“Nomer tiga puluh tadi jawabannya apa, Ta?” tanya Reno.
“B.” Aku membereskan alat tulis, bersiap meninggalkan kelas.
“Kok B, sih? Bukannya C, ya?” Reno ikut berdiri dan bersiap meninggalkan kelas tempat kami menjalani UAS selama seminggu ini. Yep, time does fly. Rasanya baru kemarin mulai tahun ajaran baru, eh tiba-tiba sudah UAS.
“Udahlah, No. Udah kelar juga. Kalau salah juga udah nggak bisa diganti ini,” jawabku tak sabar. “Pulang, yuk, ah!” kataku kemudian.
“Yee… dasar pelit!” kata Reno sambil mengambil tas ranselnya yang tergeletak tepat di sebelah tas ranselnya.
“Yee.. biarin!” jawabku.
“Udah ketularan Senja kamu.”
Aku langsung menoleh pada Reno. Dia sedang melirik jam yang ada di pergelangan tangannya.
“Weekend dan pulang pagi itu nyenengin banget, yak?” katanya.
Aku tidak tertarik dengan kalimat yang barusan. Aku lebih tertarik pada kata-kata Reno sebelumnya.
“Maksudnya ketularan gimana?” tanyaku.
Reno menoleh padaku. “Ya kamu itu. Udah sama nyebelinnya sama dia sekarang.”
“Nyebelin gimana?” kejarku.
Kali ini Reno mengangkat kedua bahunya dan memasang tampang tak tertarik untuk membahas masalah itu. Dia mendahuluiku melangkah menuruni tangga yang ada di depan kelas. Aku bertahan, hanya berdiri memandangi punggungnya. Sekarang aku baru merasa ada yang berbeda dengannya. Selama ini aku tak terlalu peduli. Tapi iya, dia berubah. Reno tak lagi sedekat dulu denganku, jarang mendatangiku hanya untuk sekedar bercanda seperti dulu.
Reno adalah salah satu teman satu SMP-ku dan Ei. Tiga tahun kami berada di kelas yang sama. Kami cukup dekat, sering menghabiskan waktu bersama, beberapa kali hang out bareng. Dia juga yang memperkenalkanku pada Mas Awan. Rasanya ya ada yang hilang sewaktu dia tiba-tiba seperti menjauh begini. Tapi yaaah…
“Jangan lompat!”
Aku menoleh. Tika ada di belakangku. Gadis mungil itu menyunggingkan senyuman usil seperti biasa.
“Ngapain berdiri di situ? Mau lompat?” Dia ikut berdiri di sebelahku. “Nggak pulang?” tanyanya lagi sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya.
Aku melirik jam tangan. “Baru jam sepuluh.” Aku buru-buru merogoh saku samping tas, tempat aku biasa menyimpan kunci rumah. “Hadeeh,” keluhku kemudian.
“Kenapa, Ta?” Tika yang sudah hampir melangkah menuruni tangga, mengurungkan niatnya sewaktu mendengar keluhanku.
“Belum bisa pulang aku, Tik. Lupa bawa kunci rumah.”
“Aku bawa kunci inggris di motor. Mau minjem?” tanyanya sebelum kemudian nyengir.
“Hahaha. Lucu,” sambutku cepat. “Aku ke kelasnya Ei dulu.” kataku.
“Salam ya buat, Dewi,” kata Tika.
“Oke.”
Aku berbalik, tak jadi menuruni tangga, tapi menyusuri lorong lantai dua, melewati kelas-kelas yang biasa digunakan belajar oleh para siswa kelas sebelas, lalu menuruni tangga di bagian belakang, kantin, sampai akhirnya di jajaran kelas di gedung bagian belakang yang biasa dipakai kelas sepuluh.
Setiap ujian memang selalu seperti ini, anggota kelas akan dibagi dua sama rata, separuh kelas akan tetap ujian di kelas asal, duduk bersebelahan dengan kakak kelas. Lalu sisanya dibuang di kelas lain. Sialnya, yang selalu dibuang dari kelas asal adalah nomor urut dua puluh enam ke bawah, termasuk aku.
