Aku menatap prihatin wajahku. Cermin itu kurasa, telah membohongiku telak. Tapi, coba ku perhatikan lagi, memang wajahku agak pucat. Rupanya mengetik sampai setengah empat subuh tadi telah berdampak beberapa kejadian buruk ketika ku terbangun. Selembar kertas bertuliskan pesan tergeletak di mejaku.
”Tadi bapak masuk kamar kamu, maaf kalau bapak nggak sopan! Habis ini penting, Abdul udah sembuh kamu nyusul ya, ke rumah sakit. Hp bapak lagi rusak, terpaksa bapak nulis di kertas (Pak Sodik).” Sambil mengamati dengan teliti raut mukaku di cermin, ku ulangi lagi kalimat di kertas itu.
”Alhamdulillah, sembuh juga akhirnya anak itu!” dengan langkah gontai karena perutku masih terasa mual, aku menuju kamar mandi.
Setelah berpakaian rapi aku berangkat menuju rumah sakit tempat Abdul di rawat. Rasanya baru kemarin aku mendapat telepon dari anak itu tentang organisasi yang membutuhkan tenagaku, kini harus ku terima kenyataan bahwa Abdul terpaksa menjalani perawatan selama Sebulan.
”Dul, dul! Mudah-mudahan kejadian semacam ini gak terulang lagi. Untung penyakit jantungmu gak berdampak buruk!” Aku mencegat angkot menuju daerah Fatmawati. Sambil menunggu angkot datang ku ingat-ingat kembali mimpi yang membuatku terbangun kaget pagi tadi.
Bagaimana tidak, aku kembali bertemu dengan gadis bernama Pinaka yang ku jumpai beberapa waktu lalu. Hanya saja kami bertemu dalam situasi genting, mata Pinaka yang tajam terus menatapku memohon agar aku menjauhinya. Sedangkan tubuhnya terjepit diantara gerbong-gerbong kereta anjlok yang kami naiki. Pinaka merintih, wajahnya menegang karena menahan sakit namun matanya begitu tegar ketika menatapku.
”Pergilah Kakman, kamu harus menyelamatkan diri kamu!” Suaranya teredam diantara jeritan penumpang yang kesakitan.
”Nggak, kamu pasti selamat! Tolong jangan bikin aku panik, tenanglah sebentar lagi petugas datang. Ayolah kamu harus bertahan!” percuma saja, Pinaka tergeletak lemas karena tak kuat menahan beban gerbong kereta yang menghimpit tubuhnya. Aku berteriak sekencang suara yang mampu ku kerahkan, dan keringat membasahi tubuhku ketika aku terbangun.
Angkot putih arah Fatmawati datang dari kejauhan. Aku memberi isyarat agar pengemudi berhenti, aku menaiki angkot dengan perasaan tak menentu. Apakah mimpi itu nanti akan jadi kenyataan? Haruskah aku menyaksikan akhir hidup seorang perempuan dengan cara tragis seperti itu? Atau ini hanya bunga tidur? Ah! Mungkin benar hanya bunga tidur, mengingat mimpi kurang baik sering menghampiri tidur ketika bangun diatas jam enam pagi, maka harus kuterima kenyataan pahit bahwa mimpi semacam itu hanya mengganggu ketenangan istirahatku.
Setengah jam kemudian aku tiba di rumah sakit. RS. Fatmawati masih nampak lengang, hanya beberapa perawat sibuk mondar-mandir sambil mendorong ranjang beroda yang diatasnya terbaring sosok bermata buram. Aku menaiki tangga menuju kamar Abdul, dalam hati terus berharap semoga Tuhan masih memberinya kesempatan hidup.
**
”Seriusan loe Dit!?” ujar Dika disebrang telepon.
”Beneran, gue gak bohong! Nama gue gak ada disini,” Radit membacakan nomor peserta SNMPTN-nya.
”Keterangannya selalu sama meskipun nomor peserta gue berulangkali gue ketik!” kata Radit mencoba mengendalikan getar suaranya.
”Tenang bos, jangan panik dulu! Mungkin loe salah ngetik angkanya!?”
”Maksud loe?”
”Ya … maksud gue loe udah benar-benar ngingat nomor peserta loe belum? barangkali loe lupa satu digit!?”
Dugaan yang cukup masuk akal. Tapi, apa mungkin Radit lupa satu digit angka-angka penting itu? Ia yakin telah menghapal dengan baik waktu mencatat nomor pesertanya di Handphone. Dan tak mungkin rasanya ia melupakan kunci penting agar bisa masuk perguruan tinggi.
