“Kamu lemot banget, sih, masak udah beberapa minggu disini masih juga nggak hafal jalan, contohlah teman kamu itu, kalian sama tunanetranya, kan, tapi dia lebih cepat hafal daripada kamu.” Aku menendang-nendangkan kakiku ke bawah kursi dengan perasaan jengkel. Selasa pagi jelang siangku yang tidak damai benar-benar semakin tidak damai dengan kata-kata menyakitkan yang aku dengar dari teman satu kelompok KKN-ku. Kata-kata itu juga yang akhirnya merasuk ke dalam sel-sel otakku hingga saat ini.
Kisah KKN alias Kuliah Kerja Nyata-ku sih emang nggak horror, tapi rasanya tetep bikin trauma dan enggan mengingatnya lagi. Cuma ada satu hal yang mau tidak mau menerbitkan senyum indah saat aku harus mengingatnya, tentang seseorang yang tidak akan pernah aku lupakan kebaikannya.
***
“Eh, kamu kenapa? Mau ikut aku ke kantin gak?” tanya seorang gadis sebayaku yang akhirnya juga tiba di dalam rumah sementara kami selama KKN. Namanya Chela, tubuhnya tak lebih tinggi dariku, dia juga tunanetra sepertiku, namun masih memiliki sedikit sisa penglihatan dengan jarak pandang terbatas, atau biasa disebut juga dengan low vision. Kata Sebagian orang (termasuk kataku juga) anaknya aneh, tapi aku tidak berniat menjauhinya, hanya pada saat itu, aku memang belum berteman akrab dengannya, kendati aku sudah lama mengenalnya dan karena kita berkuliah di satu fakultas yang sama, meskipun beda jurusan.
“Ke kantin?” tanyaku “Emang disini ada kantinnya juga?” aku menyambung dengan ekspresi tak tahu apa-apa.
“Ada, makanya, ikut yuk, hitung-hitung nemenin aku,” ucapnya riang sambil tetap memegangi lenganku. Aku menimbang-nimbang sebentar, berpikir. Ajakan ini sebenarnya begitu asing, mengingat aku yang memang tidak akrab dengannya.
“Emangnya nggak ngerepotin?” tanyaku akhirnya.
“Enggaklah, repot apaan, makanya ayo tha, aku pengen jajan nih, temenin aku ya!” serunya -setengah memaksa. Aku tersenyum, tidak ada salahnya menerima ajakan gadis ini, siapa tau aku malah jadi lebih bisa mengenalnya, dan merubah sudut pandangku tentangnya yang pernah sedikit salah kaprah.
***
Sesampainya kami di kantin, dia memesan sepiring mie goreng dan membeli beberapa jajanan ringan, sementara aku hanya memilih minuman dingin di kulkas di hadapanku dengan ekspresi tanpa minat.
“Pilih aja yang kamu mau, nanti biar aku yang bayar, siapa tau bisa memperbaiki mood juga,” suara Chela yang riang terdengar di belakangku. Aku mengangguk, tersenyum dan berterima kasih. Lalu kuputuskan memilih sebotol teh kemasan dan duduk di kursi yang sama dengannya. Kami mengobrol banyak hal, terutama tentang penyebab aku lebih diam hari ini.
“Eh, apa sih? Kok tiba-tiba banget sih kamu dibilang lemot begitu?” Chela terkejut setelah mendengarkan ceritaku itu.
“Nggak paham, Chel, ya mungkin salahku juga, karena terlalu pelupa dan susah mengingat, jadi aja kayak gini…”
“Ish, nggak lah, dia aja yang nggak jelas, dasar ketua kelompok aneh!” sergah Chela. Aku baru ingat, emang yang waktu itu mengatakan hal tersebut adalah ketua kelompok KKN kami. Aku meminum teh kemasanku yang dingin itu untuk sedikit melegakan perasaan, sementara Chela menikmati mie-nya dengan tenang. Aku tak pernah mengira bahwa pada akhirnya, keakraban kami dimulai dari hari ini, hari Dimana aku yang dibawanya (nyaris secara paksa) ke kantin dan dibelikan minuman dingin untuk memperbaiki perasaan. Dan aku bertekad, jika suatu hari anak manis itu juga membutuhkan bantuan, aku akan melakukannya lebih dari sekadar dengan senang hati, karena dia (yang belum mengenal bagaimana pribadiku) sudah berbuat baik padaku dengan tanpa mengharapkan apa-apa.
