Langit Senja Bagian 15

Belum ada anggota kelompok yang datang. Sekolah sangat sepi kalau hari Minggu seperti ini. Tapi bagus juga sih. Aku memang butuh waktu untuk sendiri dulu, menikmati ketenangan untuk sesaat. Makanya tadi aku menolak sewaktu Mas Awan menawarkan mau menemaniku sampai ada teman yang datang.

Aku duduk di tempat duduk semen yang ada di dekat pintu gerbang lalu memasang earphone dan membuka daftar putarku, memainkannya. Lagu The Rose membuka daftar lagu itu. Aku mulai bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar. Tapi aku menghentikannya saat ujung tongkat itu mengenai kakiku, membuatku mengangkat wajah. Dia berdiri di hadapanku, kedua telapak tangannya saling bertindihan di ujung tongkat satunya.

“Sori,” katanya.

“Hai, Ja.” Aku melepaskan earphone dari telinga kiriku.

Dia tersenyum. “Rekta,” katanya.

“Ada tempat duduk di sebelah kiri kamu, setinggi lutut,” kataku sambil bergeser, memberinya tempat duduk.

Senja meraba arah yang aku tunjukkan lalu duduk di sebelahku. Dia melipat tongkatnya, meletakkannya di antara kami.

“Belum ada yang dateng,” kataku.

“Oh, biasa.” Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Sama seperti laptop-nya, ponsel itu juga dapat berbicara. “Call eko,” katanya di dekat speaker. Dia kemudian memasang ponsel itu di telinganya.

Aku diam mengamati. Hah, ternyata aku masih saja merasakan ini, detakan jantung yang luar biasa cepat ini, yang aku tak tahu bagaimana cara menghentikannya.

“Nggak diangkat. Mungkin masih di jalan.” Senja kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Aku kira tadi aku udah yang paling telat.”

Kami kemudian saling diam. Aku kembali memasang earphone di telinga kiriku dan menikmati lagu yang ada di sana. Aku menoleh pada Senja. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menyangga kepalanya dengan kedua tangan yang saling bertautan. Kedua matanya terpejam.

Tuhan, aku kangen sekali pada manusia ini. Sudah dua minggu ini aku berusaha keras menjauhi dia, takut rasa ini akan menyakitiku. Tapi ternyata berjauhan dari dia, menjaga jarak dari Senja rasanya jauh lebih menyakitkan. Aku tak bisa berhenti memikirkan dia. Aku tak bisa berhenti mengingat setiap detik yang pernah kuhabiskan bersamanya.

It’s just the same this miss you game,” gumamku, mengikuti lagu yang sedang aku dengarkan.

Kedua mata Senja masih terpejam. Tapi dia sedikit menoleh padaku.

Thinking of my going, how to cut the thread and leave it all behind. Looking windward for my comfort. I take each day as it arrives….” Aku tak berhasil menyelesaikan gumamanku atas lagu itu.

Ini benar-benar menyiksa. Aku benar-benar kangen manusia ini. Aku ingin melihat senyumannya lagi, ingin mendengar suara tawanya sesering dulu lagi. Aku ingin memeluk dia erat lagi.

“Hei, udah lama?” Manda yang baru aja menghentikan motor di hadapanku dan Senja langsung menyapa ramah. “Yang lain mana, Ta?” tanyanya sambil melepas helm dan maskernya.

“Baru berdua,” jawabku. Aku mematikan ponsel lalu melepas earphone.

“Itu Damar sama Eko.” Manda menunjuk dua ke arah dua motor yang sedang berjalan beriringan ke arah kami. Ada Winda di boncengan Damar.

“Sori sori telat,” kata Damar. “Jemput ibu negara dulu soalnya.”

Winda memukul kepala Damar pelan, membuatnya meringis.

“Sori.” Eko ikut menambahi. “Masuk, yuk!”

Damar dan Eko mendahului memasuki halaman bersama motor mereka, disusul Manda di belakangnya, mendahului aku sama Senja memasuki halaman sekolah dan melapor ke satpam.

