Sepasang Rembulan Pasi

Aku sebenarnya sayang kamu. Tapi, jujur aku tak terlalu suka keadaan fisikmu. Kekuranganmu-lah yang mengalahkan rasa sayangku itu. Kau berbeda. Dan aku benar-benar tidak menyukai hal itu.

 

Wajahmu manis, apalagi jika bibirmu sedang tersenyum. Matamu yang bulat seperti taman dengan banyak harapan disana. Hidungmu, seperti hidung orang Indonesia pada umumnya, tapi itu tidak mengurangi kemanisan wajahmu sedikitpun. Bibirmu melengkung dengan indahnya. Tapi, kenapa kamu berbeda?

 

* * *

 

Pertemuan kita sangat sederhana, tapi tetap manis bagiku. Bertemu tanpa sengaja di warung makan, kebetulan satu meja waktu itu. Kamu sendirian, aku juga. Kesan pertama yang kudapatkan darimu, kau sungguh manis, dengan pakaian yang menutupi seluruh auratmu, dengan jilbab berwarna hijau yang semakin membuat wajahmu cerah. Tidak, aku tidak menyukai pakaian atau jilbabmu, aku menyukaimu.

 

Sebagai lelaki, aku tidak mau kamu yang membuka percakapan diantara kita waktu itu. Aku yakin kamu pun tak mungkin melakukannya. Jadi, aku mengucap salam, menyesuaikan dengan penampilanmu, dan memperkenalkan diriku, Andre. Kau hanya menjawab salam dan menyebutkan satu nama, Zahra. Nama yang manis.

 

Hujan memihak kepadaku waktu itu. Parkiran yang tidak beratap dan kamu tidak membawa payung. Aku senang kamu tak bisa pulang karena aku ingin kenal kamu lebih jauh lagi. Kalau bisa, sampai sejauh hatimu. Tapi, tak mungkin rasanya. Kau bukan wanita sembarangan. Tidak seperti kebanyakan wanita yang kutemui sebelumnya. Kau berbeda, dan aku menyukai perbedaanmu itu.

 

Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, kamu manis. Aku menyukaimu. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Aku memang egois. Aku tak tau apakah aku yang terbaik untukmu. Yang aku tau, aku menyukaimu dan aku ingin memilikimu. Jika aku mau, pasti aku bisa menjadi yang terbaik untukmu. Dan aku mau.

 

Hujan sudah reda. Kau pulang dan tanpa ijin, aku mengikuti mobilmu dari belakang. Sepertinya kau sudah tau itu. Sudah sekitar satu jam aku mengendarai kuda putihku yang terus berlari mengikuti alur roda keretamu sang putri. Dimanakah istanamu? Aku ingin tahu. Aku tak sabar ingin tahu. Bukan untuk mengetahui seberapa megah istanamu, tapi untuk segera menyusun strategi berperang melawan tangguhnya benteng hatimu dan kedua orang tuamu. Aku ingin menyuntingmu.

Baca:  Hidupku, Pilihanku

 

Sepertinya hujan juga menginginkanmu. Ahh…rasanya bukan hanya aku dan hujan, bahkan dunia pun menginginkanmu. Siapa yang tidak tercuri hatinya olehmu yang sungguh begitu manis. Sebenarnya aku sudah bosan memujimu dengan kata itu, tapi sungguh kamu begitu manis. Aku rasa hanya kata itu yang pas untukmu.

 

Aku bersaing dengan hujan malam itu. Dingin terasa biasa saja. Angin kencang yang berusaha menggoyahkan semangatku untuk terus menunggangi kudaku menuju istanamu terasa seperti angin biasa. Hujan yang terus saja menghujam tubuhku dengan butiran airnya terasa seperti air yang keluar dari shower, biasa saja. Semua terasa biasa saja. Terkecuali, pasti, rasa tertarikku yang hanya untukmu malam itu. Rasa penasaranku atas dirimu yang berhasil memukauku malam itu. Rasa ingin memilikimu yang benar-benar membuatku takut. Takut kau telah dimiliki orang lain.

