Badai Tak Kunjung Lalu

Merepresentasikan keadaan dua purnama telah berlalu sejak aku duduk bersama kekasihku di tepi sungai dekat rumah kami. Suasana sunyi senyap. Tidak ada bulan malam ini. Bintang-bintang pun lenyap diselimuti awan hitam yang menggumpal-gumpal di langit gelap. Angin dingin berhembus ke dalam kamarku melalui jendela yang terbuka sedikit. Kamar ini terlihat sama. Buku komik bertebaran di meja belajar, kasur yang kumal berdiri di salah satu sudut ruangan dan lemari baju berpintu cermin berdiri di sudut yang lain. Sebuah lengan merah menyembul dari celah pintu, memperlihatkan warna merahnya yang menyala.

Ibu sedang asyik di dapur seperti biasanya. Menyiapkan hidangan makan malam, menata piring-piring yang akan digunakan untuk makan dan membersihkan dapur agar nanti tidak terlalu banyak pekerjaan. Ada empat piring yang biasa diletakkan di meja makan. Satu untuk ayah, satu untuk ibu, satu untukku dan satu lagi untuk kakakku. Tetapi sekarang, cuma ada tiga piring yang diletakkan di meja makan. Piring yang keempat sudah dibanting, dipecahkan ayah berkeping-keping ketika mereka menemukan bahwa kakakku itu sudah pergi meninggalkan mereka.

Terdengar suara klakson mobil dari depan pintu rumah. Aku berjalan untuk membuka pintu agar ibu tidak usah repot-repot meninggalkan pekerjaannya. Aku memutar gagang pintu dan seketika itu juga angin kencang menerpa wajahku. Aku berlari ke pintu gerbang, mendorongnya ke samping dan menunggu sampai mobil ayah terparkir rapi di garasi, kemudian cepat-cepat menutup gerbang tersebut. Ketika aku sampai di dalam, bajuku basah kuyup dan air menetes dari rambutku yang terurai.

“Ayah!” Seru ibu dari dapur.

“Mana makanannya Bu?” Teriaknya setengah marah.

“Sedikit lagi Yah,” ibu menjawab dengan gemetar.

Aku melihat ibu keluar dari dapur dengan membawa piring raksasa penuh dengan makanan lezat. Wajahnya menegang saat ia melihat muka ayah. Aku bermaksud untuk mengambil alih piring tersebut ketika ibu lepas kendali dan piring tersebut jatuh ke lantai keramik dengan suara prang yang nyaring.

“Apa-apaan kamu Wati!” Bentak ayah pada ibu.

“Maaf, Mas,” ujarnya lirih. “Maaf!

“Kamu pikir cari duit sekarang itu gampang? Punya makanan dibuang-buang! Memangnya suamimu ini gudang duit, hah?”

“Maksudnya …”

“Pagi-pagi, harusnya cuci mobil, eh malah nonton gossip di TV. Siang-siang, bukannya nyetrika malah ngerumpi dengan ibu-ibu arisan! Malam-malam bukannya menyiapkan sambutan pada suami yang sudah kerja seharian malahan kerja tidak becus seperti ini. Bawa piring dari dapur ke meja makan saja tidak bisa! Istri macam apa kamu? Semakin tua bukannya semakin benar malah semakin payah! Tidak heran kalau anakku yang satu itu lebih memilih kabur daripada punya orang tua seperti kamu ini.” Ayah menyerocos tak henti-hentinya. Ingin rasanya aku menampar muka ayah yang merah padam karena marah.

“Maaf, Mas,” kata ibu lagi lebih lirih. Aku melihat darah mengucur dari kakinya yang tertusuk pecahan kaca.

“Kamu juga!” Bentak ayah padaku.

“Ambil sapu terus bersihkan pecahan kaca-kaca ini!”

“Baik!” Seruku tak tahan.

Dengan sigap aku mengambil sapu dan membersihkan pecahan-pecahan kaca yang berserakan bercampur dengan makanan masakan ibu. Sedangkan ibu meninggalkan ruangan dan berjalan menuju kamarnya. Ayah mengangkat telefon dan sesaat kemudian berbicara dengan seseorang di ujung yang lain.