“Masuk, Ja.” Aku berdiri, menjejalkan ponsel dan earphone ke dalam kantong depan tas.

Senja ikut berdiri. Aku sudah siap melangkah sewaktu melihat Senja membuka tangannya. Aku bergeming untuk sesaat, ingin sekali menerima uluran tangan itu, membiarkan dia menggeggam lenganku seperti biasanya. Hanya saja…

Aku menghela napas. Tanganku terulur. Akhirnya. Aku membiarkan Senja melangkah di sisiku, menggenggam lenganku. Dan sama seperti dugaanku sebelumnya, rasa itu belum hilang, masih ada. Hanya bedanya, kali ini rasanya sedikit lebih sakit sampai aku harus berulang kali menarik napas panjang untuk bisa melegakan dada.

Baca:  Kejutan untuk Radit

“Ih, sekolahan serem kalau nggak ada orang,” komentar Manda.

“Nggak seserem kamu kok, Man. Tenang aja,” kata Damar.

Tawa kami langsung pecah. Kami semua, kecuali Manda yang sudah siap melempar Damar ke dalam septic tank sekolah. Senja tertawa dan aku langsung merasa lega melihat dia tertawa seperti ini karena semakin membuatku yakin tentang betapa kuatnya dia.

Aku memilih duduk di dekat Eko yang seperti biasa langsung dipilih menjadi ketua kelompok. Lebih aman. Akan lebih banyak waktu yang bisa kufokuskan untuk mengerjakan tugas ini daripada memperhatikan Senja nanti. Aku ingin menghindari itu. Aku ingin mulai membiasakan diri untuk tidak memperhatikan dia.

Hampir tiga jam kemudian tugas kami selesai. Semua orang sudah menyetor jatah pekerjaannya, semua sudah dikumpulkan menjadi satu dan dibahas.

“Kok bisa gitu, Ja?” Manda mendekatkan duduknya pada Senja, ikut melihat ke arah layar laptopnya. “Pake software khusus?”

Senja tersenyum. “Iya, Man. Pake screen reader,” jawab Senja.

“Wah, keren,” puji Manda.

Aku memberesi barang-barangku. Malas memandangi Manda yang terlihat sangat antusias menanyakan setiap benda yang dimiliki Senja.

“Udah aku beresin ya laporan yang di gdrive, Ko,” ucapku pada Eko. “Udah ta satuin semua. Tinggal nge-print aja.”

“Sip.” Damar ikut berkomentar. “Kamu yang nge-print kan, Ko?”

“Iya.” Eko mematikan laptop lalu merapikan barang-barangnya.

“Ni anak perasaan dari tadi nempelin Senja mulu!” Winda melirik ke arah Manda yang masih saja sibuk bertanya ini-itu pada Senja.

“Yee.. biarin.” Manda menjulurkan lidahnya.

“Eh, udah-udah. Nggak usah rebutan. Senja itu punyanya Rekta,” kata Damar.

Aku langsung mengangkat wajah dari layar laptop. “Apa?” tanyaku.

“Udah lewat. Nggak ada siaran ulang,” kata Damar.

Senja tertawa.

“Beneran, Ja?” Manda bertanya, memastikan kata-kata Damar barusan.

“Iya.” Senja masih saja tertawa.

Aku menelan ludah. Kata itu begitu lancar keluar dari dirinya, tanpa beban.

“Hah? Kamu beneran udah jadian sama Senja, Ta?” tanya Damar dengan nada berlebihan.

“Nggak!”

“Iya!”

Dua jawaban yang tidak sinkron itu terucap bersamaan dariku dan Senja. Dia menjawab pertanyaan Damar dengan cepat, seperti tidak ingin aku yang menjawab pertanyaan itu.

“Tunggu.. tunggu…” Manda menengahi. “Jadi sebenernya kalian udah jadian apa belum?”