 

Rasanya langit merasa tersaingi olehku. Petir dan gemuruh mewarnai hujan malam itu. Tapi, aku tak mau kalah dengannya. Aku terus melaju, berada tepat di belakang mobilmu. Sesekali ban motorku bergesekan dengan mobilmu. Aku benar-benar tak mau kehilangan jejakmu. Lampu merah. Mobilmu berhenti. Aku berada tepat di belakang mobilmu.

 

Sepuluh detik kemudian lampu hijau, kau memacu mobilmu, aku masih sibuk dengan motorku yang entah mengapa tiba-tiba mati. Tiba-tiba mati. Ya, bukan hanya motorku saja yang tiba-tiba mati, tapi juga tubuhku. Seakan-akan beku beberapa detik setelah mendengar suara itu. Suara keras yang memekakkan telinga dan hati. Mobilmu, terpanting keras ke pagar jalan oleh sebuah truk besar. Aku tak bisa melihat tubuhmu waktu itu. Yang aku tau, mobilmu hancur. Dan tiba-tiba rasanya seperti mati. Aku tak ingat apa-apa setelah itu.

 

Jendela mataku terbuka. Langit putih yang kulihat. Langit-langit rumah sakit tepatnya. Masih pusing, kepalaku serasa diayun-ayun. Aku berusaha mengingat kejadian sebelum ini. Zahra. Dimana dia? Apa dia juga ada di rumah sakit ini? Mana ruangannya?

 

Dengan langkah yang masih terhuyung-huyung, aku keluar menuju resepsionis dan bertanya ruangan Zahra. Dengan sisa tenaga yang rasanya telah terkuras, aku berlari menuju ruangan Zahra. Terjatuh. Berdiri dan terjatuh lagi. Berkali-kali sampai akhirnya berada tepat di depan ruangan operasi Zahra. Disana sudah ada seorang lelaki, entah siapa aku tidak peduli. Yang kupedulikan saat itu adalah Zahra. Tapi, yang bisa kulakukan hanya menunggu. Semoga kabar baik yang aku tunggu. Semoga. Tuhan, selamatkan dia.

 

Kurang lebih dua jam. Kepalaku semakin pusing. Kekhawatiran akan wanita yang baru aku kenal benar-benar membuatku semakin pusing. Serasa sudah mengenalnya bertahun-tahun, aku merasa begitu takut kehilangannya. Aku tak bisa tenang. Kekhawatiran itu terus merayap dari dalam ruang operasi menuju hati dan pikiranku. Aku berdoa untukmu wahai wanita yang baru kukenal. Zahra, aku berdoa untukmu.

 

Dokter keluar dari ruang operasi, entah membawa kabar baik atau sebaliknya. Dengan rasa khawatir yang masih saja merayap sedari tadi, aku memberanikan diri bertanya tentang keadaan Zahra.

 

“Bagaimana keadaan Zahra, Dokter? Dia baik-baik saja, kan?”

 

“Maaf, saya sedang berbicara dengan siapa?”

 

“Saya tunangannya.” Lelaki itu menjawab dari belakang kami, aku terhentak.

 

“Operasi berjalan dengan lancar, Bapak. Tapi, pasien harus istirahat. Belum bisa dijenguk.”

Baca:  Aku, Kamu dan Hegemoni

 

“Baik, Dok. Terima kasih.”

 

Aku hanya diam. Antara khawatir dan kecewa. Antara khawatir dan sakit. Tapi, kutepis saja sementara perasaan itu. Yang terpenting saat ini adalah keadaan Zahra. Aku memberanikan diri  menyapa lelaki yang mengaku tunangan Zahra itu.

 

“Kamu tunangan Zahra?”

 

“Iya. Anda siapa? Teman Zahra?”

 

“Iya. Kenapa Zahra harus dioperasi? Separah itukah keadaannya?”

 

“Kakinya harus diamputasi. Dua-duanya.”

 

Aku terhentak untuk kedua kalinya. Berita ini benar-benar membuatku seperti terpelanting ke suatu tempat yang gelap. Tidak ada cahaya disana. Aku memang tidak mengharap cahaya. Aku hanya mengharap Zahra ada disana. Berjalan kearahku dengan keanggunan dan kemanisan wajahnya. Tapi, dia tak mungkin lagi berjalan. Kecelakaan itu memintanya untuk menyerahkan kedua kakinya.

