Sebingkai Kenangan Bersama Bu Maysuro

“Lis, ini handphone kamu, ada pesan masuk tuh!” ujar Sany seraya meletakkan handphone berwarna putih tersebut pada tangan pemiliknya yang juga sekaligus sahabatnya Calista.

 

”Pesan?! Dari siapa ya? Pagi-pagi buta begini sudah ada pesan mampir di handphone aku?!” ujar Calista dengan memasang wajah yang masih ngantuk.

 

Buru-buru ia membuka pesan tersebut, dipaksakannya sebelah kupingnya untuk mendengar isi pesan tersebut yang sedang dibacakan oleh Paman Talks yang selalu setia membaca pesan-pesan yang masuk di handphonenya. Setelah mendengar pesan tersebut, mendadak wajahnya pucat pasi disusul oleh titik-titik air yang mengalir dari kedua matanya. Seakan menembus waktu, ingatannya pun melayang pada sebuah peristiwa 6 tahun silam.

 

***

 

“Lis, ke kantin bareng sama kita-kita yuk!” ajak teman-teman kelas Calista.

 

“Terima kasih, tapi maaf sebelumnya aku tak bisa ikut bersama kalian. Salam aja ya, buat Bu Kantin yang galak itu,” tolaknya halus diiringi sebuah candaan, yang seketika membuat teman-temanya tertawa cekikikan.

 

“Tapi kamu hanya sendirian di kelas ini dan yang lain pada istirahat di luar tuh! Kami tak tega membiarkan kamu sendiri disini,” ujar mereka khawatir. Setelah meyakinkan teman-temannya bahwa dirinya akan baik-baik saja, akhirnya mereka pun meninggalkan Calista dengan berat hati.

 

***

 

15 menit pun berlalu, waktu istirahat tak lama lagi akan berakhir namun tiada seorang pun yang kunjung masuk ke dalam kelas kecuali sebuah aroma tak sedap yang mendadak menyengat hidung Calista.

 

“Bau apaan nih? Baunya seperti kambing! Emangnya di sekitar sekolahan ini ada peternakan kambing ya?! Tapi… kalau pun ada, kok baunya baru tercium olehku, padahal aku sudah setengah tahun di sekolah ini dan sebelumnya tak ada bau busuk seperti saat ini,” gerutunya seraya menutup hidungnya agar mengurangi bau busuk yang tercium olehnya.

Baca:  Ramayana (Seri 4)

 

DUBRAKK…!!!

 

Tiba-tiba terdengar suara bantingan pintu dan disusul dengan lenyapnya bau tak sedap yang tadi sempat menyeruak, sehingga hal itu seketika membuat Calista bertanya-tanya, ia sangat terkejut dan membuat detak jantungnya menjadi tak karuan.

 

Tak lama kemudian setelah kejadian aneh itu, bel pun berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai, seluruh teman-teman kelas Calista pun berdesak-desakkan untuk masuk ke kelas.

 

“Maaf ya, Lis. Kami telah membuatmu lama menunggu dan sendirian di kelas, tapi kamu baik-baik saja kan? Dan tubuhmu kok jadi gingin gini?” tanya salah satu dari mereka seraya memegang tangan dan kening Calista yang telah dikucuri oleh keringat dingin.

 

Setelah menghela sebuah napas panjang, Calista pun menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya. Ketika ia baru saja menceritakan setengah dari kejadian tersebut, seorang guru kesiswaan memanggil dan membawanya menuju ke ruang kepala sekolah. Meski hati Calista diliputi sejuta perasaan yang tak menentu dan dengan langkah gugup, ia berusaha dan mencoba menenangkan hatinya hingga akhirnya kini ia telah sampai di ruangan tersebut.

 

“Calista, kamu telah membuat sebuah kesalahan fatal di sekolah ini! Saya sangat menyesal telah menerimamu di SMU ini. Awalnya pihak sekolah keberatan menerimamu berdasarkan alasan bahwa kamu adalah seorang tunanetra, namun akhirnya kamu dapat diterima di sekolah ini sebab menimbang kemauan keras untuk melanjutkan pendidikan di SMU ini dan budi pekerti yang baik yang kamu miliki, tapi apa yang baru saja kamu lakukan?! Kamu telah menghina salah seorang guru baru yang akan mengajar di sekolah ini dan kamu tahu?! Beliau telah dinobatkan di provinsi ini sebagai guru teladan! Dan kami semua sangat senang juga bersyukur atas kehadiran beliau yang akan mengajar siswa-siswi disini dalam bidang mata pelajaran Bahasa Inggris. Sekarang kamu harus meminta maaf kepada beliau sebab kamu telah menghinanya dengan mengatakan bahwa bau badan beliau seperti kambing,” jelas Bapak Kepala panjang lebar.

