Pagi ini aku sengaja datang cepat. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Ei. Aku akan menjadi orang paling bodoh kalau sampai rela kehilangan Ei hanya gara-gara masalah seperti ini.
“Ei,” panggilku sewaktu menemukannya sedang berkutat dengan LKS.
Ei mengangkat wajah, meninggalkan pekerjaannya, lalu menatapku. Hanya itu. Tak mengatakan apa-apa selain menatapku dengan tatapan yang tak bisa kubaca, membuatku menghela napas.
“Sori,” kataku pelan akhirnya.
“Yaaah, aku maafin. Tapi kalau kamu ulangin kayak gitu lagi, jangan harap kamu pulang sekolah selamet!” katanya.
Aku langsung merangkul gadis cungkring itu, memeluknya erat.
“Nggak, Ta. Harusnya aku yang minta maaf. Sori ya, Ta. Aku udah kebangetan,” katanya di dalam pelukanku.
“Kalian ini kayak di dunia udah nggak ada cowok aja. Ckckckck…” Damar yang baru datang memasang tampang jijik waktu mengatakan itu.
Senja yang baru aja duduk di kursi di depanku tersenyum sewaktu mendengar komentar Damar. Dia kelihatan senang, tahu aku sudah akur dengan Ei lagi.
“Kalau cowoknya cuma kayak kamu sih, aku masih lebih milih Ei, Dam,” balasku.
“Emang aku mau gitu sama kamu?” Ei mendorongku menjauh.
Ah, aku udah lumayan lega sekarang. Paling tidak, satu masalahku sudah teratasi. Sebenarnya, ada dua yang kurasa sudah kuatasi. Ini dan semalam. Semalam aku menyelesaikan satu masalah lagi. Kurasa.
Kurasa. Aku tidak tahu apakah aku sudah benar-benar menyelesaikan masalah atau aku sebenarnya hanya lari dari satu masalah. Aku berharap setelah semalam, setelah keputusan yang kuambil, aku akan bisa menjalani hari ini tanpa perlu memikirkan dia, Senja. Tapi ternyata jam pelajaran pertama masih saja aku habiskan untuk memandanginya, sama seperti biasa.
“Diliatin sama Pak Warsito, tuh!” Ei berbisik dengan kedua mata yang masih menatap ke arah papan tulis.
Aku buru-buru menegakkan tubuhku, mencoba memperhatikan papan tulis yang sudah berisi coretan-coretan tangan Pak Guru itu. Mencoba bertahan. Paling tidak, sampai bel istirahat pertama berbunyi.
***
“Lemes amat hari ini?” komentar Ei begitu Pak Slameto yang mengajar di jam ketiga keluar dari kelas.
Aku membalas komentar Ei dengan senyuman yang aku paksakan.
“Iya. Kenapa, Ta?” tanya Senja. Dia menatapku.
Aku menundukkan kepala, sedang tak ingin memandangi wajahnya. Tapi ternyata, bahkan tanpa menatapnya pun sekarang detak jantungku terasa sangat cepat dan napasku hampir habis. Rasa yang biasanya menyenangkan ini, sekarang menyakitiku.
“Semalem tidur telat,” kataku. Aku meletakkan kepala di meja.
“Dewi, dipanggil Pak Ngadiyo!” teriak Manda dari pintu.
“Hah? Aku?” tanya Ei sambil menunjuk hidungnya sendiri.
“Iye. Cepetan! Penting banget kayaknya.”
“Oke. Makasih.” Ei berdiri. “Ke kantor bentar, yak?” Ei buru-buru berjalan keluar kelas.
Hanya tinggal aku dan Senja sekarang. Buat pertama kalinya, aku berharap bel tanda istirahat berakhir segera berbunyi. Aku ingin waktu cepat berlalu.
“Kamu kenapa, Rekta?” tanya Senja.
“Ja, boleh nggak aku nanya sesuatu?” tanyaku, enggan menjawab pertanyaannya.
“Apa?”
“Kalau kamu jatuh cinta, kamu bakal perjuangin cinta kamu?”
Senja tersenyum. “Cinta, ya?” katanya. “Memperjuangkan yang seperti apa?”
“Kalau kamu jatuh cinta terus ada orang lain yang mau ngerebut.”
“Nggak.”
