Langit Senja Bagian 11

Masih tak ada kabar dari Senja. Sejak pulang dari pergi bersamaku dua hari yang lalu, ponselnya tidak aktif. Dia juga tadi tidak ke sekolah. Entah kenapa.

“Mau jalan?” tanya mamah.

Aku meletakkan ponsel, menoleh padanya. “Nggak, Mah.”

“Oh, kirain lagi janjian mau jalan. Dari tadi liatin hape terus.”

“Hehehe..” Aku berdiri, mendatangi mamah yang sedang sibuk menyelesaikan rajutannya. “Bikin apa, Mah?” tanyaku.

“Ini, ada temen mamah yang minta dibikinin baju buat bayinya. Bagus nggak?” Mamah memamerkan hasil rajutan pakaian bayi cewek yang sudah hampir jadi.

“Bagus bangeeet.”

“Oiya. Ngomong-ngomong, tadi mamah liat ada dress oranye di jemuran. Baju baru?” Mamah bertanya tanpa menghentikan rajutannya.

Mendadak aku salah tingkah. “Eh, anu… Itu…”

Mamah menoleh padaku, menghentikan gerakan kedua tangannya. “Kamu beli baju baru?”

Aku menggeleng.

“Terus?”

“Dikasih.”

“Oh.. seleranya Awan bagus juga.” Mamah kembali melanjutkan merajut.

“Senja.”

Bego!

Mamah tersenyum.”Ooooooh…”

Mukaku pasti merah padam sekarang. Rasanya sudah panas sekali. Tidak tahu mengapa, aku merasa maluuuu sekali. Seharusnya aku tadi tak usah bilang saja agar mamah tetap mengira dress itu dari mas Awan. Untungnya, ponsel yang kuletakkan di sofa depan televisi berbunyi, jadi aku punya alasan untuk berdiri dan buru-buru meraihnya, membawanya ke kamar di lantai dua.

“Apa, Ei?” tanyaku begitu menerima panggilan.

“Jalan yuuuuuk!!! Boseeeeeen. Sumpah. Di rumah nggak ada orang.”

“Ke mana?”

“Ya jalan aja. Ngemol. Sekalian nyari sepatu.”

“Ntar, ya? Aku bilang Mas Awan dulu.”

“Oke.” Ei mematikan sambungan.

Aku kemudian memanggil nomor Mas Awan. Tak sampai tiga nada sambung, telponku sudah diangkatnya.

“Ya, Dek?” tanyanya. Ada suara lumayan ramai di belakangnya.

“Mas, aku mau keluar sama Ei.”

“Ke mana?”

“Nemenin beli sepatu aja di mall.”

“Mall mana?”

“Belum tahu. Tapi kayaknya Solo Square.”

“Berdua aja?”

“Iya.”

“Yaudah. Ati-ati. Pulangnya jangan malem-malem.”

“Iya.”

Aku lantas memutuskan panggilan dan dengan cepat mengetikkan pesan singkat.

Me: Ya udah. Ketemu di mol, yak.

Ei: Aseeek. Aku langsung berangkat. Solo Square, yaaak.

Me: Iyaa

Ponsel itu sudah hampir kulempar ke atas kasur. Aku urung, kembali membuka aplikasi pengirim pesan dan mengecek laporan pengiriman pesan terakhirku pada Senja dua hari yang lalu. Pesan itu terkirim. Sebelum nomornya tidak bisa dihubungi, pesan singkat itu memang sudah terkirim. Dan biasanya, jika memang tidak ada apa-apa, dia pasti menghubungiku. Tapi ini….

Aku menekan tombol panggilan di nomor Senja. Nomor itu masih saja tak aktif. Hah, menyebalkan. Padahal aku kangen sekali padanya.

Aku menghela napas, memasukkan ponsel ke dalam tas kecil yang sudah berisi dompet lalu dengan cepat mengganti pakaian, dan bergegas menuruni tangga.

“Mah, aku jalan, ya? Ei ngajakin ngemol.”

“Pulangnya jangan malem-malem tapi.”

