aku kupas. Aku bisa melihat biji kecil berwarna kehijauan yang ada di dalam daging buah yang transparan itu.

Baca:  Akulah si Kerdil

Senja tidak berkomentar. Dia hanya tersenyum.

“Hmmmm… udah mulai bener otakmu, Ta?” komentar Ei.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Kayak nggak inget aja gimana zombie-nya kamu pas Senja nggak masuk sekolah kapan hari itu.”

“Oh ya?” Senja menanggapi kata-kata Ei dengan super cepat. Ada senyuman yang langsung menghiasi wajahnya.

“Ha ha.” Aku tertawa garing. “Diem!” kataku tajam pada Ei, membuat Eko yang duduk di sebelahnya, yang semenjak tadi sibuk dengan layar ponselnya, mulai mengangkat wajahnya dan menatapku. “Apa, Ko?” tanyaku galak.

Lagi-lagi Eko membuat wajah tak peduli dan mengangkat kedua bahunya. Dia lantas melihat ke pintu lagi, ke arah halaman depan.

“Udah berhenti hujannya,” kata Eko.

Aku ikut menoleh ke arah pintu. Hujan memang sudah tidak sederas tadi. Tapi masih gerimis. Dan langit di luar yang seharusnya sudah mulai berubah oranye, hanya berwarna kelabu. Menyebalkan.

“Masih gerimis,” kataku.

“Kalau nunggu beneran reda mungkin bisa malem pulangnya nanti. Udah mau UAS. Aku belum belajar,” kata Eko sambil mulai memberesi barang-barangnya.

“Kan udah belajar kemaren, Ko,” sahut Senja.

“Kemaren? Siapa?” tanya Eko. “Belum belajar apa-apa.”

“Lah satu semester kemaren bukannya kita belajar, ya? Ngapain ke sekolah tiap hari kalo nggak belajar?” jawab Senja sambil memasukkan ponsel ke kantong depan ranselnya.

Kami bertiga langsung menoleh padanya. Ya tak salah sih sebenarnya. Tapi, tetap saja. Masa mau ujian tak ada ekstra waktu buat belajar?

“Berapa persen sih yang bakal keserep otak kalau belajarnya dadakan gitu?” Senja ternyata belum selesai. “Buat bisa ujian itu bukannya butuh ketenangan juga, ya? Kalau dipaksain buat belajar materi sebanyak itu dalam waktu singkat, apa nggak stres tuh badan? Nanti malah nggak dapet gelombang alfa itu otakmu. Tambah mumet nanti pas ujian.”

Dahi Ei sudah mulai berkerut sewaktu aku melihatnya. Wajahnya lucu sekali. Sepertinya aku tahu apa yang akan dia ucapkan setelah ini.

“Ngomong apa sih, Ja? Pake bahasa manusia aja bisa nggak?” kata Ei seraya berdiri.

Ya, tepat seperti itu, tepat seperti dugaanku. Tanpa bisa ditahan, aku tertawa.

“Wajahmu lucu banget, Ei. Sampe nyebelin rasanya,” kataku.

“Iya, nggak jelas emang,” sahut Eko. “Jadi gimana ini keputusannya, Ja? Mau pulang sekarang? Atau kamu mau nunggu hujan beneran reda?”

“Heh, nggak liat aku udah berdiri dari tadi, udah gendong tas, pake jas hujan gini?” Protes Ei terdengar keras. “Udah kaya gini, awas aja kalau nggak jadi pulang sekarang!”

“Kayanya masih mayan deh hujannya, Ja. Lagian bentar lagi juga adzan magrib. Nanggung,” ucapku.

Ei langsung mendelik ke arahku begitu aku menyelesaikan kalimat itu.

“Ja? Mau nunggu sebentar lagi?” tanya Eko.

Please bilang iya, jawabku dalam hati.

“Jangan lah. Kasian kamu, Ko. Kan rumahmu jauh,” jawab Senja.

Ei melirikku dan tersenyum penuh kemenangan. Dia bahkan sempat menjulurkan lidahnya ke arahku. Aku mengabaikannya.