“Ei!” panggilku sewaktu menemukan Ei sedang memasukkan alat tulisnya ke dalam tas di dekat pintu kelas. Dari awal aku sudah yakin Ei belum akan pulang. Dia memang selalu keluar terakhir setiap kali ujian.
“Eh, udah kelar jugak?” tanyanya.
“Udah lah. Orang waktunya udah habis,” jawabku. Aku diam menatapnya buat sesaat. “Kayak gini kok bisa-bisanya juara umum,” kataku.
“Hehehe.. pertanyaan bego, ya?” tanyanya.
“Iyek!” jawabku. “Habis ini mau ke mana?”
“Pulang, laaah. Siang ini mau berangkat ke Jogja sekeluarga. Emang mau ke mana?” Ei menggendong ranselnya, mengajakku berjalan meninggalkan kelas.
“Aku lupa bawa kunci rumah…”
“Terus?”
“Ayah pagi ini jadwal homecare ke masyarakat.”
“Terus?”
“Mamah lagi ada seminar di Semarang.”
“Terus?”
“Mas Awan udah seminggu ini emang nggak bisa jemputin soalnya kuliahnya lagi padet-padetnya.”
“Terus?”
“Ya terus aku kudu ke manaaaaaa??” tanyaku, mulai frustrasi dengan respon datarnya Ei dan kemungkinan besar kalau aku tidak akan bisa pergi bersamanya atau mengobrak-abrik kamarnya.
“Kalau aku nggak ke Jogja sih ta temenin jalan, Ta. Lah tapiiii… udah kadung janji sama keluarga besar.” Ei akhirnya menunjukkan empatinya.
Kami berdua akhirnya sama-sama diam karena tidak menemukan jalan keluar. Aku beberapa kali menghela napas. Begonya itu loh. Sudah tahu ujian cuma satu mata pelajaran, cuma sampai jam sepuluh, kok ya kunci rumah ditinggal.
“Ya udah. Aku anterin ke rumah sakit aja kalau gitu, ngambil kunci di ayahmu.”
Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Ayah sudah pasti akan mengomeliku dari A sampai Z kalau tahu aku lupa membawa kunci, apalagi berani mengganggu ayah di jam kerjanya seperti ini. Lagipula kalau sedang homecare seperti ini, ayah sudah pasti menjelajahi Solo. Ya kalau pas lagi dekat, kalau pas lagi jauh…. malas.
“Hadeeeeh. Terus gimana?” tanya Ei. “Kamu mau nunggu di sini?”
Kepalaku terangguk pelan.
“Masak di sini sih, Ta? Bentar lagi udah nggak ada orang loh!” kata Ei.
“Ya habis mau gimana lagi? Mau jalan juga nggak ada temennya. Nggak bawa baju ganti pula.”
“Ya udahlah. Sori banget, ya?”
Aku mengangguk. “Iya. Nggak papa, Ei.”
Dengan tak rela, aku melepas Ei pulang. Aku mengembuskan napas kesal. Kesal dengan kebodohanku. Selalu saja seperti ini. Teledor.
Aku menoleh, melirik lengan kananku. Sudah seminggu ini aku tidak bertemu Senja. Yah sebenarnya sih aku bertemu dengannya. Hanya saja, aku tak bisa menghabiskan waktu dengannya sebanyak biasanya, sewaktu tidak ujian. Kalau ujian seperti ini, dia ujian di tempat yang terpisah. Di awal-awal mingu kemarin sih masih sempat bertemu setiap istirahat. Tapi beberapa hari terakhir aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Paling-paling hanya pesan singkat atau telpon. Apa aku ke rumahnya saja, ya? Tapi, alasan apa yang bisa kupakai untuk bisa ke sana? Kangen? Yang benar saja!
Ponsel yang ada di saku rokku tiba-tiba bergetar. Aku dengan cepat mengeluarkannya dan langsung tersenyum. Mungkin benar kata orang, rasa kangen itu bisa menembus ruang dan waktu.
“Ya, Ja?” tanyaku, menerima panggilan telpon itu.
“Kamu masih di sekolah?” tanyanya. Lebih seperti menebak, bukan bertanya.
“Iya. Tau dari mana?”
“Tadi pas pulang ketemu Tika.”
“Oh,” kataku. Aku tak perlu bertanya apa-apa lagi.
“Kenapa belum pulang?”