Aku memandangnya heran. “Berarti kamu nggak cinta dong sama dia?’
“Kan aku udah pernah bilang. Cinta nggak harus memiliki.”
Badanku langsung tegak waktu mendengar jawabannya. “Tapi kan paling nggak harusnya ada usaha buat perjuangin,” protesku.
“Kamu ini kenapa?” Dia mengulangi pertanyaannya.
Aku menghela napas, diam, tak menjawabnya. Dia ini berbeda dari Mas Awan. Mas Awan begitu takut kehilangan aku. Semalam, setelah dia tahu aku sudah berbohong padanya kemarin siang dan setelah obrolan yang lumayan panjang tentang hubungan kami, sebelum pulang dia memelukku erat sekali dan mengecup keningku. Dia bilang, dia tak ingin kehilanganku. Dia minta maaf karena merasa belum bisa menjadi laki-laki yang baik buatku. Dia minta maaf. Dia mengatakan kalau dia begitu menyayangiku. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali.
Tapi manusia ini, yang tanpa melakukan apa pun bisa membuat aku menjadi gila, membuat jantungku bekerja super cepat, dan membuat dadaku sesak oleh kebahagiaan, dia bilang dia tidak akan memperjuangkan orang yang dia cintai. Dia tidak akan mempertahankan orang yang dia cintai jika ada yang ingin merebutnya.
“Ja?” panggilku lagi.
“Apa, Rekta?”
“Kamu pernah jatuh cinta?”
“Iya.”
“Beneran jatuh cinta? Sampai kamu ngerasa nggak bisa hidup tanpa dia?”
Ada raut heran di wajah Senja. Tapi dia menjawab pertanyaanku juga. “Nggak,” katanya. “Hal kayak gitu tuh nggak masuk akal, Rekta. Secinta apa pun kita sama seseorang, ya kita kudu bisa hidup tanpa dia.”
Ada, Ja, batinku. Ya, ada orang yang mencintai sampai seperti itu. Mas Awan. Ah, tapi dia memang bukan Mas Awan. Dia ini Senja.
Aku diam memandangi Senja. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling bodoh. Kalau memang dia tak akan melakukan apapun untuk mempertahankanku, lalu mengapa aku harus bertahan, harus mempertahankan dia? Jadi mungkin memang aku harus melepaskan dia, melepaskan perasaan ini.
Aku menghela napas lalu berdiri. “Laper, Ja. Aku ke kantin dulu,” kataku memberi alasan. Padahal sebenarnya aku hanya sedang tak ingin memandanginya selama ini lagi.
“Iya,” katanya.
Dengan cepat aku melangkah keluar kelas. Aku bertemu Ei di depan kelas, yang langsung kutarik ke kantin.
“Kamu kenapa, Ta?” tanyanya.
“Kenapa apanya?”
“Dari tadi nggak ada semangatnya gitu,” komentar Ei. “Bukannya udah ketemu sama Senja? Harusnya udah ada sedikit semangat, dong!”
Aku diam, melangkah tanpa mengomentarinya. Aku tiba-tiba merasakan dia sedang menatapku. Aku menoleh dan memang Ei sedang menatapku.
“Apa?” tanyaku.
“Kamu ini kenapa, sih?”
“Nggak papa,” jawabku. “Tapi, Ei, boleh nggak aku minta tolong sama kamu? Please, jangan sebut tentang Senja lagi, ya?” Aku tersenyum.
Ei kelihatan terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan.
“Maksud kamu apa?”
“Aku udah milih, Ei, Aku nggak mau nyakitin mas Awan lagi. Dia terlalu baik, terlalu baik buat aku sakitin kayak gini.”
“Kamu nggak mau nyakitin mas Awan, tapi ngorbanin diri kamu sendiri gitu?”
“Dulu, sebelum kenal sama Senja, aku juga baik-baik aja, kok. Jadi, aku rasa, aku juga akan baik-baik saja.”
Dia masih menatapku dengan tatapan tak percaya. “Lalu gimana sama Senja?”
“Dia lebih kuat dari mas Awan, Ei.”
“Tapi…”
“Please, Ei,” potongku cepat sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Aku melihatnya menghela napas kesal. Tapi, kepalanya akhirnya terangguk juga. Dia mengiyakan permintaanku.