“Ay ay, Captain!” Aku mencium pipi mamah, membiarkannya mencium pipiku, lalu berjalan cepat keluar rumah karena ojek pesananku sudah datang.

Langit agak mendung sore ini. Tapi semoga tidak hujan. Paling tidak, bagian barat kota tidak hujan. Aku paling malas kalau harus keluar waktu hujan. Ribet.

“Aku sayaaang banget sama kamu deh, Taaaaa…” Ei menyambutku dengan senyuman super lebar di lobi depan mal.

“Kalau ada maunya aja,” cibirku.

Senyuman Ei menjadi semakin lebar. Dia lantas menggamit lenganku dan mengajakku memasuki bangunan mall. Hawa sejuk langsung menyambut kami, menggantikan hawa panas di luar sana.

“Mau nyari sepatu di mana?” tanyaku.

“Jalan dulu laaah… Pemanasan.”

Aku melirik manusia cungkring itu. “Mau olah raga?”

“Mau nyari sepatu aja sih sebenernya. Tapi liat entar jugak. Mumpung lagi diskonan,” jawab Ei dengan polosnya.

Baca:  Goresan Sang Perindu

Dan dua jam berikutnya, aku masih saja ditariknya ke sana kemari. Awalnya sepatu, lalu berpindah ke baju, lalu ke kosmetik, lalu entah apa lagi. Aku sudah tidak sanggup mengingat dengan jelas. Sudah terlalu banyak.

“Kamu tuh sebenernya mau nyari apa sih, Ei?” tanyaku akhirnya.

“Kamu tuh emang nggak nyenengin deh kalau diajak belanja. Ya kan kudu banding-bandingin dulu, Ta,” katanya sambil mencoba sepatu. “Bagus, nggak?” tanyanya.

“Bagus,” jawabku. Aku menjatuhkan diri ke atas tempat duduk yang disediakan untuk pelanggan. Lumayan bisa mengistirahatkan sepasang kaki yang mulai capek diajak ‘olah raga’ oleh Ei tadi.

Ei mengembalikan sepatu yang baru saja dicobanya, mengambil sepatu yang lain lagi. “Eiya, Ta. Senja ke mana, sih? Tadi nggak masuk, kan?”

Hmm.. padahal sesorean ini aku sudah lumayan bisa melupakan Senja dan segala ketidakjelasan kabarnya.

“Tau,” jawabku.

“Masak kamu nggak tau?” Ei menunjuk sepatu yang sedang dicobanya, meminta pendapatku.

“Aku kudu tau?” tanyaku balik sambil menggeleng ke arah sepatu yang sedang dicobanya.

“Yaaa.. nggak juga sih. Cuma kan kamu yang paling deket sama dia. Masak dia nggak ngasih tau.”

Aku menggeleng.

“Eh, kamu tau nggak sih kalo cowok-cowok tuh sebenernya nggak terlalu suka sama Senja?”

“Kenapa?”

“Katanya Senja tuh angkuh, sombong, sok paling pinter kalau di kelas.”

“Menurut kamu?” tanyaku.

“Biasa aja, sih. Ya cuma itu… dia tuh kadang kalau ngomong kayak nggak mikirin perasaan yang lagi diajak ngomong.”

Aku diam memandangi manusia yang sedang mengamati jajaran sepatu itu. Lumayan lama sampai dia akhirnya sadar aku sedang menatapnya.

Ei menghela napas. “Iya iyaaa… Aku juga kalau ngomong kadang nggak mikirin perasaan orang yang lagi diajak ngomong. Sama kayak Senjaaa,” katanya.

“Bukan kadang, seringnya,” koreksiku.

“Ape kate lu dah.” Dia mengambil sepatu lagi dan mencobanya, mematutnya di depan cermin. “Eh tapi seriusan nanya nih, Ta,” katanya. Dia memberikan jeda sebentar. “Di kehidupanmu yang dulu, kamu udah bikin dosa apa, sih? Bisa-bisanya di kehidupan sekarang dijodohin sama orang-orang kayak aku sama Senja. Hidupmu pasti menderita banget, yak?”