Lagi-lagi aku dan Senja menjawab bersamaan dengan jawaban yang tak sama.

“Kamu kenapa sih nggak nurut aja, Rekta?” tanya Senja sambil tertawa.

“Nggak lucu, Ja,” kataku. Ya, ini tak lagi lucu.

Ada raut aneh di wajah Senja sewaktu mendengar kata-kata terakhirku. Tapi aku memilih untuk tak ambil pusing. Aku hanya mau dia tahu kalau aku tak lagi suka ini. Semua ini: dia, aku.

“Well, oke. Jadi aku simpulin, kalian belum jadian. Dan aku masih ada kesempatan. Titik.” Manda tersenyum lebar.

“Aku juga,” kata Damar.

“Rekta itu udah ada yang punya.”

Semua orang langsung menoleh padaku begitu mendengar kata-kata yang begitu ringan keluar dari mulut Senja.

“Kamu udah punya pacar, Ta?” tanya Damar.

“Udah,” jawabku. Satu kata. Tapi dampaknya luar biasa menyakitkan.

“Yah, aku patah hati,” kata Damar tiba-tiba.

“Patah hati karena?” tanya Manda.

“Senja?” tanya Winda.

“Setan!” Damar memandang Winda dengan kesal, membuat semuanya tertawa, kecuali Senja.

Senja masih tersenyum, walaupun mulai ada yang berbeda di senyumannya. Dia sudah mulai membereskan barang-barangnya dengan Manda yang ternyata masih saja melanjutkan bertanya ini itu padanya. Sumpah. Gadis itu mendadak menjadi begitu menyebalkan.

Aku kembali menyalakan pemutar lagu di ponsel lalu menyumpal telinga dengan earphone.

♫ Take all your chances while you can. You never know when they’ll pass you by.
Like a sum the mathematician cannot solve. Like me trying my hardest to explain… ♫

“Udah bisa pulang?” tanyaku begitu meja yang ada di hadapan kami sudah bersih. Aku menurunkan volume suara pemutar lagu, membuat lagu Chances yang dinyanyikan oleh Westlife itu tak lagi terdengar terlalu keras.

“Pulang laah. Ogah banget nginep di sini.” Damar menggendong tas ranselnya.

Kami berdiri, meninggalkan kelas. Aku sengaja tidak mendatangi Senja, tidak ingin berjalan bersamanya, membiarkan dia berjalan bersama anggota kelompok yang lain di depanku. Aku benar-benar harus mulai mengurangi waktu bersamanya.

Ah, sama aja. Aku tidak membiarkannya menggenggam lenganku, tapi aku masih saja berulang kali memandanginya. Aku benci seperti ini, berulang kali meyakinkan diriku kalau aku bisa menjauh dari dia pelan-pelan. Tapi kenyataannya aku tidak bisa. Aku masih ingin dia ada di sisiku, berjalan bersamaku. Ingin sekali

Aku melirik lengan kananku, tempat dia biasa meletakkan tangannya saat berjalan bersamaku. Lengan itu kosong sekarang, sama seperti perasaanku. Hampa.

♫ It’s all about your cries and kisses… Those first steps that I can’t calculate…I need some more of you to take me over… ♫

Bagian lagu itu mengalun di telingaku. Ah, seharusnya aku tidak mendengarkan lagu ini, terlalu melankolis, membuat perasaanku menjadi semakin tak karuan saja. Jadi akhirnya kumatikan pemutar lagu, kulepaskan earphone dari telinga, dan memasukkan keduanya ke dalam tas.

Baca:  Dongeng Gemericik Suara Hati (36)

“Duluan,” kata Senja begitu kami sampai di tempat parkir motor.

“Iya. Ati-ati, Ja,” balas Eko yang kemudian menoleh padaku. “Kamu pulang naik apa, Ta?” tanyanya.

“Dijemput,” jawabku. “Yuk, duluan.” Aku melangkah meninggalkan mereka menuju gapura beriringan dengan Senja.

