Perahu Kertas

Berjalan dengan langkah resah. Menelusuri jalan setapak yang basah. Becek karena guyuran gemercik air yang jatuh berirama dari langit secara kompak. Kerikil-kerikil kecil memenuhi sepanjang jalan berhiaskan rumput liar sedangkan ilalang seolah-olah mengikutiku dan bergoyang terbuai hembusan angin.

 

Berjalan menemani langit yang kian menggelap. Bukan mendung hitam, bukan malam, hanya saja ibarat hati yang kian gelisah. Aku tahu kemana langkah akan terhenti, hanya saja pikiranku seperti mati. Seperti kapal tanpa kemudi, terombang-ambing, ibarat kesedihan yang terus menghujat.

 

Berjalan dengan raut wajah pucat dan tatapan mata kosong tanpa binar impian walau sedikit. Kenyataan ini terasa pahit dan sakit. Langkahku pun terhenti ketika ilalang sudah menghilang, jalan setapak sudah tidak tampak. Aku berpijak pada sebuah batu besar di tepi sungai yang mengalir jernih, tempat di mana kakakku menghentikan tangisku semasa kecil.

Baca:  SANG KUDA LUMPING

 

Kusisingkan celana panjangku, kubiarkan kakiku bermain air sambil duduk santai melepas kedahagaan hidup. Mencoba menghibur diri sendiri walau sekedar senyuman kecut. Bibirku mulai gemetar, rasanya kelopak mata ini tidak sanggup membendung air mata. Begitu terpejam, meneteslah sudah, mengalirlah biarlah. Seperti perahu kertas di telapak tanganku, kulepas sudah, biarlah mengalir.

 

“Aku akan menjadi kemudi perahu kertas ini. Berlayar bersama kenyataan menuju sebuah impian tanpa harus melupakan kenangan.”

 

Perjalanan yang kulalui selama delapan belas tahun ini – sejak aku dilahirkan – membukakan banyak hal dalam getar ketakutan ataupun tawa kebahagiaan. Meskipun angin tetap membelai lelah angan, gambaran akan mimpi-mimpi dan kenangan indah mulai terasa mentah. Karena hidup tidak selamanya indah.

 

Kenangan ini pasti selalu ada, layaknya mimpi-mimpi yang tidak mau begitu saja mudah menyerah. Sedang kesedihan ini, pastilah pernah dimiliki setiap orang. Siapa yang mengerti, perahu kertas yang selalu menghentikan tangisku semasa kecil menjadi perahu kertas yang membuatku menangis dan tenggelam bersama kenyataan pahit. Itu terasa sakit.

 

* * *

 

Ibu terbaring di atas sprei putih dengan mata terpejam. Infus menetes perlahan mengalirkan cairan melalui selang yang tertancap di tangan kanannya. Sungguh, aku tidak suka keadaan seperti ini. Rumah sakit selalu memberikan kenangan pahit. Aku masih ingat kata dokter tentang berbagai jenis penyakit yang menyerang ibuku. Juga tentang kain kafan yang membungkus tubuh bapakku dua tahun yang lalu. Aku mengerti bahwa kematian itu pasti, hanya saja aku belum bisa ikhlas jika sang Pencipta memanggil ibuku. Maafkan aku ya Tuhan.

 

Aku keluar dari bangsal, menyandarkan punggungku pada sebuah kursi panjang yang berjejer di lorong rumah sakit. Aku pun semakin lunglai meresapi keragaman hidup. Ah, kenapa aku merasa sendirian dan tidak mampu berbuat apa pun?

Baca:  Asa dalam Gulita

 

“Rizky,” suara kakakku menggema di lorong suram ini. Sosoknya tengah berjalan mendekatiku.

 

“Bagaimana keadaan Ibu,” tanyanya setelah dia mengambil duduk di sampingku.

 

“Ibu sudah siuman saat Kak Angga berangkat kerja tadi pagi, tapi sekarang ibu sedang tidur.”