Aku tahu ini akan sakit dan mungkin memakan waktu lama. Tapi suatu hari nanti rasa sakit ini akan hilang juga. Suatu hari nanti, entah kapan.
***
Langkahku terhenti di depan pintu kelas. Kedua mataku terpaku ke bagian pojok depan. Rasanya seperti dejávu: tempat yang sama, posisi yang sama, lebih dari setengah tahun lalu. Dia duduk di sana dengan telinga tersumpal earphone, aku berdiri di sini mematung, menatapnya, dan dadaku seperti dipukul-pukul dari dalam. Rasanya masih sama. Masih saja seperti ini.
Aku menghela napas, menundukkan kepalaku, menghindarkan dia dari pandanganku, lalu melanjutkan langkah, membelokkan langkah di gang pertama, kembali mendatangi bangku favoritku dulu. Aku butuh menjauh dari Senja, butuh menghindari dia. Ya, lebih baik seperti ini.
“Ta, PR Bahasa Indonesia-nya udah bikin?” Reno, yang baru saja masuk ke dalam kelas dan meletakkan tas di bangku belakangku, langsung menanyakan PR.
“Udah, dong!” jawabku lalu mengeluarkan buku tugasku dan menyerahkannya pada Reno.
“Emang aku mau minjem?” tanya Reno. “Aku kan nanya doang kamu udah bikin apa belum.” Reno memasang tampang jual mahalnya.
“Oke,” kataku. “Nggak usah pinjem-pinjem lagi!”
“Eh eh.. becanda, Ta. Becanda.” Reno menarik tanganku, menahan bukuku, lalu mengambilnya dari dalam genggaman tanganku.
Aku tertawa. Reno sudah kembali seperti dulu, tak lagi membatasi hubungan denganku. Sama seperti dulu.
“Pagi!” sapa Ei sambil meletakkan tasnya di meja kosong sebelahku. Dia menatap aneh ke arahku, membuatku menghentikan tawa. Ei kemudian duduk, tak mempertanyakan apapun padaku. “PR Bahasa Indonesia, ya?” tanyanya pada Reno.
“Iye.”
“Pak, PR itu pekerjaan rumah,” kata Ei lagi.
“Aku udah pindah rumah ke sini, kok,” jawab Reno enteng.
Ei menatapku, tersenyum. Lebih seperti senyum yang berusaha menenangkan. Dia masih tak berkomentar apapun, tak menyinggung apa pun tentang Senja. Baguslah.
Dan hari ini masih berjalan sesuai keinginanku. Sama sekali tak ada obrolan tentang Senja.
“Rekta,” panggil Eko.
Aku, yang tadinya mau keluar kelas, menghentikan langkahku, berbalik, dan dengan malas mendatangi mejanya.
“Hai, Ja,” sapaku, berusaha terdengar biasa-biasa saja.
“Rekta,” balasnya sambil tersenyum.
Aku berpaling pada Eko. “Apa, Ko?” tanyaku.
Eko menyerahkan selembar kertas berisi pembagian kelompok tugas mata pelajaran Biologi. Aku mencari namaku dan menemukannya berada di dalam satu kotak dengan nama Winda Serafika, Eko Priyo Ahmadi, Langit Senja, Damar Pratama, dan Renata Amanda. Bagus. Aku satu kelompok dengannya.
“Dapet dari mana?” tanyaku.
“Bu Wening tadi kasih sebelum keluar. Mau dibikin kapan?” tanya Eko.
“Deadline-nya kapan?”
“Masih lama, sih. Dua minggu lagi.”
“Ntar nanya anak-anak yang lain dulu, ya?”
“Oke,” kata Eko. Dia berdiri lalu menempelkan pembagian kelompok itu di mading kelas.
“Rekta?” panggil Senja.
“Iya, Ja?” tanyaku.
“Nanti siang mau ke rumah?” tanyanya.
Sudah kuduga Senja pasti akan menanyakan itu. Sore ini ekskul sudah dimulai lagi.
“Belum tau, Ja. Liat entar, ya?” kataku, enggan memberikan kepastian.
“Oh, ya udah.” Senja tersenyum. Tapi aku melihat raut kekecewaan di wajahnya.
“Aku ke kantin dulu,” kataku sebelum kemudian melangkah cepat ke arah Ei yang menungguku di pintu.