“Bisa pergi ke restoran malam ini, Dri? Okay, saya tunggu di restoran Mekar Mulia. Santai, jangan buru-buru, masih jam tujuh.” Ayah meletakkan gagang telefon tersebut ke tempat asalnya. Beliau mengusap air hujan dari rambutnya dengan sebuah sapu tangan, dan sambil tersenyum meninggalkan ruangan.

“Dasar munafik,” pikirku dalam hati.

Segera setelah ayah meninggalkan rumah, ibu turun dari kamarnya dan berjalan terseok-seok menuju dapur.

“Bantu ibu goreng telor! Kaki ibu sakit!” suruhnya.

“Iya!” jawabku sinis.

Ada ayah, ayah yang marah pada ibu dan aku. Tidak ada ayah, aku kena marah juga lantaran ibu tidak berani marah pada ayah. Tidak ada ayah dan ibu, aku marah pada diriku sendiri. Keluarga yang bahagia ini memang benar-benar sudah hancur. Ayah yang munafik, ibu yang terlalu lemah, kakak yang tidak mau menghadapi kenyataan tapi lari dari rumah dan aku yang putus asa.” Pikirku dalam hati.

Dua purnama yang lalu, aku duduk di tepi sungai yang mengalir dekat rumah berdua dengan kekasihku. Tapi kini dia sudah pergi meninggalkan aku setelah merasa bosan padaku. Laki-laki memang tidak bisa dipegang omongannya. Dia berjanji untuk membawaku pergi dari rumah ini. Aku sudah berikan semuanya padanya tapi akhirnya dia pergi sendiri tanpa aku.

Mau jadi apa nanti keluarga kami? Surat pernyataan dari kakakku bukannya membantu menyadarkan orang tuaku tapi malah memperkeruh suasana. Ayah tidak terima disebut sebagai birokrat korup. Ia lebih tidak terima ketika dia menyebut ayah pengecut karena tidak berani menegakkan keadilan. Andai saja aku seorang laki-laki, aku pasti akan mengikuti jejaknya. Tapi nasib, aku dilahirkan sebagai seorang perempuan.

Aku sudah kehilangan harga diri dan kehormatanku gara-gara perbuatanku sendiri yang terlalu percaya rayuan gombal. Besok, aku harus duduk di ujian akhir nasional yang akan menentukan masa depanku dalam dua bulan.

Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Aku tidak belajar dan aku juga tidak bisa berpikir. Dari sudut mataku, kulihat ibu meninggalkan ruangan dengan perban di kakinya. Tapi aku rasa, perban tersebut lebih tepat kalau diletakkan di hatinya. Hati ibu sudah luka akibat perbuatan kami semua. Di dalam kamar, aku membuka buku harianku dan mengambil pena hitam yang terletak di sisi meja.

Badai tak kunjung berlalu. Kapankah ia berlalu? Doa dan cintamu selalu kurindukan, Tapi kalian tak pernah memberikannya. Harta dan materi tak akan ada gunanya. Tidak akan dibawa ke kuburan. Lalu mengapa, mengapa engkau harus mengejarnya?

Semua ini tidak adil buatku. Belum juga aku tamat SMA, tapi aku sudah merasa bosan dengan hidup ini. Selamat tinggal ayah dan ibu. Aku pergi untuk selamanya. Bukan seperti kakakku yang pergi meninggalkan rumah dan tinggal di tempat lain. Aku akan pergi jauh, lebih jauh lagi. Terbang ke angkasa di antara awan-awan putih, Hilang untuk selamanya.

 

Catatan: cerpen ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu silabus yang harus dikerjakan. Dalam silabus tersebut, penulis diminta untuk membuat sebuah cerpen yang didasarkan pada “Sajak Portret Keluarga” karangan W.S. Rendra. Meskipun kejadian-kejadian dalam cerita ini berdasar pada puisi tersebut, alur cerita tersebut dikarang oleh penulis sendiri.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Ria Andriani

Kontributor Kartunet.com dari Sydney, Australia

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *