Langit Senja Bagian 16

Dia tidak melakukan apa-apa. Setelah obrolan terakhir kami sore itu, dia tak melakukan apa-apa. Senja tak membahas apapun, tak juga berubah. Kami mengobrol seperti biasa. Dia bercanda dengan Eko dan Ei seperti biasa. Baguslah. Semoga, hari ini juga sama.

Aku melangkah masuk ke dalam kelas. Kedua mataku langsung melihat bangku paling depan dekat meja guru. Kursi di sebelah Eko pagi ini kosong dan aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak. Hah, aku kesal pada diriku sendiri. Sepertinya otakku benar-benar sudah diatur, secara otomatis memberi perintah ke mata untuk selalu melihat ke arah itu setiap kali masuk kelas. Sial. Sialnya lagi, sudah sesiang ini Ei belum datang, dan satu-satunya bangku kosong yang tersisa adalah bangku di belakang tempat itu.

“Ko,” sapaku waktu melewati Eko. Dia membalasku dengan senyuman.

Bel tanda pelajaran dimulai berbunyi waktu aku baru aja duduk.

“Kayaknya Senja nggak masuk lagi hari ini,” kata Eko.

Aku belum sempat berkomentar apa-apa. Tak sempat. Untunglah. Ei yang baru saja datang dan masuk kelas sambil berlari cukup bisa mengalihkan perhatian kami dari topik barusan.

“Belum telaaaaaat,” katanya sambil menjatuhkan diri di sampingku.

“Udah bel,” kata Manda yang ada di belakang kami.

“Biarin. Penting masih bisa masuk,” balas Ei.

“Hmmm…” Aku mengeluarkan buku dari dalem tas. “Nggak penting.”

“Hmmm..” Ei menirukanku. “Biarin,” katanya. “Eh, Senja nggak masuk?”

Yak. Topik itu kembali dibahas.

“Iya,” jawab Eko, singkat seperti biasa, sebelum kemudian berbalik menghadap ke papan tulis karena guru yang mengajar di jam pertama sudah masuk.

Jam pertama diisi oleh matematika. Pak Tri langsung menuliskan rumus-rumus di papan tulis begitu selesai mengecek kehadiran. Dan ya. Senja benar-benar tidak masuk sekolah lagi hari ini. Lagi-lagi izin karena ada acara keluarga.

Ei menyikutku pelan, mengalihkan perhatianku dari rumus matematika yang sedang diterangkan di depan. Dia menggeser buku catatannya ke arahku jadi aku bisa membaca apa yang ditulisnya.

Senja kenapa nggak masuk? Masak acara keluarga terus?

Aku mengangkat bahu, tak menjawabnya. Ei menarik buku catatannya lagi, menuliskan sesuatu, lalu kembali menunjukkannya padaku.

Kamu serius nggak mau peduliin dia lagi?
Kamu nggak khawatir sama dia?

Serius. Aku serius tidak mau peduli padanya lagi. Tapi aku bukannya tak khawatir. Aku khawatir padanya, setiap kali dia tidak ada, setiap kali tidak melihatnya. Aku khawatir setengah mati.

Buku itu kudorong ke arah Ei tanpa jawaban. Gadis itu tidak protes. Dia hanya menghela napas lantas menutup bukunya. Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa lagi tentang Senja sampai bel istirahat pertama berbunyi.

“Senja kenapa sih hari ini nggak masuk lagi?” tanya Manda begitu guru yang mengajar kami keluar kelas. “Tu anak perasaan sering banget nggak masuk sekolah, yak?” Manda berdiri, masih melanjutkan pembahasannya.

“Acara keluarga, tuh. Kawin kali dia.” Sari, teman sebangkunya, sepertinya tidak begitu tertarik dengan topik pembicaraan Manda. Tapi dia dengan setia mendengarkan Manda yang masih saja meneruskan omongan soal Senja sambil mereka keluar kelas.

Aku menutup buku, mendorongnya ke tepi meja, bersiap meletakkan kepala. Hari ini, rasanya aku ingin tidur saja seharian, tak melakukan apa-apa.

“Ta?” panggil Ei. Dia ternyata masih belum berdiri, masih bertahan di kursinya. Dia memandangiku, seperti akan mengatakan sesuatu yang penting.

Baca:  Kejutan untuk Radit

“Apa?” tanyaku.

“Aku pikir-pikir, Manda ada benernya.”

Here we go….

“Senja kok sering banget nggak masuk sekolah, yak? Kalau diinget-inget lagi, paling nggak, sebulan sekali pasti dia nggak masuk. Masak acara keluarga rutin tiap bulan?”

“Mungkin ada arisan tiap bulan,” jawabku asal.

Aku malas membahas ini. Aku sudah memikirkan ini sejak lama sebenarnya. Tapi aku sudah tak ingin memikirkannya lagi. Tak ingin peduli lagi.