“Apaan?” tanya Ei.
“Pembagian kelompok tugas Biologi.”
“Kita satu kelompok?”
Aku menggeleng. “Kaga. Aku sama Winda, Manda, Damar, Eko… Senja.” Aku memberikan jeda sebelum menyebutkan nama yang terakhir.
Ei menghela napas. “Ta, kamu serius tentang ini?” tanyanya. Aku menatapnya. “Tentang kamu lebih milih Mas Awan?”
“Makan yuk, Ei. Laper.” Aku mendahuluinya memasuki kantin.
Tak ada lagi pembahasan tentang aku setelah itu. Ei lebih banyak diam atau membahas hal-hal tak penting lainnya. Dua jam pelajaran terakhir juga hanya diisi dengan diam.
Mas Awan : Aku udah di depan. Love you.
Pesan singkat itu masuk tepat ketika bel tanda pulang berbunyi. Aku tak membalasnya. Semalam mas Awan memang bilang akan menjemputku siang ini, menemani makan siang, lalu kembali mengantarku ke sekolah. Ponsel lantas kumasukkan ke dalam saku jaket sebelum kemudian aku menggendong ranselku dan berdiri.
Senja masih ada di bangkunya, masih mengobrol dengan Eko sambil membereskan barang-barangnya. Awalnya aku mau mendatangi dan memberitahunya bahwa siang ini aku tidak ke rumahnya. Tapi aku urung. Aku lebih memilih mengikuti Ei keluar kelas. Aku tak akan siap kalau sampai dia menanyakan alasanku. Aku tak pernah bisa berbohong padanya dan aku masih tak siap membahas Mas Awan di hadapannya. Aneh memang. Padahal sebenarnya toh dia sudah tahu juga tentang Mas Awan. Hanya saja… entahlah.
“Mau pulang dulu habis ini?” tanya Ei.
“Iya kayaknya. Ganti baju sama naro barang. Hari ini tas berat banget.”
“Tas apa pikiran?”
“Ei…please…”
“Sori.” Ei tersenyum jahil. “Jemputan belum ada, yak? Perlu ditemenin?”
“Emangnya aku si Abim? Kalau nggak ditungguin ilang?”
“Bisa nggak sih nggak ngungkit masalah itu? Bikin aku ngerasa jadi kakak terburuk sejagad raya!”
“Sori. ” Aku balas tersenyum jahil padanya. “Jemputan udah ada, kok,” jelasku sambil menunjuk ke arah Mas Awan.
Entah mengapa, Ei tak membalas senyuman jahilku. Dia hanya diam memandangiku, seolah ada sesuatu yang salah padaku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak papa,” katanya.
“Sampe ketemu besok, Cintaaaa.” Aku masih berusaha mencandainya.
Candaanku hanya ditanggapi senyuman kaku oleh Ei. Gadis itu melambai ke arah Mas Awan sebelum kemudian melangkah ke arah motornya yang diparkir di bawah pohon besar di luar pagar sekolah.
“Aku duluan, Ta,” katanya.
Aku mengangguk lalu berjalan ke arah yang berlawanan dari Ei, mendatangi Mas Awan. Dia tersenyum ke arahku sewaktu aku sampai di hadapannya dan langsung memakaikan helm ke kepalaku.
“Pulang dulu aja, ya? Habis itu makan sekalian balik ke sekolah,” katanya.
Aku mengangguk, mengiyakan. Mas Awan segera melajukan motornya, mengantarku pulang.
“Ayah sama mamah jaga siang semua?” Mas Awan menjatuhkan diri di sofa ruang tamu.
Bukannya menjawab, aku malah bengong memandangi Mas Awan, teringat malam yang aku habiskan di tempat ini bersamanya, menyelesaikan masalah kami. Menyelesaikan.
“Dek?”
Aku tersadar. “Eh, nggak. Ayah lagi ada pelatihan tiga hari di Tawang Mangu. Mamah yang jaga siang,” jawabku. “Aku ganti baju dulu.”