“Kan bangga juga kalau anak sepertiku bisa membawa nama baik orang tua, yang selama ini bekerja keras demi membiayai pendidikkanku.” Gumamnya dalam hati, sekadar untuk membangkitkan semangat.
”Ok bro, nanti gue cek lagi di tempat lain. Siapa tahu harapan gue gak kabur!” ujar Radit asal saja, hanya sekadar untuk menenangkan keresahan.
**
”Waduuh, jadi sekarang si abang udah sehat nih?” kataku seraya mengamati wajah pucat itu.
”Iya bang, ternyata gak enak juga jadi orang sakit!” jawab Abdul terkekeh.
”Makanya, lain kali kalau bercanda jangan kebangetan, nah mobil masih mau loe cium juga!” kami tergelak.
”Abang kapan sampai di Jakarta?” tanya Abdul.
”Tiga hari yang lalu!” Pak Sodik yang menjawab.
”Kamu waktu itu masih koma. Paman langsung ngajak Bang Kakman yang baru sampai ke rumah buat nengok kamu disini!”
“Abang pamit dulu Dul, moga loe cepat sembuh ya. Biar bisa daftar kuliah!” kataku satu jam kemudian.
”Makasih bang, mudah-mudahan saya kagak telat!” aku menyentuh dan menjabat tangannya lalu melangkah meninggalkan ruang kelas satu itu. Ingatanku masih terpancang pada mimpi tadi pagi, percuma saja kucoba alihkan perhatianku ke hal yang lebih penting namun mimpi itu terus melesat kedepan pikiranku.
Siapa perempuan itu. Tatapan matanya selalu ku ingat, tidak tidak! Tatapan mata itu bukan sayu, bukan memohon, dan pastinya bukan berbinar-binar. Tapi tatapan itu … ah! Mungkinkah Pinaka menyimpan rahasia? Ah kenapa pula aku menebak-nebak begini!? Tidak, aku harus mencari kesibukkan untuk menghindari memikirkan mimpi tentang perempuan misterius itu! Aku naik metromini menuju kampus. Rasanya kangen juga pada kampus yang sudah setahun ini belum ku kunjungi sejak sidang skripsiku.
**
”Bapak belum baca koran pagi ini?” tanya Radit ketika keempat anggota keluarga itu usai sarapan.
”Belum, kenapa memang?”
”Hari ini pengumuman hasil SNMPTN-ku. Tadi aku cek di situs panitia SNMPTN gak ada, takutnya …” Radit membiarkan sisa kalimatnya tertahan di kerongkongan.
”Walah, coba nanti bapak liat di koran.”
”Kakak udah mastiin di situs SNMPTN gak ada?” Elsa menimpali.
”Udah, tapi tetap gak ada. Makanya kakak pingin tahu kali aja di koran ada nama kakak.”
”Kamu berdo’a saja le’, sebentar lagi juga tukang koran lewat. Barangkali rezekimu ada disana.” Kata ibu mencoba menenangkannya.
Beberapa menit kemudian terdengar teriakan dari depan rumah. Bapak segera bangkit melangkah untuk membeli koran. Radit berharap cemas seraya mengetuk-ngetukkan jari-jarinya pada meja makan. Adiknya, Elsa, menngamati kelakuan kakaknya dengan penuh minat, tapi kecemasan juga terpancar di wajah remaja SMP itu. Bapak memasuki ruangan dengan koran di tangan, wajahnya terlihat sama tegang walau Radit tak melihatnya.
”Sebentar bapak cari dulu berita tentang SNMPTN, biasanya langsung update.” Terdengar bapak membuka-buka korannya. Kemudian, Bapak mendesah perlahan ketika melihat sebuah kepala berita. Ia belum menyampaikan berita itu pada Radit. Di bacanya isi berita dengan teliti, Ibu ikut membaca juga dari balik bahu Bapak.
”Subhanallah!” bisik Ibu haru. Bapak berdehem lalu membaca keras-keras salahsatu kutipan berita.
”Berikut ini hasil pengumuman peserta SNMPTN 2008!” bapak membacakan satu per satu nama-nama yang tertera pada tabel berita. Ketika tiba pada abjad R yang hanya terdiri dari 20 nama, Bapak membacanya perlahan.
”RA. Sinta – SMAN 8 Jakarta, Radit Slamet – SMAN 66 Jakarta!” sesaat semua terdiam. Bahkan suara minyak panas di dapur pun sejenak tak terdengar. Kemudian Radit melonjak dan bersujud syukur. Ibu memeluk puteranya dengan bangga. Lalu Bapak menepuk-nepuk seraya memberinya selamat.