***
Tak terasa, seminggu berlalu pasca peristiwa tarikan di lenganku yang begitu tiba-tiba. Saat aku sedang duduk sendirian di kamar, aku membuka ponselku dan iseng mengecek story WA teman-temanku. Dan story Chela yang muncul pertama kali langsung menarik atensiku. Ia seperti sedang marah dan putus asa. Aku yang terkejut dan kasihan memutuskan untuk mencarinya ke tempat yang bisa aku jangkau. Oh iya, aku ingat, Chela sangat suka sekali menghabiskan waktu sendirian di sofa ruang tamu tempat tinggal kami. Sambil setengah meraba-raba aku memanggil Namanya.
“Chel, apa kamu disana? Kamu kenapa?”
“Oh, aku nggak papa, Zel, aman kok…” ia masih mencoba menyanggah, tapi aku paham dengan getaran suara itu.
“Chela, are you ok? Sini ikut aku…” Aku refleks membawanya ke dalam kamarku, mengunci pintunya rapat-rapat. Saat itu, yang bisa aku lakukan hanya membuatnya merasa lebih baik dengan melepaskan tangisnya yang mungkin sudah lama tertahan.
“Aku disini, Chel, selalu ada kapanpun kamu butuh teman bercerita,” ujarku pelan, mencoba menenangkan. Dan satu lagi rahasia tentang diriku yang akhirnya aku tau dari orang-orang (Chela salah satunya), yang mengatakan, kalimat terjelek yang pernah aku katakan pada mereka adalah ; “Are you ok?” karena di detik itu juga, mereka pasti akan menangis.
“Udah lega?” tanyaku setelah Chela menyelesaikan tangisnya.
“Udah, kok, makasih ya, kamu kok baik banget sih, padahal kan kita belum lama akrab?” tanyanya dengan suara parau akibat terlalu banyak menangis.
“Terus apa bedanya sama kamu waktu itu? Aku juga nggak mengharap apa-apa kok, aku Cuma pengen membantu kamu dengan cara yang aku bisa, dan sayangnya itu bukan lewat materi,” kataku sedih.
“Eh, gapapa, kamu lho udah mau dengerin semua ceritaku, itu lebih berharga daripada Cuma soal uang…” Chela tersenyum ; meskipun aku tidak bisa melihatnya, tapi aku bisa merasakan itu.
“Intinya sekarang, kalau kamu kenapa-napa, aku selalu siap kok buat jadi temanmu bercerita,” kataku yakin. Dan sore hari yang cukup cerah itu kami akhiri dengan saling berpelukan dan tertawa Bersama.
***
Kini waktu telah jauh berlalu meninggalkan semua peristiwa itu di belakang, dan setelah semua moment suka-duka KKN itu terlewati (meskipun tidak dengan semestinya) kami masih tetap akrab bersahabat. Chela yang lebih muda dariku menganggapku kakak karena katanya aku punya pandangan hidup dan sikap yang lebih dewasa, sementara aku menganggapnya adik karena dia itu kemasan ekonomis (baca : mungil) lucu, dan kadang manja. Aku tidak pernah menyangsikan, bahwa peristiwa sekecil apapun dalam hidup ini, ternyata bisa membawa dampak yang begitu besar di masa selanjutnya. Sama seperti tarikan mendadak di lenganku siang itu, yang membuat cara pandangku berubah, tentang stereotype dan anggapan umum terkait orang-orang yang perlahan bisa kutepis, juga tentang bagaimana kita bisa tetap berteman tanpa memandang siapa yang lebih baik di antara yang lain, dan bagaimana kita bisa berbuat baik tanpa menuntut balasan, atau saling tegur dengan lembut Ketika salah satu dari kita melakukan suatu kesalahan. Juga kita yang sama-sama dalam ketidaksempurnaan yang mampu saling melengkapi dan berjalan bersisian tanpa harus saling beradu dan saling menjatuhkan. Atau aku yang akhirnya dapat sedikit berpikir bahwa tidak sempurna itu tidak apa-apa, dan kita sebagai manusia juga tidak berkewajiban untuk memenuhi ekspektasi dan tuntutan semua orang. Chela mampu merubah sudut pandangku dengan caranya tanpa aku harus meninggalkan prinsip-prinsip hidupku yang lama. Dan aku menemukan dia sebagai sosok yang asyik dan selalu suportif, serta kadang-kadang pada peristiwa yang tak terduga, kita dapat menjadi rapuh Bersama, menangis Bersama lalu saling menguatkan lagi pada akhirnya. Pertemanan kami memang seunik itu. Terima kasih, Chela.
(SELESAI)
Nice ❤️❤️
Nice ❤️❤️