“Ha ha ha.” Aku memberikan jeda pada setiap suku kata. “Lucu,” kataku.

“Udah temenannya sama aku, eh pertama kali jatuh cinta kok ya sama cowok kayak Senja.”

“Udah deh, Ei. Jangan mulai lagi,” keluhku.

“Bener kamu nggak jatuh cinta sama dia? Yakin? Rela kalau dia jalan sama cewek lain?”

“Apa, sih?”

“Jangan sampe nyesel.”

“Udah, deh!”

Ei mengangkat bahunya lalu berjalan meninggalkanku ke arah deretan sepatu yang lebih jauh dari pintu masuk.

Iya. Memangnya aku rela Senja jalan sama cewek lain? Tidak. Aku tak rela.

Aku buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Masih belum ada balasan pesan dari Senja. Pesan yang aku kirim dua hari lalu itu, yang laporannya terkirim sebelum nomornya tak lagi bisa dihubungi itu, belum dibalas sampe sekarang. Aku kemudian menekan tombol panggilan, memanggil nomornya. Aktif.

“Telpon sapa?” Ei bertanya sambil duduk di sebelahku. Aku cuma menjawabnya dengan senyuman.

Nomor itu aktif tapi panggilanku tidak diterima.

“Senja. Dari Sabtu kemaren nomernya nggak aktif. Baru aktif ini. Tapi nggak diangkat,” ceritaku akhirnya.

“Kalau Mas Awan yang kayak gini, kamu bakalan sekhawatir ini nggak?”

“Maksudnya?”

“Yah, aku nggak pernah aja liat kamu sekhawatir ini kalau Mas Awan nggak ngehubungin kamu atau nomernya nggak aktif.”

Aku tidak menanggapi Ei lagi.

“Udahlah, Ta. Kamu tuh nggak usah ngingkarin lagi. Kamu tuh jatuh cinta kan sama Senja.”

“Kamu kenapa sih ngotot banget kalau aku kudu jatuh cinta sama Senja?”

“Bukannya gitu. Aku cuma gemes aja liat kamu nyia-nyiain waktu sama orang yang salah kayak gini. Mending-mending kalau itu bikin kamu bahagia. Lah ini. Setiap detik dicekin di mana, sama siapa, lagi ngapain, udah makan belum. Diawasin terus. Kemana-mana kudu pamitan, kudu dapet ijin. Segala-galanya diurusin sama Mas Awan, diatur ini itu. Emang enak hidup kayak gitu? Aku kok liatnya nggak nyenengin gitu, nggak bebas.”

“Udah, Ei. Jangan bahas ini lagi.”

“Ta…”

Aku menatap Ei dengan malas.

“Coba kamu tanya sama hati kamu.”

Aku menggeleng pelan, memberinya tanda bahwa aku benar-benar enggan membahas ini.

“Yaudah. Terserah.” Ei mengangkat bahu. “Pulang, yuk!” ajaknya. “Nggak ada yang bagus juga sepatunya.” Dia lantas mendorongku keluar dari toko sepatu yang kami masuki sekitar tiga puluh menit yang lalu itu.

Ponselku bergetar. Dengan cepat aku kembali menariknya keluar dari dalam tas.

“Ya, Mas?” tanyaku begitu menerima panggilan.

“Masih di Solo Square?”

“Masih, tapi mau pulang ini.”

“Di mana? Aku baru sampai lobi.”

Baca:  Rute Rindu (Sebuah kolaborasi puisi asmara dari 3 sisi)

Ei bertanya tanpa suara, “Siapa? Awan?”

Aku mengangguk.

“Di lantai dasar, belakang, deket sepatu-sepatu.”

“Oke. Tunggu situ. Aku ke situ.”

Panggilan dimatikan. Ei tak mengatakan apa-apa. Tapi, dari tatapannya, aku tahu dia tak terlalu menyukai ini. Gadis itu masih bersedia menunggu Mas Awan, tapi segera berpamitan begitu dia datang.

“Nonton, yuk. Ada film bagus,” ajak Mas Awan seraya menarikku menaiki eskalator.