“Udah dijemput?” tanya Senja. Nadanya biasa-biasa saja, seperti tak ada masalah tentang itu.

“Belum kayaknya. Aku belum ngabarin juga.”

Baru saja selesai menjawab pertanyaannya, ponselku bergetar.

“Iya, Mas?” jawabku.

“Udah selesai?”

“Udah.”

“Yaudah, tunggu bentar. Love you.”

“Iya. Love you, too.”

Aku menghentikan langkah di gapura. Senja ikut berhenti di sisiku. Tak lama, tiga motor yang dinaiki orang-orang heboh melewati kami, mendahului kami pulang. Hanya tinggal kami berdua sekarang.

“Rekta, aku nggak suka itu,” kata Senja tiba-tiba.

“Nggak suka apa?”

“Helaan napas kamu.” Dia berbalik menghadapku. “Nada suara kamu.”

Aku bisu, tak bisa mengatakan apa-apa.

Senja sudah hampir mengatakan sesuatu lagi sewaktu motor Mas Awan berhenti di pinggir jalan, di dekat kami. Senja urung, tahu Mas Awan yang datang. Dia menghela napas.

“Aku duluan, Ja,” kataku sebelum kemudian mendatangi Mas Awan.

Mas Awan tersenyum, memakaikan helm di kepalaku. “Mau ronde, nggak?” tawarnya.

“Boleh.”

“Ke Ngarsopuro, ya?”

“Iya.” Aku naik ke boncengan Mas Awan.

“Duluan, Senja!” Mas Awan berteriak dari atas motornya.

Dari dekat gapura, masih di tempatnya berdiri tadi, Senja menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

Mas Awan lantas melajukan motor dan membiarkannya membawaku ke Ngarsopuro yang sore ini sepi. Jalan ini memang hanya ramai di malam Minggu karena ada night market. Di luar itu, sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk-duduk di sepanjang sisi jalan, menikmati sore. Bahkan di hari libur seperti ini.

“Pak, ronde dua, nggak pakai kacang, ya?” Mas Awan kemudian duduk di sebelahku setelah memesan dua mangkok wedang ronde. “Kok ngelamun?”

Aku menoleh padanya, memalingkan wajahku dari lampu-lampu penghias jalan yang sedari tadi aku pandangi.

“Nggak ngelamun, kok,” sanggahku.

“Kamu suka banget liatin lampu-lampu itu, ya? Apa sih bagusnya?”

“Bagus aja diliatnya,” jawabku.

Mas Awan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. “Foto, yuk!” katanya. Dia merangkulkan tangannya di bahuku, menarikku ke dalam pelukannya lalu mengarahkan kamera ke wajah kami. “Satu.. Dua.. Tiga!”

Aku masih sempat memasang senyuman sebelum mas Awan mengambil foto.

“Bagus,” katanya. “Aplot ke facebook, ah!” Dia melepaskan tanganya dari bahuku kemudian asyik dengan ponselnya.

Mas Awan sekarang punya akun facebook. Padahal dia dulu mati-matian tidak mau membuat akun di media sosial itu. Tapi, dua minggu lalu dia tiba-tiba membuat akun di facebook dan langsung menambahkan namaku dalam relationship status-nya. Dan akhir-akhir ini dia juga makin sering mengunggah fotonya bersamaku di sana. Seolah ingin mengukuhkan bahwa aku ini miliknya.

Aku menoleh ke kiri, melihat ke sepanjang jalan Ngarsopuro. Bukan hanya  ingin melihat tempat yang selalu aku sukai ini, tapi juga mencari tempat itu, tempat di mana untuk pertama kalinya aku tidak bisa mengontrol diriku dan memeluk tubuhnya erat. Senja.

“Rondenya, Mas.”

Aku menerima mangkok kecil berisi wedang ronde dari bapak-bapak penjualnya. Masih ada uap yang mengepul dari magkok itu. Aroma jahe langsung menyeruak masuk ke paru-paruku bersamanya.