 

“Kita harus selalu sabar Riz,” kakakku menepuk pelan bahuku.

 

Aku mengangguk,

 

“Kak Angga pulang saja dulu, habis kerja pasti capek. Di rumah sudah  kusiapkan makanan kesukaan Kakak, sayur lodeh dari warungnya Mbok Nipah.”

 

Kak Angga tertawa kecil,

“Tahu saja kalau Kakak belum makan, makasih ya?”

 

Suasana kembali hening. Sayup-sayup terdengar suara tangis anak kecil dari bangsal di balik lorong. Suara itu semakin mengeras kemudian tiba-tiba berhenti.

 

“Masih ingat tidak?” tanya kakakku.

 

Aku mengernyitkan kening.

 

“Ingat apa Kak?”

 

Kakakku mengambil selembar kertas dari tas kerjanya. Dia melipat-lipat kertas itu dengan pola tertentu. Sebelum kakakku menyelesaikannya, aku sudah bisa menebaknya,

 

 “Perahu kertas.”

 

“Dulu, semasa kecilmu,” kakakku masih terus melipat, “ketika kamu menangis, Kakak selalu mengajakmu ke sungai dekat sawah dan bermain perahu kertas. Hanya itu yang bisa menghentikan tangismu.”

 

Dalam sekejap kenangan itu sudah tertangkap. Aku pun tersenyum sendiri, betapa manja dan nakalnya saat aku kecil.

 

Setelah perahu itu jadi, kakakku menaruhnya di telapak tanganku.

 

“Jadilah kemudinya, berlayarlah bersama kenyataan menuju impianmu tanpa harus melupakan kenangan. Selalu ingatlah darimana kamu berasal.”

 

Aku termangu mendengar ucapan kakakku.

 

“Kamu jaga ibu ya, Kakak pulang dulu.”

 

“Hati-hati Kak,” kataku.

 

Perlahan langkah kakakku semakin menjauh, tenggelam ditelan lorong yang suram. Dan, malam semakin gelap.

Baca:  Sebingkai Kenangan Bersama Bu Maysuro

 

* * *

 

Malam itu, kali terakhirnya kak Angga bicara padaku. Kakakku benar-benar pulang. Pak Ahmad, tetanggaku, menemuiku di rumah sakit menyampaikan kabar duka. Kakakku kecelakaan. Mobil sedan yang katanya dikemudikan oleh seorang pemuda mabuk menabraknya saat kakakku menyeberang di jalan dekat rumah.

 

Aku harus menerima bahwa semua yang terjadi adalah nyata hingga perasaanku tidak lagi kacau seperti layang-layang jatuh. Aku tidak pernah menyangka, kak Angga meninggalkan aku dan ibu secepat ini. Baru kemudian aku sadar, bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam perjalanan hidup ini. Semuanya sudah tertulis maka aku harus menjalaninya dengan kesabaran. Walau sulit. Sangat sulit sekali.

 

Memandang sisi indahnya kenangan adalah pilihan yang menghiburku untuk selalu meminta maaf dan selalu berterimaksih. Memandang sisi trauma kesedihan, kematian adalah pilihan yang sulit untuk diterima dan dilupakan.

 

Aku kembali berdiri, melangkah untuk menelusuri kenangan, impian dan kenyataan. Biarlah semuanya menjadi bagian dari diri ini karena hidup akan terus berjalan. Bukankah yang terpenting dalam hidup ini harus senantiasa bersyukur pada Tuhan? Dan aku selalu yakin semuanya akan baik-baik saja, meski sekarang aku masih belum siap menerima kenyataan hidup. Tapi aku akan selalu berusaha dan berdoa untuk berlayar bersama kenyataan menuju sebuah impian tanpa harus melupakan kenangan.

Bagikan artikel ini
Oki Heryanto
Oki Heryanto
Articles: 2

Leave a Reply