”Wah, akhirnya kakak berhasil masuk UI juga! Traktirannya boleh nih!” ujar Elsa sambil melambai-lambaikan koran yang tadi di jatuhkan bapak.
”Bereees!” mereka kembali duduk sambil sesekali Bapak mengulangi kembali nama-nama, Radit meminta bonus sarapan pada Ibu. Setelah mendengar berita yang di bacakan Bapak, Radit baru menyadari bahwa dugaan Dika benar, rupanya ia salah mengetikkan tiga digit terakhir nomor pesertanya di situs SNMPTN
**
Aku turun di halte depan kampus. Saat melangkah hendak memasuki jalan menuju gerbang utama, mataku menangkap sosok perempuan yang sedang kebingungan, tangannya menggenggam tongkat. Tangan kirinya mengibas-ngibaskan beberapa lembar uang, ketika aku menghampiri perempuan itu uang itu sudah dimasukkan ke saku sweater-nya.
”Maaf, ada yang bisa ku bantu.” Kataku persis disampingnya.
”Terima kasih mas, saya mau ke kampus.”
”Saya juga mau kesana, kalau gak keberatan barengng aja!” kami berjalan beriringan, aku mengikuti perempuan itu dari belakang.
”Kayaknya muka kamu lusuh amat kenapa?” tanyaku menerka ekspresi wajahnya sejak uang itu dimasukannya kedalam saku.
”Saya kesal mas, kondektur metro tadi ngasih duitnya kayaknya ngasal banget. Gak tahu kalau saya tunanetra kali?” cerocosnya teratur.
”Kamu gak nanya?”
”Mana sempat mas, kondekturnya keburu nagihin penumpang lain waktu saya mau nanya.” Ketika kami tiba di gerbang perempuan itu berbalik kearahku.
”Tolong liatin mas, takutnya nanti saya keliru pas ngeluarin duit.” Ia mengeluarkan beberapa lembar uang yang tadi diamatinya.
”Sepuluh, lima ribu, seribu!” sekilas muka perempuan itu memerah.
”Aduuh!?”
”Kenapa?” tanyaku agak cemas.
”Kondekturnya ngasih kembalian kurang, harusnya kan delapan belas ribu! Kan metro jauh dekat dua ribu.”
”Udah terlanjur, anggap aja itu pahala buat kamu!” ujarku.
Kami nyengir seraya melanjutkan perjalanan, mentertawakan betapa masih ada saja prilaku semacam kondektur tadi di zaman sekarang ini. Ah, tapi zaman tinggalah zaman, moral tinggalah moral, sampai kapanpun zaman berkembang namun belum tentu moral manusia berkembang. Aku berpisah dengan perempuan itu di ujung koridor menuju gedung PLB.
”Tunggu, nama kamu siapa?” katanya ketika aku berbalik hendak menuju taman kampus.
”Kakman!”
”Erika!” ia melangkah sampai bayanganya menghilang di balik belokkan diujung koridor.
Saat aku melintasi taman sekolah tertangkap pandanganku sosok perempuan kedua yang muncul dari gerbang. Aku tak akan berhenti melangkah andai sosok samar itu tidak ku kenali. Aku menunggu sampai perempuan itu tiba di undakan koridor, kemudian kilasan mimpi tadi pagi kembali berkejaran di benakku.
”Pinaka?” gumamku. Aku berlari-lari kecil mengejar Pinaka yang hendak memasuki koridor menuju gedung PLB.
”Pinaka!” kataku ketika hampir sejajar dengannya. Gadis itu menoleh pandangan kami bertemu, sungguh aku heran tatapan tajam itu tak pernah hilang dari sorot matanya.
”Kakman?” lirihnya.
”Ehmmm …” sejenak kami gugup.
”Kamu kuliah disini?”
”Iya, kamu sendiri ngapain disini?” suaranya sudah kembali normal.
”Iseng aja, udah lama gak main ke kampus.” Sambil berjalan menuju gedung PLB kami ngobrol banyak tentang pertemuan terakhir di kereta beberapa waktu lalu.
Aku mengantarnya sampai depan kelas, sebelum masuk kelas aku meminta kontaknya. Kami bertukar kartu nama, ketika ia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya sekilas ku lihat fotonya dengan seorang remaja SMA.
”Thanks, sampai ketemu ya!” ujarku seraya menjabat singkat tangannya. Aku memandangi sosoknya yang lenyap dibalik pintu kelas.
Mungkinkah ini sebuah kebetulan? (Senna)
editor: Putri Istiqomah