Sama seperti biasa, aku hanya mengiyakan saja.

***

Mas Awan mempererat genggaman tangannya di tanganku, menarikku lebih dekat padanya, memberi jalan pada seorang laki-laki yang sama-sama baru keluar dari bioskop tempat kami menonton film barusan.

“Habis ini mau ke mana?” tanyanya.

“Kamu mau ke mana?”

“Kamu laper nggak?”

“Kamu laper?” tanyaku.

“Mmm.. nggak terlalu sih. Tapi lagi pengen pizza.”

“Oke,” kataku pendek. Aku membiarkannya menarikku ke tempat penjualan pizza yang ada di lantai dasar.

“Ini, mau?” Mas Awan menunjuk salah satu menu yang ada di buku menu.

Aku menganggukkan kepalaku bahkan tanpa melihat apa yang dipilih Mas Awan. Dia memanggil pelayan, menyebutkan pesanannya, dan membiarkan pelayan itu berlalu setelah mengulangi membaca pesanan kami dan mendapatkan persetujuan.

“Gimana sekolah?” Pertanyaan Mas Awan membuatku mulai memperhatikannya.

“Kenapa tiba-tiba nanyain sekolah?”

“Kamu ini… dari tadi setiap ditanya kok balik nanya terus.” Mas Awan tersenyum.

“Hmm.. sekolah kayaknya bakalan baik-baik aja walaupun udah mau liburan,” jawabku akhirnya.

Mas Awan tergelak. “Iya iya..,” katanya. “Enaknya ya yang seminggu libur. Mau ngapain aja liburan besok?”

Aku angkat bahu. Dia kemudian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Oiya, tadi pagi ketemu ayah sama mamah di rumah sakit,” kata Mas Awan sambil mengaduk minumannya dengan sedotan. “Ayah ngebahas tentang bimbel.”

“Bimbel?”.

“Iya. Ayah nanyain, kemarin aku ikut bimbel apaan buat persiapan UAN sama ujian masuk kuliah.”

Aku memutar bola mata. Ayah selalu seperti ini. Ya memang ayah sudah beberapa kali menanyakan padaku tentang bimbel, memintaku segera mendaftar untuk persiapan ujian nasional dan seleksi masuk kuliah nanti. Padahal aku tahu kemampuanku. Aku tahu aku akan bisa. Sebegitu tak percaya kah ayah pada kemampuanku?

“Maksud ayah kan baik, Dek. Ayah cuma pengen kamu bener-bener siap.” Mas Awan sepertinya tahu aku tak suka membahas ini.

Cuma pengen kamu bener-bener siap. Aku mengulangi kata-kata mas Awan di dalam kepalaku, tapi tidak mengatakan apa-apa.

“Kamu ikut aja maunya ayah, buktiin kamu bisa masuk kedokteran. Ayah kan cuma minta itu. Pokoknya kamu fokus aja buat belajar. Ikut bimbel juga nggak ada salahnya, kan. Masuk kedokteran kan nggak gampang, jadi kudu disiapin dari sekarang. Malah harusnya dari tahun lalu.”

Aku tak berkomentar. Tapi beda dari biasanya, kali ini aku bukan sedang malas menanggapi topik ini. Aku hanya terlalu sibuk dengan isi kepalaku yang dipenuhi kata-kata Senja hari itu.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Nggak,” jawabku. Aku kemudian mengangkat wajahku, menatapnya. “Gimana kalau aku nggak pengen masuk kedokteran?”

Mas Awan menatapku dengan heran. “Kenapa?” tanyanya.

“Ya aku nggak pengen jadi dokter.”

“Terus kamu maunya jadi apa?”

“Perawat mungkin. Atau guru…”

“Perawat? Guru?”

Aku tidak suka nada dari pertanyaan Mas Awan barusan. “Kenapa? Memang apa salahnya jadi perawat atau guru?” tanyaku.

Mas Awan kembali menatapku dengan heran. “Kamu kenapa sih, Dek?” tanyanya.

“Nggak papa.”

“Ayah itu kan cuma mau yang terbaik buat kamu.”