 

“Maaf sebelumnya, Pak, saya tak bermaksud berkata demikian sebab saya tak dapat melihat siapa saja yang masuk ke kelas saya kecuali orang tersebut bersuara agar saya dapat mengenalinya dengan baik,” bantahnya dengan suara yang mulai parau.

 

“Benar, Pak! Apa yang baru saja anak ini katakan sangat benar, aku lah yang salah sebab aku tak tahu bahwa teernyata ia adalah seorang tunanetra dan harusnya aku tak boleh berlama-lama berada di peternakan kambing milikku mengingat bahwa aku akan mengajar di sekolah ini, sekali lagi aku minta maaf kepada semuanya yang ada di ruangan ini,” tutur Bu Maysuro bijak. Sebersit senyum pun terbit dari bibir Calista.

Baca:  Puisi: Jarak dan Kenangan

 

***

 

“Main ke rumah Ibu, yuk! Apakah Kamu lagi punya kesibukan saat ini?” ajak Bu Maysuro yang mendadak akrab dengan Calista.

 

“Boleh aja, Bu, malah Calista senang dengan ajakan Ibu, dan lagian Calista lagi tak punya kesibukan kok, tapi aku harus pamit kepada Ayah dulu sebab beliau hanya sendirian di rumah, ibu aku sudah lama meninggal sewaktu aku masih dalam usia 5 tahun,” jawab Calista, wajah cerianya mendadak murung ketika menyebut kata ibu.

 

Menyadari situasi dan suasana perasaan Calista yang mulai tak terkendali, Bu Maysuro pun mendekap tubuh Calista dengan erat-erat.

 

“Sudahlah jangan bersedih lagi, entar Ibu kamu juga akan ikut bersedih melihatmu seperti ini, kamu tak mau kan ibumu bersedih di alam sana? Lagian disini ka nada Ibu, anggap saja Ibu adalah ibu kandungmu sendiri,” ujarnya seraya membelai rambut panjang Calista.

 

Setelah memastikan bahwa perasaan Calista telah tenang kembali, Bu Maysuro pun membimbing Calista untuk masuk ke mobilnya.

 

***

 

Dalam perjalanan menuju ke rumah Calista, Bu Maysuro bercerita mengenai anak perempuan yang ia miliki satu-satunya yang kini telah tiada yang disebabkan oleh sebuah tabrakan hebat yang seketika merenggut nyawanya di saat dan di tempat itu juga.

 

“Memangnya anak Ibu pengen kemana sih?” Tanya Calista penuh selidik.

 

“Dia kabur dari rumah yang disebabkan ia malu memiliki ibu seorang penggembala kambing bahkan ia tak ingin dekat-dekat dengan Ibu sebab katanya pula Ibu berbau kambing, padahal semua ini Ibu lakukan untuk membiayai kebutuhannya, Ibu berjuang seorang diri, dan hal itu telah berlangsung semenjak suami Ibu wafat,” jawabnya lirih.

 

Calista hanya dapat menundukkan kepalanya sebab ia turut merasakan kepedihan yang amat dalam yang hingga saat ini mungkin masih tergores di hati Bu Maysuro.

 

Selang beberapa menit kemudian, tak terasa mereka pun tiba di depan rumah Calista. Setelah berganti pakaian dan pamit kepada sang Ayah, ia pun kembali masuk ke dalam mobil Bu Maysuro. Mobil pun berlalu meninggalkan tempat tersebut.

 

***

 

Tanpa terasa waktu terus bergulir, Calista telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di bangku SMU dengan gemilang dan hal tersebuat tak luput berkat perjuangan dan dukungan ilmu, perhatian, maupun materi dari Bu Maysuro. Bahkan Calista juga berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang selanjutnya ke Australia, yang juga disebut oleh orang banyak sebagai negeri koala. Bu Maysuro tak dapat lagi melontarkan sepatah kata pun, hanya air mata haru yang dapat mengungkapkan perasaannya saat itu ketika memeluk Calista.