 

Aku merasa tak nyaman. Sangat tidak nyaman. Perasaanku yang dengan ajaibnya bisa  sebesar ini kepadamu dalam waktu yang tak lama, seakan tidak mendapat restu dari statusmu yang sudah bertunangan dan keadaanmu sedang sekarat. Pikiranku bilang, sebaiknya aku pergi saja. Lagipula, kau baru saja hadir. Kau baru aku kenal beberapa jam yang lalu, rasanya mudah untuk melupakanmu. Dan aku pun beranjak dari kursi yang dalam beberapa jam ini menemaniku menunggu senyummu kembali. Aku menyerah Zahra. Kau sudah bertunangan. Biarkan dia saja yang menunggumu tersenyum lagi.

 

* * *

 

Entah sudah berapa lama aku tak pernah melihat sosokmu lagi. Wajahmu yang manis rasanya sudah bisa kulupakan, meski tak semuanya. Tapi, aku masih mengkhawatirkan keadaanmu. Kamu yang terakhir aku tinggal dalam keadaan sedang berduka, kehilangan sesuatu yang bisa mengantarmu ke banyak tempat di dunia ini. Kau tidak dapat membuat jejak kakimu lagi. Ketika berjalan, jejak kursi roda yang akan kau lukis disana. Semoga kau kuat Zahra. Lagi pula, sudah ada kekasihmu disana. Aku percaya dia bisa menjagamu, membantumu membuat jejak kursi roda itu.

 

Sore hari dengan keanggunan senjatanya, kutapaki sebuah taman indah tak jauh dari rumah. Hanya untuk menenangkan diri, kau baik-baik saja bersama kekasihmu. Iya, aku masih saja mengkhawatirkanmu. Padahal, hanya beberapa jam aku mengenalmu. Mungkin karena beberapa jam itu tidak biasa, sehingga masih saja rasa khawatir itu merayap entah dari mana.

 

Tepat menghadap kearah mentari yang hampir terlelap. Sinarnya hangat. Aku berusaha menikmatinya tanpa menghilangkan rasa khawatirku padamu. Ternyata aku tak sendiri. Ada seorang wanita disana, beberapa meter di depanku dengan kursi rodanya juga sedang menikmati hangatnya sinar mentari sore ini. Memakai pakaian yang menutup seluruh auratnya dan memakai jilbab berwarna hijau. Seperti yang kau pakai dulu, malam itu.

 

Mentari dengan sinarnya yang indah pamit untuk terlelap. Sudah saatnya malam dengan hiasan bintang yang bertugas memanjakan mata kita. Wanita berkursi roda itupun sepertinya hendak pulang. Berbalik menghadap kearahku. Wajahnya manis seperti wajahmu, Zahra. Rasanya aku pernah melihatnya. Dan, ya! Itu kamu. Wanita yang sampai saat ini membuatku khawatir. Wanita yang membuatku jatuh cinta hanya dalam beberapa jam saja. Tapi, kenapa kamu sendiri? Mana lelaki itu? Mana tunanganmu?

 

Kau menatapku, entah kau masih mengingatku atau tidak. Kau tersenyum, dan itu cukup membuatku yakin bahwa kau masih mengingatku. Tanpa pikir panjang, kusambut saja senyummu itu. Aku mendekatimu dan mengucapkan salam.

Baca:  Lamunan Seorang Penganggur

 

“Assalamualaikum. Zahra.”

 

“Waalaikumsalam. Kamu masih ingat aku?”

 

“Pastilah. Ee..emmm.. maksudku iya. Aku masih ingat. Kemana tunanganmu?”

 

“Tunangan? Kamu tau dari mana?”

 

“Malam itu, waktu kamu kecelakaan. Aku juga ada disana, sama tunanganmu.”

 

“Lalu pergi?”

 

“Iya, maaf. Aku nggak enak soalnya sama tunanganmu.”

 

“Emm..iya nggak apa-apa. Dia sudah pergi.”