“Hehehe… nggak bawa kunci rumah. Rumah lagi kosong. Yah, intinya belum bisa pulang sekarang.”
“Kenapa nggak hubungi aku dari tadi?” tanya Senja. “Ke rumah. Aku tunggu,” katanya kemudian, tanpa menunggu jawabanku.
“Iya.”
“Ya udah. Ati-ati.”
Aku berdiri, melangkah meninggalkan sekolah, menyeberang jalan, lalu berbelok di pertigaan. Jalan ini sudah berkali-kali aku lewati. Setiap kali ada jadwal ekskul, setiap pulang sekolah aku memang selalu ikut Senja pulang ke rumahnya.
Senja sudah menungguku di teras rumahnya. Dia sudah mengganti seragamnya dengan jins hitam dan kaos baseball berwarna abu-abu dengan lengan berwarna merah tua. Aku langsung ber-haha hehe begitu sampai di depannya.
“Kamu iniii,” katanya. “Ayo masuk.” Dia mendahuluiku memasuki rumah lalu menjatuhkan diri ke atas sofa di depan televisi.
“Kok sepi, Ja? Umi mana?”
“Lagi keluar bentar.”
“Ooh..” Aku meletakkan tasku di sofa lalu duduk di sisinya.
“Arik?”
“Bimbel.”
“Oh.”
Kami kemudian sama-sama diam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku bukan orang yang pintar berbasa-basi seperti Ei. Makanya sebenarnya aku selalu membutuhkan Ei, selalu mengandalkan dia setiap kali harus bertemu orang-orang baru. Dia yang selalu menjadi juru bicara dan pembuka percakapan.
“Kamu mau jalan, nggak?” tanya Senja tiba-tiba.
“Jalan ke mana?” tanyaku balik.
“Kamu biasanya jalan ke mana?”
“Makan, nonton…”Aku tersadar, lalu mengutuki mulutku sendiri sewaktu melihat senyuman di wajah Senja, tiba-tiba merasa bersalah sama ucapanku. “Sori, Ja. Aku…”
“Nggak. Maafku udah habis. Tiap hari kamu mintain terus.”
“Lucu!” kataku.
“Jadi? Kamu mau nonton apa makan?” Dia mengulangi tawarannya.
“Terserah kamu aja,” sambutku. “Tapi aku nggak bawa baju ganti, Ja. Nggak enak jalan pake seragam.”
“Ada di kamarku. Pake aja,” katanya datar.
Dahiku berkerut. “Maksudnya?”
Senja menoleh padaku dan tersenyum. “Udah aku siapin. Ada di kamarku, di atas meja. Kamu bisa ganti baju di sana.”
Buat kesekian kalinya sewaktu bersamanya, aku kehabisan kata-kata. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa.
“Udah sana cepetan. Aku janji nggak bakal ngintip, kok.” Dia tersenyum jahil.
Aku menurut, segera berdiri dan melangkah memasuki kamar sebelah kanan yang menghadap ke ruang tamu.
Hari ini, setelah berkali-kali berada di rumah ini, adalah pertama kalinya aku masuk ke kamar Senja. Aku sempat minder sewaktu membuka pintu dan menemukan kamar super rapi itu. Koleksi bukunya tersusun rapi di rak berwarna hitam yang menempel di dinding dekat pintu. Di sebelahnya ada meja belajar yang juga berwarna hitam dan tempat tidur. Tapi kedua mataku kemudian tidak lagi memperhatikan detail lain di dalam kamar ini. Kedua mataku langsung tertuju pada tas kertas berhias gambar matahari yang ada di sana. Aku membukanya lalu menarik keluar sebuah dres bunga-bunga berwarna oranye dari sana.
Aku tidak tahu rasa ini namanya apa. Dadaku, untuk kesekian kalinya, disesaki rasa yang begitu asing, yang aku tak pernah merasakan sebelumnya. Aku bukan tak pernah mendapatkan hadiah. Pernah. Sering malah. Tapi, baru kali ini rasa asing ini datang ketika aku menerima hadiah. Ini pertama kalinya. Anehnya, aku menyukai ini. Semua ini.
“Rekta?”
Aku menarik napas panjang, melepaskan dres itu dari pelukanku lalu melangkah ke pintu, membukanya. Senja berdiri di depan pintu.
“Ja, ini ….” Aku menggantung ucapanku, terlalu bingung harus mengatakan apa.
“Kamu nggak suka?”
“Bukan gitu…”
“Sori, ya? Itu Umi yang jahitin, jadi mungkin nggak sebagus kalau beli di toko.”
“Ja, ini terlalu cantik. Kayaknya aku nggak pantes….” Suaraku semakin lama semakin habis.
Kali ini dia tersenyum geli. “Udah, pakai dulu. Buruan. Aku tunggu.”
“Tapi, Ja…”
“Udah.”
Nada suara yang menenangkan itu akhirnya membuatku patuh, kembali menutup pintu. Tanpa menunda lagi, aku segera mengganti seragam putih abu-abu-ku dengan dress itu. Dengan ringannya, dress itu jatuh di badanku. Ukurannya pas sekali. Tapi rasa aneh di dalam dadaku itu masih saja ada. Rasanya, aku tak pantas untuk mendapatkan hadiah sebagus ini. Rasanya ini salah.
Getaran dari ponsel yang ada di saku rok sekolah membuatku buru-buru meraih rok yang kuletakkan di atas kasur dan mengeluarkan ponsel dari sana.
Mas Awan: Udah pulang sekolah, Dek?
Aku menghela napas. Mengapa selalu seperti ini, membuatku semakin merasa bersalah saja.
Me : Udah
Balasan itu kukirimkan. Seragamku lantas kuberesi dan aku segera keluar kamar. Tapi langkahku lagi-lagi kuhentikan di depan pintu.
“Udah?” tanya Senja.
“Ja…”
Senja tersenyum. “Kita pergi sekarang?” tanyanya, memotong kata-kataku.
“Ja…”
“You look beautiful. Yuk!” Senja mendahuluiku ke pintu, tidak memedulikan panggilanku.
Aku pasrah lagi. “Iya,” kataku pendek sebelum kemudian mengeluarkan jaket jins dari dalam tas sekolahku, melapiskannya di luar dress yang kupakai, lalu ganti memasukkan seragam ke dalam tas.
Senja sudah berdiri di teras dengan lipatan tongkat tergenggam di tangan kanannya waktu aku selesai memberesi barang-barangku. Aku bergegas menyusulnya, menerima kunci yang dia sorongkan kepadaku, membantunya menutup dan mengunci pintu rumah, lalu menyerahkan tanganku padanya.
“Mau nonton di mana?” tanyaku.
“Kamu maunya di mana?” dia balik bertanya.
“Terserah.”
Dia diam buat sesaat.
“Paragon?” katanya.
“Mmm.. boleh.”
“Naik apa?”
“Apa ya, Ja? Terserah aja, deh. Yang nyaman aja apa.”
Senja lagi-lagi mengambil jeda. “Ya udah. Naik bus aja.”
Kami lantas lebih banyak diam. Senja lebih banyak diam. Aku juga tidak tahu mau mengobrol apa. Jadi aku juga ikut diam. Tak tahu mengapa, rasanya ada yang aneh dengan diamnya Senja siang ini. Seperti ada yang sedang dia pikirkan.
“Eh, cowoknya nggak bisa liat, ya?”
“Iya kayaknya. Sayang, ya? Padahal cakep loh.”
Aku menoleh pada Senja sewaktu mendengar bisikan-bisikan di belakangku itu. Sama seperti biasanya, Senja hanya tersenyum. Kali ini dia tidak mengeratkan genggaman tangannya di lenganku seperti ketika dia berjalan bersamaku di CFD hari itu. Mungkin, dia sudah tahu, aku tak lagi terganggu dengan hal-hal seperti itu.
“Step!” kataku begitu kami sampai di ujung eskalator.
“Thank you,” balas Senja.
Aku sempat menoleh pada beberapa orang yang ada di belakangku tadi. Mereka berbelok ke arah yang berlawanan denganku dan Senja.
“Intinya, aku cakep,” kata Senja, membuatku langsung menoleh padanya.
“Oh, jadi seneng dibilang cakep? Bangga?” tanyaku.
“Cemburu?”
“Cemburu? Siapa? Aku?” Aku kemudian tertawa garing.
Iya, lanjutku dalam hati.
“Mau nonton apa, Rekta?”
“Terserah, Ja.”
Lagi-lagi, Senja diam, sama seperti tadi, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Rekta,” panggilnya kemudian. “Boleh nggak aku minta tolong sesuatu sama kamu?”
“Apa?”
“Paling nggak buat hari ini aja, aku nggak mau lagi denger kamu ngomong terserah atau maaf ke aku.”
Aku langsung menoleh padanya. Manusia ini ….
“Aku pengen kamu yang ngambil keputusan buat apa pun yang bakal kita lakukan hari ini.”
Manusia ini. Dia benar-benar memporak porandakan hidupku. Aku selama ini sudah merasa nyaman dengan kata ‘terserah’. Aku sudah terbiasa untuk menjadi pengikut, penurut, bukan pengambil keputusan. Aku sudah nyaman dengan posisiku. Tak bisakah tetap seperti itu?
“Jadi, mau nonton apa?” tanya Senja.
“Nggak tahu, Ja.”
Senja menghentikan langkahnya. Mau tak mau aku ikut berhenti.
“Kamu putusin dulu, baru kita ke bioskop.”
“Apa sih, Ja. Nggak penting banget, sih,” keluhku.
“Ya udah. Nggak usah pergi kalau gitu. Kita pulang aja.”
“Oke, oke.” Aku akhirnya pasrah. “Gimana kalau nggak nonton?”
“Terus? Makan?”
“Boleh. Tapi nggak di sini, nggak di mall,” jawabku.
“Fine.” Senyuman mengambang di wajah Senja. “Kamu yang mutusin di mana. Aku ikut.”
Aku mengajaknya keluar dari bangunan besar itu.
“Tempatnya nggak terlalu jauh sih, Ja. Jalan kaki nggak papa?” tanyaku.
“Nggak papa.”
“Tapi jalannya lumayan rame. Atau naik becak aja.”
“Terserah kamu, Rekta.”
Aku yang memutuskan. Dan itu rasanya aneh. Aku benar-benar tidak terbiasa melakukan ini.
“Ya udah, kita jalan kaki aja,” ucapku. Akhirnya.
Senja menganggukkan kepalanya dan tersenyum puas. Dia kemudian tak banyak berbicara. Kami tak banyak mengobrol selama berjalan. Hanya sesekali aku memberitahunya bahwa kami akan menyeberang jalan atau menghindari hambatan di jalan.
Aku mengajak Senja memasuki tempat makan lesehan yang ada di daerah Badran yang untungnya siang ini lumayan sepi. Masih ada dua meja yang kosong. Ini sudah lumayan. Biasanya, untuk bisa makan di tempat ini, aku harus mengantri.
“Rekta,” panggil Senja setelah kami duduk dan selesai memesan makanan.
“Hmm?”
“Kenapa nggak jadi nonton tadi?” tanya Senja.
Aku tak langsung menjawab, hanya diam memandanginya.
“Aku lagi nggak pengen nonton,” jawabku.
Jujur. Aku memang tidak terlalu suka menonton film di bioskop, perlu mengumpulkan mood terlebih dahulu. Mas Awan yang suka. Selama ini selalu dia yang memutuskan kami akan pergi ke mana dan melakukan apa. Aku hanya menurut saja.
“Kenapa nggak makan di mall?” tanya Senja.
“Aku nggak suka.”
Senyuman mengembang di wajah Senja. “Maaf.”
“Maaf?” tanyaku bingung.
“Aku yang salah nanya tadi.”
Aku masih tak paham. “Kok bisa kamu yang salah?”
“Waktu di rumah tadi, harusnya aku nanyanya kamu pengennya ke mana, bukan biasanya ke mana.”
“Kenapa kamu minta maaf?” tanyaku.
“Aku lagi koleksi maaf lagi. Soalnya stokku udah habis kamu mintain terus.”
“Beneran. Kamu hari ini nggak jelas.” Aku melihatnya tersenyum.