“Kamu nggak ke kantin? Ke kantin gih! Aku pengen tidur,” kataku.

“Masak arisan, sih? Arisan di hari kerja gitu? Emang keluarga dia pada nggak kerja?”

“Ya mana kutahu, Ei. Kenapa sih nggak nanya langsung aja ke orangnya?” Aku mulai kesal sekarang.

“Kan nggak masuk anaknya. Gimana, sih?”

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan panjang sebelum kembali membuka mata. Ei langsung membuat senyuman super lebar.

“Iya iya.. Nggak nanya-nanya lagi soal Senja,” ucapnya sambil cengengesan sebelum meninggalkanku keluar kelas.

Ponselku bergetar. Satu pesan singkat masuk.

Mas Awan: Tar siang aku telat ya jemputnya. Kuliah yang siang dosennya telat katanya, jadi bakalan molor sampai jam dua.

Me: Iya.

Aku meletakkan kepala di atas meja, tapi urung memejamkan mata, hanya memandang ke ujung lain kelas yang pagi ini hanya tinggal ada aku dan Eko yang duduk di depanku.

“Sakit?” tanya Eko.

Aku hanya mendongakkan kepala sedikit, menatapnya, dan menggeleng.

“Kamu bisa hubungi Senja nggak, Ta? Dari tadi kok pesanku centang satu ya.”

“Mungkin lagi nggak ada sinyal,” jawabku asal.

“Yaudahlah. Aku mau nanya, dia butuh materi hari ini nggak.”

Dengan malas aku menegakkan badan, kembali mengeluarkan ponsel, sudah hampir mengirimkan pesan pada Senja, tapi lantas urung.

“Ditunggu aja, Ko,” kataku.

“Kalian ada apa?” tanya Eko kemudian.

“Nggak ada apa-apa. Kenapa emang?”

Eko tak menjawab, hanya menatapku sesaat, lalu berbalik. Sudah. Dia tak bertanya apa-apa lagi. Sama seperti Ei yang kemudian kembali duduk di sisiku saat bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Gadis itu hanya tersenyum lebar, lalu larut dalam pelajaran sampai saatnya kami pulang.

“Eh, Ta,” kata Ei seraya membereskan barangnya. “Mungkin nggak sih kalau sebenernya Senja itu…”

“Mau pulang nggak?” tanyaku, memotong kalimat Ei, tak berniat menjawab pertanyaannya, apapun itu.

“Beneran ya kamu nggak peduli lagi sama dia, Ta?”

Aku memutar bola mata lalu berjalan meninggalkan Ei. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli pada apapun yang terjadi dengannya. Aku tidak ingin peduli. Aku tidak akan peduli. Ya, aku benar-benar berharap bisa melakukan itu, benar-benar tak peduli.

“Taaa!!!” panggil Ei. Setengah berlari dia menyusulku keluar kelas. “Jangan ngambek gitu, ah,” katanya begitu sampai di sisiku.

Aku tak mengatakan apa-apa.

“Iya deh… Nggak akan bahas masalah Senja lagi,” katanya. “Cuma….”

Aku langsung menoleh padanya. Dia tersenyum, mengangkat bahunya.

Body guard udah jemput?” tanya Ei.

“Kamu hari ini nyebelin banget sih, Ei!” keluhku.

Aku tahu dia kadang bisa sangat menyebalkan. Hanya saja, siang ini dia menyebalkan sekali. Super duper. Perasaan tadi seharian dia tidak semenyebalkan ini. Ah, atau mungkin ini sebenarnya hanya gara-gara perasaanku yang memang sedang tak enak saja beberapa hari ini.

“Mas Awan udah jemput?” Dia mengulangi pertanyaannya dengan cara yang lebih benar.

“Belum. Masih ada kuliah. Tar rada telat katanya.”

“Oooh…”

Ei manggut-manggut. “Butuh ditemenin nunggu jemputan nggak?”

“Nggak usah. Aku lagi males ngobrol sama kamu. Kamu hari ini sumpah nyebelin.”

“Ya ya ya…” Bukannya merasa bersalah, Ei malah tersenyum jahil padaku. Menyebalkan.

Ei melihat jam yang melingkar di tangannya. Dia terlihat terkejut begitu tahu sekarang pukul berapa.

“Eh ya ampun, Ta. Aku kudu jemput Abim. Duluan, ya? Dah!” Setengah berlari dia meninggalkanku. Dasar aneh.

Aku akhirnya menyeret langkah sendirian melewati lorong depan ruang BK, menuju pintu kecil yang seringnya malah digunakan sebagai pintu keluar masuk utama ke dalam gedung sekolah ini. Langkahku melambat sewaktu hampir sampai pintu gerbang. Seseorang berdiri di dekat gerbang dengan rambut panjangnya yang diikat ekor kuda dan kedua tangan terlipat di dada, menungguku. Kedua matanya tidak melepaskanku semenjak mereka menemukanku barusan.