Setengah berlari aku menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar, melempar tasku begitu saja ke atas kasur, dan dengan cepat mengganti pakaianku. Aku harus terus bergerak agar bayangan tentang kejadian sore itu tak menyerbuku. Tapi sepertinya, sebanyak dan secepat apa pun aku bergerak, bayangan itu tetap saja datang. Tetap saja memenuhi kepalaku. Tetap saja menyuntikkan rasa sakit itu di jantungku, mengingatkanku tentang manusia macam apa aku ini sebenarnya.
***
Mas Awan : Dek, tunggu bentar, yak? Ini udah di parkiran kampus. Love you.
Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Sebenarnya aku lebih berharap Mas Awan tidak terlambat menjemputku sore ini, biar aku bisa langsung melarikan diri. Aku lebih memilih melarikan diri daripada ….
“Rekta?”
Ini. Aku tak ingin ini, ingin menghindari ini. Aku mengangkat wajahku sewaktu mendengar panggilan itu. Senja sudah ada di hadapanku, sudah siap pulang. Jadi di sinilah kami sekarang.
“Hai, Ja!” Aku tersenyum, balas menyapanya dengan nada sebiasa mungkin.
Senja mengulurkan tangan kirinya padaku, memaksaku untuk menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut uluran tangannya, membiarkannya menarikku hingga berdiri lalu menempatkan tangannya di lenganku.
“Tadi kamu ke mana?” tanyanya begitu kami mulai melangkah bersama.
“Pulang.”
“Kok nggak ngasih tau?”
“Hehehe… Sori. Tadi buru-buru.”
“Kayaknya matahari emang lagi pengen bersembunyi, ya?” kata Senja, tak menyambung dengan obrolan kami sebelumnya.
Aku menoleh padanya. Aku tahu, beberapa hari ini langit memang mendung, tapi entah bagaimana, aku merasa tersindir oleh kata-katanya barusan. Senja tersenyum. Kedua matanya terpejam. Aku melihat kedua bahunya terangkat sewaktu dia memenuhi paru-parunya dengan udara.
“Beberapa hari ini matahari kayak nggak mau keluar. Kayak lagi menghindari sesuatu gitu.” Dia masih melanjutkan kata-katanya tadi. Dan ya, sepertinya dia memang menyindirku.
“Emang udah masuk musim hujan aja kali, Ja,” kataku.
“Kamu aneh,” katanya. Akhirnya.
“Aneh gimana?”
“You’ve been acting weird,” katanya. “Semenjak kamu ke rumah hari Senin kemaren.”
“Perasaan kamu aja.”
“Kamu ngehindarin aku?”
Entah, kalimat Senja barusan itu pertanyaan atau pernyataan. Nadanya rancu buatku. Jadi aku biarkan saja, tak menjawabnya. Aku merogoh saku jaket, mengeluarkan ponsel dari sana. Kedua mataku memandangi angka-angka penunjuk waktu yang ada di layarnya, terjebak di antara berharap angka penunjuk waktu yang ada di layarnya tidak berubah dan justru berubah lebih cepat dari seharusnya. Aku tidak ingin waktu berlalu. Jadi Mas Awan tak perlu datang. Jadi aku bisa sama-sama Senja lebih lama, bisa memandangnya lebih lama, bisa mendengar suaranya lebih lama. Tapi sebagian aku yang lain ingin waktu berjalan lebih cepat dari ini, tak ingin berada di sebelahnya terlalu lama karena sekarang, setiap kali seperti ini, aku merasa menjadi manusia paling jahat sedunia. Lagipula, aku juga tak ingin diinterogasi lebih jauh lagi.
“Kamu kenapa, Rekta?” tanya Senja.
“Kamu nggak capek nanya kayak gitu terus, Ja?” Aku balik bertanya.
Senja menghela napas. Aku yakin dia tahu ada yang tak beres. Dia selalu tahu.
“Rekta?”
Ponsel itu kumasukkan ke dalam saku jaket lagi. Aku menarik napas panjang, memandangi Senja. “Nggak papa, Ja. Aku nggak papa.”
Aku tahu jawabanku tidak memuaskan Senja. Tapi dia tidak menuntut penjelasan lagi. Paling tidak buat saat ini.
“Eh, sori, Ja.” Aku menghentikan langkah di depan kamar mandi sekolah. “Aku ke toilet bentar. Kamu duluan nggak papa kan?”
Senja melepaskan tangannya dari lenganku. Dia mengangguk. “Ya udah. Aku duluan. Kamu ati-ati pulangnya.”