“Yang ini jahenya mantep,” komentar mas Awan.

“Iya.” Aku mengiyakan komentarnya sambil memainkan sendok, mengaduk-aduk minuman hangat di dalam mangkok kecil itu. Potongan kolang-kaling berwarna merah dan tiga buah bola-bola ronde berputar-putar di sana.

“Bulan depan ada arisan keluarga, Dek. Ikut, ya? Kamu kan udah lama nggak ketemu sama mama.”

“Iya,” jawabku pendek.

“Mama sering nanyain kamu, kapan bisa ikut kumpul-kumpul lagi.” Mas Awan memasukkan salah satu ronde ke dalam mulutnya.

Belum ada isi dari wedang rondeku yang berkurang. Aku masih mengaduk-aduknya, belum berniat memasukkan apapun ke dalam mulutku. Aku justru menengadahkan kepala, memandangi langit yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye.

“Cantik, ya?”

Aku menoleh, Mas Awan di sebelahku juga ikut memandangi langit. Dia menoleh padaku dan tersenyum.

“Kamu suka banget ya sama matahari terbenam?” tanyanya.

Kepalaku terangguk dan aku tersenyum.

“Kenapa?”

Aku mengangkat bahu. “Mungkin karena dia cantik,” jawabku sebelum kemudian meninggalkan langit itu, ganti memandangi mangkok yang ada di genggaman tanganku, lalu memasukkan sesendok air jahe ke dalam mulut.

Air jahe itu terus aku sendok, berulang-ulang dan dengan jeda relatif pendek, berharap kehangatannya bisa menghangatkan dadaku yang sekarang hampa dan mengurangi nyeriku di sana. Bahkan warna oranye yang biasanya membuatku merasa tenang itu sekarang juga membuat dadaku sakit.

Baca:  Aku dan Jatuh Cinta (5-8)

“Memang cantik, kok!” Mas Awan meletakkan mangkok kosong di sebelahnya. “Loh, rondenya kok nggak dimakan?” tanyanya, menunjuk ketiga buah bola-bola dari tepung ketan berisi gula yang masih ada di dalam mangkokku.

Aku menggeleng, menyodorkan mangkokku padanya. Mas Awan tersenyum. Dia tak menerima mangkok yang kusorongkan, tapi membuka mulut. Aku mengulum senyuman dan mulai menyuapinya.

Mas Awan mengeluarkan ponselnya lagi. Dia membuka-buka ponselnya, lalu tak lama ada lagu mengalun dari sana.

♫ Another day without your smile, another day just passes by…
But now I know how much it means for you to stay right here with me… ♫

Melankolis. Aku kenal suara itu: Shane Fillan, Westlife. Mas Awan membuka mulutnya lagi. Aku memasukkan satu ronde lagi ke dalam mulutnya.

“Kemarin nemu lagu ini. Bagus lagunya,” kata Mas Awan sambil mengunyah ronde.

♫ I wanna grow old with you, I wanna die lying in your arms
I wanna grow old with you, I wanna be looking in your eyes
I wanna be there for you, sharing in everything you do
I wanna grow old with you…♫

Aku tersenyum miris mendengar bagian refrain dari lagu ini. Aku juga ingin itu, sayangnya bukan dengan mas Awan. Sayangnya lagi, aku juga tidak bisa memiliki orang itu, yang aku ingini.

“Westlife ya, Mas?” tebakku.

“Hehe.. Iya.” Dia tertawa.

“Cowok kok lagunya Westlife.”

“Nggak pa-pa. Yang penting kamu sayang sama aku. Itu udah cukup.”

Ada tusukan dalam di dadaku lagi sekarang. Dalam dan menyakitkan.

***

Aku mendorong daun jendela kamar, membuka jendela lebar-lebar, lalu duduk di sana. Aku terlambat pulang hari ini. Langit sudah hampir gelap sekarang. Waktuku bersama matahari tak lagi panjang.