 

***

 

“Ayah, Ibu Maysuro, Calista pergi ya… jaga kesehatan Ayah begitu pula dengan Ibu, Calista pasti akan selalu merindukan kalian, mohon doa restunya ya…” ucapnya dengan suara yang mulai bergetar.

Baca:  Di Bahumu Ku Sandarkan Cintaku

 

“Jaga diri dan kesehatan kamu ya sayang, Ibu akan selalu mendoakanmu dalam setiap doa dan sujud Ibu. Sany, kami titip Calista, tolong kamu jaga dengan baik-baik apalagi kamu merupakan salah seorang sahabat karib Calista sehingga kamu juga harus menyayanginya seperti kamu menyayangi dirimu sendiri,” ucap Bu Maysuro dengan suara agak parau.

 

Setelah member beberapa petuah dan wejang-wejangan kepada mereka, sekali lagi Bu Maysuro memeluk erat tubuh Calista dan mengecup kening Calista.

 

***

 

“Lis, kamu kok nangis sih setelah mendengar pesan itu? Katakanlah kepadaku mengapa kamu bisa nangis seperti ini,” ujar Sany seraya memegang kedua pundak Calista.

 

“Bu Maysuro, San… Bu Maysuro…” jawabnya seraya tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

 

“Ada apa dengan Bu Maysuro??!! Kemarikan handphone itu kepadaku, biarkan aku saja yang sendiri membaca pesan itu,” ujar Sany penasaran, tanpa berlama-lama Sany mengambil handphone tersebut yang terletak di atas bantal Calista. Seperti halnya yang terjadi pada Calista, mata Sany pun terbelalak setelah membaca pesan tersebut.

 

“Bu Maysuro meninggal dalam kecelakaan menuju ke bandara dan beliau juga hendak untuk menumpangi sebuah pesawat hanya untuk menuju ke tempat ini sebab ia ingin membuat sebuah kejutan untukmu di hari ulang tahunmu besok. Oh, hal ini sangat mengharukan, pengorbanan beliau sungguh besar buatmu, Lis!. Jadi, kamu jangan menyia-nyiakan perjuangan yang telah beliau lakukan selama ini untukmu,” ujar Sany berusaha menenangkan hati sahabatnya itu yang tampak terguncang oleh pesan itu.

 

“Aku ingin pulang, San! Aku ingin pulang saat ini juga! Kamu tahu, San?! Aku tak pernah menyangka bahwa ternyata pelukan dan kecupan dari Bu Maysuro saat kita berada di bandara Indonesia adalah pelukan dan kecupan terakhir dari beliau,” ucapnya lirih, tangisannya pun makin menjadi-jadi.

 

“Kamu harus kuat, Lis! Ingat, tak lama lagi bulan depan kita telah berhasil menyelesaikan pendidikan kita di negeri ini, orang tua kamu dan Bu Maysuro pasti akan senang dengan keberhasilan kamu, lagian walaupun kita barangkat menuju ke Indonesia saat ini juga, tetap saja kamu tak akan sempat untuk mengikuti proses pemakaman Bu Maysuro. Mending kamu berdoa saja semoga Tuhan memasukkan Bu Maysuro ke dalam surga yang paling terindah buat beliau,” ujar Sany mencoba menasehati dan mengingatkan pesan-pesan dari almarhumah Bu Maysuro dan dari Ayah Calista.

 

Akhirnya hati dan perasaan Calista pun perlahan kembali tenang, dan di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia berdoa agar Bu Maysuro dapat bahagia di dalam surga dan ia juga berharap agar semoga ia dapat berjumpa dan dapat bersama beliau lagi di surga yang paling terindah.

Bagikan artikel ini
Risya Rizky Nurul Qur'ani
Risya Rizky Nurul Qur'ani

Penulis bernama Risya Rizky Nurul Qur’ani dengan nama pena ‘Fath Light’ , lahir pada tanggal 25 Juni 1993 di kota Makassar dan juga berdomisili di kota yang sama. Penulis yang merupakan seorang mahasiswa disabilitas netra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin ini hobi membaca, menulis, masak, nyanyi, renang, dan bermain alat musik.

Articles: 7

Leave a Reply