 

“Kemana?”

 

“Entahlah. Dia nggak bisa menerimaku seperti ini.”

 

“Oh…maaf.”

 

Maaf, Zahra. Seharusnya aku tidak boleh seperti ini. Tapi, jujur aku senang. Dialah, tunanganmu itu yang membuatku meninggalkanmu dulu. Sekarang dia sudah pergi. Ini kesempatanku. Aku janji Zahra, aku tidak akan meninggalkanmu lagi.

 

* * *

 

Sayang, janjiku yang terakhir tidak aku tepati. Aku meninggalkanmu untuk yang kedua kalinya. Maaf, Zahra. Tapi, aku harus melakukannya. Aku bercerita tentangmu kepada ibuku. Beliau senang mendengarnya, sampai akhirnya aku bercerita bahwa kau seorang tunadaksa.

 

Kau berjalan dengan roda, bukan dengan kaki seperti orang pada umumnya. Aku menceritakan kecelakaan yang kau alami, yang membuatmu harus membuat jejak langkahmu dengan jejak kursi roda. Tiba-tiba beliau berdiri. Kepalaku terhempas dari pangkuannya. Beliau tidak ingin memiliki menantu dengan disabilitas. Sungguh aku tak bisa menentang beliau. Aku menghormatinya, aku ingin membahagiakannya. Usianya sudah tua dan keadannya tidak sehat. Aku harus memilih antara kamu dan ibuku, dan jelas aku lebih memilih ibuku. Maaf, Zahra. Aku meninggalkanmu lagi.

 

Itulah yang membuatku membenci kekuranganmu. Aku ingin hidup denganmu. Aku ingin bahagia bersamamu. Aku ingin menyuntingmu, Zahra. Tapi, ibuku menginginkan seorang putri yang sempurna untuk menjadi permaisuriku. Dan itu berarti bukan kamu.

 

Malam itu terdengar suara gelas pecah. Aku keluar dari kamar dan ternyata sumber suaranya dari kamar ibuku. Kutemukan beliau terjatuh dari atas tempat tidur dengan pecahan gelas disekitar tubuhnya. Beliau tidak sadarkan diri, tapi detak jantungnya masih bisa kurasakan. Lekas saja kubawa beliau ke rumah sakit. Dalam perjalanan, beliau memanggil-manggil namamu, Zahra. Beliau memanggilmu berkali-kali.

 

Dokter yang memeriksa ibu keluar dari ruangan dan memberitahuku bahwa ibuku ingin bertemu denganku. Beliau ingin bicara denganku. Dan kau tahu, Zahra, beliau menyuruhku menjemputmu. Kamu yang dulu beliau tolak, dalam keadaan yang sekarat seperti sekarang beliau ingin bertemu denganmu. Khawatir sebenarnya meninggalkan ibu dalam keadaan seperti ini. Tapi, aku harus mengabulkan permintaannya. Aku pergi ke istanamu untuk menjemputmu. Aku bersyukur kamu masih mau menemuiku. Aku yang telah meninggalkanmu dua kali.

 

“Ibuku ingin menemuimu.”

 

Sayang, kita tak tahu apa yang ingin beliau katakan kepadamu. Kita tak tepat waktu. Jantungnya sudah berhenti berdetak saat kita sampai disana. Aku hanya bisa menyalahkan diri-sendiri. Kenapa aku tak menjemputmu lebih cepat. Tapi, itu percuma. Beliau sudah diatas sana. Yang di ranjang itu hanyalah raganya.

 

Menurutmu, apa yang ingin dikatakannya kepadamu? Aku harap ini jawabannya. Pernikahan kita. Aku harap itu yang ingin beliau katakan padamu, untuk menjadi permaisuriku. Menjagaku seperti yang beliau lakukan. Mengambil alih tugasnya sebagai ibu, tentu kau tak akan bisa. Kau hanya bisa menjadi istri yang akan mengingatkanku selalu kepada almarhum ibuku. Aku mencintaimu, Zahra. Aku mencintaimu, Ibu.

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Dyah Oktavia
Dyah Oktavia
Articles: 2

Leave a Reply