♫ Hard to find a way to get through, it’s a tragedy
Pulling at me like the stars do, you’re like gravity ♫

Safe-nya Westlife mengalun di telingaku. Perhatianku teralihkan oleh getaran dari ponsel yang ada di genggaman tanganku. Ada satu pesan singkat yang masuk.

Langit Senja : Nganterin matahari pulang?

Aku mengambil napas dalam, berusaha meredakan napasku yang mendadak sesak. Aku mengabaikan pesan singkat itu, tak ingin menjawabnya. Sama seperti beberapa hari ini. Kukira pertemuannya dengan Mas Awan beberapa hari lalu itu sudah cukup menegaskan segalanya. Sama seperti sikapku padanya akhir-akhir ini.

Tak lama, lagu yang sedang mengalun di telingaku benar-benar terhenti. Aku tahu, dia pasti akan menelpon.

“Ya, Ja?” tanyaku, berusaha terdengar tenang, setelah beberapa kali mengambil napas dalam.

“Kamu kenapa?” tanyanya, langsung pada intinya, seperti dia biasanya.

Aku heran dengan pertanyaannya. Harusnya dia sudah tahu ada apa. Aku heran padanya. Aku heran pada entah sudah berapa kali dia menanyakan pertanyaan yang sama padaku. Aku menarik napas panjang berulang, memberi jeda. Aku sengaja memberikan jeda, memberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk memilih kata yang harus aku ucapkan.

“Kamu tau ada apa, Ja,” kataku akhirnya.

Ada helaan napas Senja yang kudengar dengan jelas. “Aku tau, Rekta. Aku cuma pengen denger semuanya langsung. Aku cuma pengen kamu ngomong, pengen kamu ngungkapin perasaan kamu yang sebenernya tentang ini semua.”

Lagi-lagi aku diam. Tapi kali ini bukan dengan sengaja memberikan jeda. Kepalaku benar-benar kosong, tak bisa berpikir.

“Rekta?” Nada itu, nada dalam panggilannya itu, dia mencemaskan aku.

Aku masih belum bisa mengatakan apa-apa lagi. Semuanya rasanya seperti mimpi buruk sekarang, rasanya aku ingin lari dan bersembunyi saja. Aku tak ingin menghadapi ini, tak ingin menghadapi dia, menghadapi Senja.

“Rekta, aku..”

“Sori, Ja,” potongku cepat. “Aku yang salah, Ja. Aku minta maaf. Tapi, aku nggak bisa melakukan ini lagi.”

“Melakukan apa?” tanya Senja.

Pertanyaannya menyadarkan aku. Melakukan apa? Memangnya pernah ada apa antara aku dan dia?

“Rekta?”

“Ini… Kita…,” jawabku akhirnya. Aku menarik napas panjang. “Kita sama-sama tahu ada apa dan kita sama-sama tau ini salah.”

“Oh, itu.” Hanya itu komentar Senja.

Lama kami sama-sama diam tapi sama-sama tidak memutuskan sambungan telepon. Kami sama-sama menunggu. Lalu air mataku mulai jatuh. Berulang kali aku coba menghapusnya, air mataku masih saja menetes, tak mau berhenti.

“Rekta?” Nada cemas itu masih ada di dalam suaranya, memperdalam tusukan di dalam dadaku, menambah sakit.

Aku masih saja tak bisa memahaminya. Terbuat dari apa hatinya itu? Bukannya seharusnya dia marah? Mengapa dia justru mencemaskan aku?

“Aku tau ini keputusanmu. Tapi aku nggak bisa, Rekta,” kata Senja. “Aku nggak bisa ngelepas kamu kayak gini.”

Aku buru-buru memutuskan telepon. Lalu lagu itu kembali mengalun di telingaku. Lalu, air mataku mengalir semakin deras dan isakanku semakin keras.

♫ How you gonna love? How you gonna feel?
How you gonna live your life like the dream you have is real?
If you lost your way, I will keep you safe ♫

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 16

Leave a Reply