Aku tak mengatakan apa-apa, lagi-lagi memilih buat diam. Bodoh. Seharusnya aku tadi diam saja, tidak usah sok mengungkapkan apa keinginanku. Seharusnya aku diam saja seperti biasanya, seperti aku yang biasanya, tak perlu sok macam-macam. Tak akan berhasil.

“Maaf, Kak. Pesanannya.” Seorang pramusaji berpakaian hitam datang mengantarkan makan siang kami.

“Makasih,” ucapku pada gadis yang membalasku dengan senyuman lebar itu.

Aku membiarkan Mas Awan mengambil potongan pizza pertamanya, lalu menyusulnya dengan mengambil satu potongan buatku sendiri. Kami kemudian makan dalam diam. Lumayan lah. Aku jadi bisa menemukan pengalih perhatian, tak lagi harus menatap Mas Awan. Tapi sialnya, sekarang kepalaku justru jadi semakin dipenuhi oleh Senja, sama seperti beberapa hari ini semenjak kami menghabiskan waktu bersama.

“Kamu di kelas masih sebangku sama Ei?” tanya Mas Awan setelah diam kami yang lumayan lama. Dia mengambil potongan pizza-nya yang ketiga kemudian menggigitnya.

“Masih.”

“Kalau Senja sebangku sama siapa?”

Rasa tak menyenangkan dari sisa pembicaraan sebelumnya tiba-tiba terasa seperti diaduk-aduk di dadaku sewaktu Mas Awan menyebutkan nama itu di dalam obrolan kami.

“Eko.”

“Eko pasti anaknya baik banget, ya?”

“Kenapa emang?”

“Ya nggak, sih. Pasti kan repot kudu bantuin Senja di kelas.”

Entahlah. Rasanya aku pernah merasa seperti ini sebelumnya. Merasa sepertinya Mas Awan memandang sebelah mata ke Senja. Ah, bukan rasanya. Aku memang selalu merasa seperti ini setiap kali mas Awan membahas Senja. Aku selalu merasa bahwa buat Mas Awan, Senja itu sangat tergantung kepada orang lain, selalu membutuhkan bantuan, sangat merepotkan.

Baca:  Awal Cerita

“Kamu juga sering direpotin, ya?”

Aku mengangkat wajahku, memandang Mas Awan. Dia ternyata sedang memandangiku.

“Nggak, kok.” Aku menjawab cepat. “Kenapa sih tiba-tiba ngebahas Senja?”

Mas Awan menatapku heran. “Kamu kenapa sih setiap kali aku bahas Senja kayaknya nggak suka?”

“Yang bilang nggak suka itu siapa?” Aku urung memakan potongan terakhir pizzaku, ganti mendorong piring makanku menjauh. Nafsu makanku mendadak hilang.

“Ya kamu emang nggak bilang, cuma kerasa aja.”

“Ya udah. Nggak usah dibahas kalau gitu.”

“Ya udah. Aku juga nggak pengen bertengkar sama kamu.”

“Siapa juga sih yang ngajakin bertengkar?” tanyaku.

Mas Awan menghela napas. “Kamu kenapa sih, Dek?”

Aku tidak menjawab pertanyaannya, malah memalingkan pandangan ke luar jendela super lebar yang ada di sebelahku, memandangi gelapnya malam yang dihiasi cahaya lampu. Aku baru kembali menoleh sewaktu mas Awan berdiri dan meninggalkanku ke tempat cuci tangan. Helaan napasnya terdengar cukup jelas tadi.

Sepertinya akan terus seperti ini. Aku akan selalu merasa tak nyaman setiap kali Mas Awan membahas Senja, lalu yang keluar dariku adalah nada seperti itu, dan obrolan kami akan menjadi obrolan yang tak menyenangkan seperti tadi. Sepertinya, sebaiknya aku mengakhiri semuanya sekarang. Hubungan ini.

“Udah?” tanya Mas Awan.