“Nggak papa kan kalau aku pulang, Rekta?” tanya Senja tiba-tiba.

“He?” tanyaku kaget. “Lah emang kenapa?”

“Dari tadi kayanya nggak rela aku pulang,” jawabnya.

Ya. Dia menjawabnya, memperjelas sesuatu yang sudah sangat jelas. Wajahku langsung terasa panas. Jengah.

“Kalian ini pacaran aja lah sana,” kata Eko sambil berdiri.

“Kamu setuju, Ko?” tanya Ei. “Sama. Aku juga. Tos dulu sini.” Ei mengangkat sebelah tangannya ke arah Eko

Eko menggendong tas ranselnya di dada, mengabaikan sebelah tangan Ei yang sudah siap menerima tos darinya. Giliran aku yang tersenyum penuh kemenangan pada Ei yang mulai manyun.

“Ya udah. Pulang sendiri kamu,” kata Ei pada Eko.

“Ya emang pulang sendiri,” jawab Eko.

“Pada mau ke mana, siiih?” tanyaku.

“Pulang. Kan udah kelar makalahnya.” Eko masih saja menjawab setiap pertanyaan dengan polos. “Yuk, Ja.” Eko mengajak Senja.

“Nggak nunggu diusir dulu?” tanyaku lagi.

“Garing,” komentar Ei dengan wajah cuek. “Mamah mana, Ta?” tanyanya lagi. Dia berdiri, berjalan cepat ke ruang keluarga lalu tak lama keluar lagi bersama mamah.

“Makasih ya udah mau maen ke sini,” kata mamah sewaktu tiga orang manusia itu berpamitan.

Baca:  Dongeng Gemericik Suara Hati (48)

“Iya, Tante. Maaf sudah ngerepotin,” kata Eko.

“Ah, nggak repot, kok! Kan Tata yang repot. Biar aja,” jawab mamah.

Mereka tertawa.

“Hati-hati, ya?” kata mamah.

Aku mengantarkan mereka ke halaman, membantu Senja naik ke boncengan Eko, melepas mereka pergi, lalu kembali menutup pintu pagar. Mamah berdiri di teras, menatapku sambil tersenyum sewaktu aku berbalik.

“Kenapa, Mah?” tanyaku.

“Nggak papa.”

Mamah merangkulku, mengajakku berbalik. Tapi baru saja kami masuk ke ruang tamu, ada suara motor berhenti di depan. Kami kembali berbalik bersamaan. Di luar pagar, mas Awan turun dari motornya, lalu membuka pintu gerbang, mendorong motornya masuk ke dalam halaman.

“Senyum,” bisik mamah.

Aku tersadar. Ternyata senyuman yang sedari tadi menghiasi wajahku tiba-tiba menghilang saat melihat Mas Awan. Aku menghela napas, lalu menyiapkan senyuman terbaikku.

“Loh, masnya yang tadi tersesat di Flamboyan bukan?” sapa mamah.

Mas Awan tertawa, buru-buru memarkirkan motor lalu mendatangi mamah dan menyalami beliau.

“Nggak bisa pakai gmap di dalem rumah sakit soalnya, Tan. Hehehe.”

Garing, seperti biasa. Dan seperti biasa juga, aku ikut tertawa.

“Yaudah, masuk duluan, ya? Banyak yang harus diberesi ini.”
Mama mendahuluiku memberesi gelas lalu meninggalkan ruang tamu.

“Tumbeeeeen… Belum adzan magrib loh inii,” sambutku.

“Baru pulang dari kampus. Kalau pulang ke rumah dulu nanti kemaleman, nggak bisa lama-lama sama kamu.” Mas Awan berhenti di hadapanku, langsung merentangkan kedua lengannya. “Kangeeen,” katanya.

“Apa, sih?” tanyaku. Rasanya malu setiap kali dia bersikap seperti itu.

“Lah, kok malah ‘apa sih?'” Dia memberengut. Sesuatu yang kentara dibuat-buat.