Pesanan kami datang. Seorang pegawai warung makan itu meletakkan segelas es jeruk, secobek kecil sambal terong, secobek kecil tahu dan tempe goreng, dan secobek kecil terancam, semacam urap yang terdiri dari cincangan kacang panjang dan mentimun yang dicampur taoge dan sambal kelapa ke atas meja. Pesananku. Lalu menyusul sebotol air mineral, secobek kecil sambal tomat dan sepiring ikan lele goreng pesanan Senja. Dan yang terakhir sebakul nasi putih.
Aku menata makanan di atas meja seperti ketika umi menata makanan di rumah, lalu menjelaskan apa saja yang ada di hadapan kami pada Senja.
“Kamu sering ke sini?” tanya Senja sambil menikmati makan siangnya.
“Sering sih engga. Tapi suka aja makan di sini.”
“Kenapa?”
“Murah,” jawabku. “Sesuai sama kantong. Hehe..”
Senja mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kamu kenapa nggak suka nonton sama makan di mall?” tanya Senja lagi.
“Kenapa….,” gumamku. “Nggak tau. Nggak suka aja.”
“Kalau nggak suka, kenapa biasanya kamu nonton sama makan di mall?”
Gerakan tanganku melambat. Gerakan rahang bawahku yang mengunyah makanan ikut melambat. Obrolan ini mulai terasa tidak menyenangkan. Aku tiba-tiba merasa diinterogasi.
“Rekta?”
“Kamu kenapa sih, Ja?” tanyaku.
“Kenapa apanya?” tanya Senja.
Aku kembali menundukkan pandangan, memandangi makanan yang ada di piringku, yang sekarang tidak terlihat menarik lagi.
“Kamu hari ini beda,” jawabku pelan.
Lalu tidak ada obrolan lagi di antara kami. Senja tidak banyak bertanya lagi. Aku tidak juga memulai obrolan baru. Kami hanya sama-sama menyelesaikan makan siang yang benar-benar mulai tak terasa menggugah selera.
“Lulus SMA nanti mau lanjut di mana?” tanya Senja, lumayan lama kemudian setelah kami menyelesaikan makan.
“Paling-paling kedokteran,” jawabku.
Ada raut heran di wajah Senja. “Kok paling-paling?”
“Ya ayah maunya gitu,” jawabku sebelum menyedot es jeruk dari dalam gelas.
“Kok maunya ayah kamu? Emang maumu apa?”
Aku menghela napas. “Emang mauku itu penting, Ja?”
Senja tidak menjawab pertanyaanku. Dia diam, sepertinya menungguku melanjutkan kata-kataku, seolah tahu masih ada yang harus aku katakan, yang seharusnya aku katakan.
“Bisa nggak kita nggak ngebahas ini?” pintaku.
“Kenapa kamu pikir maumu nggak penting?”
Aku memutar bola mata. “Ja, beneran. Aku lagi nggak mau ngebahas ini.”
Aku memaksakan bicara dengan tenggorokan yang dijejali rasa kesal. Aku benar-benar ingin topik ini secepatnya diubah.
“Kenapa?”
Oh iya. Sepertinya aku lupa bahwa ini Senja.
“Ja. Kalau ayah bilang aku harus masuk kedokteran, maka aku kudu, harus, wajib masuk kedokteran.”
“Walaupun kamu nggak suka?”
“Iya.”
“Terus nanti kalau di tengah jalan kamu nggak sanggup atau bosen, kamu bisa pergi. Atau kalau nanti kamu gagal, kamu bisa dengan ringan cuci tangan dari kegagalan itu dan bilang semua itu salah ayah kamu karena beliau maksa kamu masuk kedokteran?” Senja menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya pada dinding yang ada di belakangnya.
Aku hanya diam memandangi manusia yang baru saja melemparkan kata-kata luar biasa menyakitkan itu dengan begitu ringannya.
“Ja, please. Bisa nggak kita bahas yang lain?”
Ya. Aku benar-benar sedang tidak ingin membahas semua ini. Rasanya selalu tak menyenangkan setiap kali membahas ini. Lagipula, dia juga tidak tahu yang sebenarnya. Dia tidak tahu bebanku sebagai anak tunggal. Aku satu-satunya harapan ayah. Aku tidak boleh mengecewakan ayah. Aku harus menjadi anak yang patuh, harus mengikuti semua perintah dan rencana ayah.