Gelas yang tadinya berisi es kopi itu sekarang kosong. Mas Awan yang kembali duduk di hadapanku, baru saja menghabiskan isinya. Dia sekarang menyandarkan punggungnya lalu diam menatapku untuk sesaat, sebelum kemudian mengajakku beranjak dan pulang.

Perjalanan pulang malam ini hening. Mas Awan tidak mengajak mengobrol seperti biasanya. Tak juga berusaha mengencangkan lingkar tanganku di pinggangnya. Tapi malam ini, tanpa dia minta, aku meletakkan kepalaku di punggungnya, berusaha mencari sesuatu yang aku tidak tahu pasti. Keyakinan untuk bertahan, atau keyakinan untuk mengakhiri hubungan ini. Entahlah. Rasanya benar-benar tak nyaman. Hubungan ini rasanya tak nyaman.

Kepalaku dipenuhi kata-kata Ei sewaktu di toko sepatu tadi. Ah, manusia itu. Aku kadang membencinya. Aku benci caranya memasukkan segala macam kata ke dalam kepalaku bahkan ketika aku menolak. Entah bagaimana kata-katanya selalu saja bisa masuk ke dalam otakku, mengganggu.

Aku melompat turun dari atas boncengan begitu mas Awan menghentikan motor di depan rumah. Bergegas aku membuka pagar dan melangkah masuk. Mas Awan mengikutiku dari belakang. Dia langsung menjatuhkan diri di kursi begitu sampai di teras lalu mengeluarkan ponsel, menyalakannya.

“Mau minum?” tanyaku sembari memutar kunci pintu depan.

Mas Awan menggeleng. Aku jadi urung masuk ke dalam rumah dan memilih untuk ikut duduk di sisinya.

“Hari Minggu waktu itu jadi ke CFD?”

Aku mengerutkan kening, merasa heran dengan pertanyaan Mas Awan. Tiba-tiba dia menanyakan tentang CFD yang kudatangi beberapa bulan lalu. Tak urung, aku menjawabnya.

“Jadi.”

“Sama siapa aja?”

“Ei.”

“Berdua aja?” Semua pertanyaan itu dia tanyakan bahkan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Iya.” Aku mengangguk. Entah kenapa, aku merasa ada nada tak percaya di dalam pertanyaan terakhir mas Awan. “Kenapa?” tanyaku balik, mempertanyakan ketidakpercayaannya.

“Nggak papa.” Dia masih tak menatapku. “Beli apa?”

“Nggak beli apa-apa. Jalan doang.” ceritaku.

Ada senyuman pahit di wajah Mas Awan. “Beneran cuma sama Ei ke CFD?” Mas Awan mengulangi pertanyaannya.

Aku memalingkan wajah, tiba-tiba tak ingin memandang Mas Awan. Kami kemudian sama-sama diam sampai akhirnya aku tak tahan dan berdiri, bersiap meninggalkannya.

“Dek.” Mas Awan bergerak cepat, meraih sebelah tanganku. Dia sudah meletakkan ponselnya ke atas meja. “Sori,” katanya. “Aku cuma…. Waktu itu aku sebenernya ke CFD dan aku liat kamu sama Senja. Aku liat kamu bisa ngomong banyak sama dia. Aku liat kamu tertawa sama dia. Kamu… kamu beda. Aku belum pernah liat kamu kayak gitu sebelumnya. Kamu keliatan seneng banget dan aku nggak suka.” Dia memberi jeda. “Aku juga nggak suka sama kenyataan kalau kamu bisa tertawa selepas itu sama dia, bukan aku. Aku nggak suka sama kenyataan kalau kamu bahkan nyembunyiin hal itu dari aku.”

Aku sudah siap membuka mulutku ketika tiba-tiba Mas Awan mempererat genggaman tangannya di tanganku.

“Dek, kamu harus tahu, aku sayang banget sama kamu,” katanya. “Maaf kalau selama ini aku nggak bisa jadi cowok yang baik buat kamu. Tapi aku janji bakal jadi cowok yang lebih baik buat kamu. Aku nggak bisa kalo nggak sama kamu.”

Lalu mendadak aku merasa kosong.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 11

4 Comments

Leave a Reply