“Iya.”
“Rekta?”
Aku menunda langkahku ke dalam kamar mandi. “Iya?”
“I know you’re not okay.”
“Udah ah, Ja. Kebelet!” Aku buru-buru masuk ke kamar mandi. Melarikan diri, lebih tepatnya karena aku sama sekali tidak kebelet. Aku hanya butuh alasan buat bernapas sebentar dan menjauh dari Senja.
Aku berdiri di depan cermin besar yang ada di depan wastafel di dekat pintu kamar mandi. Buat sesaat aku hanya diam, memandangi pantulanku di cermin. Kupikir, meninggalkan Senja akan mudah, semudah sewaktu aku membiarkan dia memporak porandakan hatiku. Kupikir, karena toh sebelumnya dia juga tak ada di hidupku, menjalani hari tanpa dia akan semudah dulu. Ternyata aku salah. Tidak semudah itu.
Aku menghela napas sebelum kemudian menyalakan keran air, membasuh wajahku, dan melangkah keluar dari kamar mandi. Mas Awan pasti sudah menungguku di depan.
Ada rasa tak nyaman di dalam dadaku sewaktu aku melihat mobil berwarna hitam terparkir di halaman sekolah, di dekat pos satpam. Perutku rasanya langsung melilit. Rasanya sangat tak nyaman. Aku kenal mobil itu. Mas Awan. Dan yang lebih membuatku tak nyaman adalah kenyataan bahwa saat ini, Mas Awan berdiri di dekat mobil, mengobrol dengan Senja.
Langkahku terasa berat untuk sampai ke sana. Aku tak tahu apa yang sedang mereka obrolkan. Tak ingin tahu. Aku tak ingin tahu.
“Eh, udah?” Mas Awan tersenyum menyambutku, membuat Senja sedikit menoleh ke arahku.
“Udah.” Aku masih berusaha menyeret langkah ke arah mereka.
“Ya udah. Aku duluan.” Senja tersenyum.
“Iya. Makasih, ya?” kata Mas Awan.
“Sama-sama.” Senja menoleh padaku. “Duluan, Rekta.”
“Iya. Ati-ati.”
“You, too,” katanya sama seperti biasanya.
Dan sama seperti biasanya, aku tak bisa melepaskan pandangan darinya. Masih ada rasa tak rela yang sama yang selalu aku rasakan setiap kali harus berpisah darinya. Rasa yang aneh, yang seolah tak peduli kalau sekarang ada Mas Awan berdiri di sebelahku, menggenggam tanganku.
“Yuk, pulang.” Mas Awan melepaskan genggaman tangannya, mengajakku masuk ke dalam mobil.
“Tumben bawa mobil,” komentarku begitu duduk, berusaha terdengar seringan mungkin, tak menunjukkan perasaanku yang sebenernya. “Katanya males bawa mobil? Nggak bisa nyelip-nyelip di jalan kalau bawa mobil?”
Mas Awan hanya menoleh ke arahku sambil tersenyum sebentar ke arahku. Kedua matanya kemudian menatap jalanan yang membentang di hadapan kami. Kelihatannya saja seperti itu. Tapi aku tahu ada banyak hal yang mengisi kepalanya sekarang. Jadi kemudian aku memilih diam.
“Tadi ngobrol apa sama Senja?” Aku akhirnya tak tahan untuk diam, untuk tak bertanya.
Ada sunggingan senyuman di wajah Mas Awan. Seolah dia sudah menunggu pertanyaan ini.
“Nggak ngobrol apa-apa. Aku cuma nanyain kamu aja. Kamu nggak ada waktu aku sampe sana tadi.” Dia menoleh padaku, meletakkan tangan di atas tanganku, meremas jariku pelan.
Dia berbohong. Aku tahu dia berbohong. Ada yang tidak dia katakan padaku.
Sekali lagi Mas Awan meremas tanganku. Dia tersenyum dan ikut menoleh padaku waktu aku menoleh padanya.
“I love you,” katanya sebelum kemudian kembali memerhatikan jalan di hadapan kami.
Aku membuang pandangan keluar jendela, mencari apa saja untuk dilihat, untuk menghilangkan rasa tak nyaman yang tiba-tiba masuk ke dadaku lagi.
Bersambung