Aku memutar bola mata, mendahuluinya masuk ke ruang tamu. Mas Awan tertawa sendiri, mengikutiku ke ruang tamu.

“Habis ada tamu, ya?” tanyanya sambil melirik tumpukan buku dan laptop yang masih ada di meja ruang tamu.

“Iya. Habis ngerjain tugas kelompok. Mau minum apa?”

“Bukannya minggu depan udah ujian? Kok masih ngerjain tugas?” Dia menjatuhkan diri ke atas sofa, menarik kedua kakinya untuk bersila di sana.

“Ya emang gitu. Mau gimana lagi?” jawabku. “Ini mau ngajak keluar apa gimana?”

“Emang nggak papa kalau keluar? Kamu Senin udah ujian, kan? Nggak belajar?”

“Udah kan satu semester kemaren. Emang menurutmu, ngapain aku ke sekolah tiap hari kalo nggak belajar?”

Tanpa sadar aku tersenyum. Rasanya aneh mendengarkanku mengucapkan setiap kata yang tadi diucapkan oleh Senja. Rasa aneh yang menyenangkan.

“Ya nggak gitu dong konsepnya.. Ini kan ujian. Butuh persiapan ekstra harusnya, Taaa. Review laaah.” Mas Awan terdengar gemas.
“Masuk kedokteran itu nggak gampang, tau. Ayah kamu kan pengen kamu jadi dokter. Jangan dikecewain.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Ada. Ada banyak sekali yang sebenarnya ingin kukatakan. Ada banyak hal yang sekarang memenuhi kepala. Tapi, lagi-lagi, kubiarkan tertahan. Biar sajalah. Mas Awan juga tak salah, kan?

“Bentar, yak,” pamitku.

Aku meninggalkan Mas Awan, menuju dapur. Dengan cepat aku meraih gelas dan mengisinya dengan air putih dingin.

“Kenapa?” tanya mamah yang baru keluar dari kamar mandi.

Aku mengerutkan alis. “Kenapa apanya, Mah?” tanyaku bingung.

Mamah mengamatiku, tak langsung menjawab. Beliau lantas hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahu sebelum menaiki tangga.

“Minum.” Aku meletakkan gelas ke atas meja ruang tamu, lalu ikut bersila di sofa di hadapan Mas Awan.

“Banyak ya tadi yang ke sini?”

“Cuma bertiga.”

“Siapa aja?”

“Ei, Eko, sama Senja.”

Aku lantas berpura-pura baik-baik saja. Setiap kali menyebutkan nama Senja di hadapan Mas Awan rasanya… entahlah. Lagi-lagi aku tak mampu menilai ini rasa apa namanya.

Sesaat hening. Mas Awan sepertinya menungguku mengatakan sesuatu. Sedangkan aku sepertinya sedang tak ingin mengatakan sesuatu.

“Aku tadi ketemu mamamu di rumah sakit.”

“Iya, tadi mama cerita.”

“Ooooh..” Mas Awan mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.

Lalu hening lagi. Aku hanya melihatnya memandangiku sesekali. Mas Awan lantas bercerita tentang hidupnya, kuliahnya. Aku mendengarkan saja. Menimpali sedikit di sana-sini, seringnya hanya mengulangi sedikit ceritanya agar terdengar bahwa aku benar-benar mendengarkan.

Tiba-tiba Mas Awan kembali terdiam, kembali memandangiku seperti tadi.

“Ta?” panggilnya.

“Apa?”

“Kita nggak apa-apa, kan?” tanyanya.

Bersambung.

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 11

7 Comments

  1. oh ya mbak. di adegan yang Rekta kasih tahu Senja posisi kursi yang ada di sebelahnya itu nice try. Cuma lebih efektif lagi untuk menunjukkan posisi kursi, langsung aja tangan si Senja diarahkan untuk menyentuh kursinya. sekaligus kasih tahu dengan disentuhkan ke meja yang ada di depannya. jadi tahu jarak meja dengan kursi ketika duduk nanti.

Leave a Reply