Aku menundukkan pandangan. Sebelah tanganku sibuk mengaduk-aduk gelas yang hanya tinggal berisi potongan-potongan kecil es batu dengan sedotan plastik.
Senja tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi aku tahu ada banyak sekali kata-kata di dalam kepalanya. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Seharian ini aku selalu merasa dia sedang memikirkan sesuatu yang tidak dia katakan padaku.
Gelas minumanku akhirnya kudorong menjauh, bersiap untuk meninggalkan tempat ini. Aku ingin segera pergi dari sini. Kupikir hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Ternyata….
“Maaf.”
Aku langsung mengangkat wajahku, menatap Senja. Kekesalanku, entah bagaimana, tiba-tiba hilang begitu saja waktu kata itu dia ucapkan.
“Iya,” jawabku.
“Tapi, Rekta. Ini hidup kamu. Kamu yang ngejalanin. Kamu yang ngerasain enak sama nggak enaknya.”
“Iya. Aku tahu, Ja.”
Senja mengambil jeda. Aku melihatnya menarik napas lumayan panjang sebelum kemudian menegakkan tubuhnya, meletakkan kedua tangannya di atas meja.
“Rekta, kamu bahagia sama hidupmu?”
Pertanyaan ini, sebelumnya tidak ada yang pernah mempertanyakannya padaku dan aku tak siap untuk menjawabnya.
“Rekta?” Dia, sama seperti biasanya, menuntut jawabanku.
“Iya. Aku bahagia.”
“Kamu bahagia ngejalanin hidup yang bahkan bukan hidupmu? Kamu bahagia ngejalanin hidup yang semuanya diatur sama orang lain? Yang semua keputusan diputusin sama orang lain?”
“Ja, please..”
“Rekta, bakal ada waktu di mana kita sendirian, sama kayak waktu kita dateng dan pergi nanti. Bakal ada waktu di mana kita harus bisa berdiri di atas kaki kita sendiri, harus ambil keputusan buat diri kita sendiri, harus siap bertanggung jawab sama semua keputusan kita, sama hidup kita. Bakal ada waktu di mana nggak ada lagi orang yang bisa kita andelin. Jadi kita harus bisa ngandelin diri kita sendiri.” Senja mengambil jeda lagi. Dia memejamkan matanya. “Jadi kamu harus bisa ngandelin diri kamu sendiri.”
Aku menyilangkan kedua tangan di dada dan memalingkan wajah dari Senja. Sepedas apa pun kata-katanya, entah bagaimana, dia benar. Dan pada akhirnya aku tahu kalau semua yang dia katakan kepadaku itu sebenarnya adalah tanda betapa pedulinya dia padaku.
Lalu rasaku, rasa aneh yang menyenangkan setiap kali ada ada, mendadak pecah. Mendadak aku ingin selalu bisa bersama dia lebih dari biasanya, lebih dari sebelumnya. Dan di sini, aku baru benar-benar sadar kalau aku tidak bisa berbohong lagi. Aku jatuh cinta pada manusia ini, manusia yang sudah memporak-porandakan duniaku ini. Tapi, entah mengapa hatiku rasanya justru semakin sakit, lebih dari sebelumnya.
Bersambung
ini ada pada stage ketika angin berusaha meniup daun agar terlepas dari pohon.
Sepertinya kok masnya berpengalaman sekali ya.
berpengalaman ini perlu dipastikan dulu definisinya seperti apa mbak. apa berpengalaman ini artinya pernah tapi hanya sekali atau tidak sering. atau berpengalaman dapat diartikan melakukan kegiatan / aksi yang sama berkali-kali. apalagi setelah kata berpengalaman itu ada adjective sekali. nah bagaimana mendefinisikan statement yang dikemas dalam bentuk pertanyaan ini?
sepertinya sering
siaap. nanti yang di wattpad ditambahin
mbak, itu pas ada deskripsi kalau Senja ujian di ruangan terpisah. mungkin bisa lebih informatif lagi di ruang terpisah itu ngapain. jadi biasanya kalau siswa tunanetra ujian di ruang terpisah, itu ada dua guru atau reader (yang biasanya relawan mahasiswa) yang dipanggil ke sekolah untuk bantu membacakan dan menuliskan jawaban kita.