“Aku perlu ngomong sama kamu!” katanya begitu aku sampai di hadapannya.

“Di sini?” tanyaku.

Arik menghela napas tak sabar. Dia mulai berbicara dengan suara yang tidak terlalu keras, yang sepertinya hanya aku dan dia yang bisa mendengarnya.

Baca:  AKU DAN JATUH CINTA (3-8)

“Aku nggak tau permainan apa yang lagi kamu mainin sekarang. Tapi apapun itu, please jangan libatin Senja. Tolong jangan sakitin dia. Tolong tinggalin dia.”

Tidak ada pembelaan. Aku menarik napas panjang, memasukkan oksigen sebanyak yang aku bisa ke dalam paru-paru. Aku tidak mau menangis di depannya. Tapi aku gagal. Air mataku akhirnya menggenang juga.

“Udahlah. Aku udah tau kamu itu cewek kayak apa.” Suara Arik masih sepelan sebelumnya dan aku masih saja bungkam. “Kayaknya yang bisa kamu lakuin tuh cuma nyakitin Senja, cuma nyelakain dia. Jadi tolong, menjauh dari Senja.”

“Senja kenapa, Rik? Ada apa sama dia?” tanyaku panik mendengar kata-kata Arik barusan.

“Udahlah. Nggak usah sok peduli,” kata Arik. “Tolong tinggalin Senja. Dia berhak dapetin cewek yang jauh lebih baik dari kamu!”

Sepertinya apa yang kami lakukan sudah menarik perhatian orang-orang di sekitar. Aku sempat melihat beberapa pasang mata melirik ke arah kami disertai bisik-bisik tak jelas walaupun tak ada satupun yang mendatangi. Tapi, sepertinya Arik juga menyadari hal itu. Jadi dia lantas bergegas meninggalkanku.

“Ta? Kamu nggak papa?” Manda yang baru keluar dari gedung sekolah, langsung bertanya begitu menghentikan langkah cepatnya tadi.

“Iya, Ta. Kamu nggak papa?” Tika yang tadi keluar bersamanya, ikut bertanya.

Aku mengangguk dengan senyuman terbaik yang bisa kubuat. “Nggak papa, kok.”

“Beneran nggak papa? Tadi anak kelas sebelah heboh, katanya kamu dilabrak anak sekolah lain.”

Manda meletakkan kedua tangannya di kedua pipiku, memeriksa wajahku. Untung tadi aku sempat menghapus air mata yang menetes. Jadi, kurasa, sudah cukup meyakinkan sewaktu kukatakan tak apa-apa.

“Apa sih, Man. Beneran kok nggak papa. Nggak ada yang dilabrak. Cuma mau ngobrolin sesuatu aja.”

“Anak mana?” Nada suara Tika tinggi.

“Mau ngapain?” tanyaku padanya. “Temenku itu, udah lama nggak ketemu.”

Kedua mataku lantas melihat Mas Awan menghentikan motor di dekat trotoar. Baguslah. Aku bisa melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan mereka sekarang.

“Duluan, yak. Udah dijemput,” pamitku sambil berjalan cepat mendatangi Mas Awan.

“Lama nunggunya?” tanya Mas Awan sambil memakaikan helm di kepalaku.

Aku menggeleng. Lalu naik ke boncengannya tanpa mengatakan apa-apa. Aku membuang muka saat melewati pertigaan menuju rumah Senja. Aku harus benar-benar berusaha melepaskan diri dari apapun yang berhubungan dengannya.

Laju motor yang kami tumpangi dipelankan, lalu akhirnya dihentikan di ujung selatan jalan Ngarsopuro, di trotoar depan bangunan yang menjual es krim.

“Es krim?” Mas Awan tersenyum. “Aku tadi dapet duit karena bisa jawab pertanyaan dosen. Hehe..”

Aku meraih tangan Mas Awan, menggenggamnya. Aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya untuk sesaat. Tapi lantas dengan cepat berganti dengan senyuman lebar. Mungkin dia tak menyangka aku akan menggandeng tangannya. Ini memang pertama kalinya aku yang memulai. Biasanya selalu dia.

♫ It’s the heart afraid of breaking that never learns to dance. It’s the dream afraid of waking that never takes the chance ♫

Lagu itu menyambut kami. Aku menelan ludah. Dari sekian banyak lagu, mengapa harus lagu itu?

“Duduk di mana?” tanya laki-laki yang tadi membukakan pintu dan menyambut kami.

Kami memilih tempat duduk di dekat jendela. Aku yang sengaja memilihnya, mencari tempat di mana aku akan bisa melemparkan pandangan ke pemandangan yang melegakan seperti bentangan jalanan pusat kota yang ada di luar jendela sana.

“Katanya makan makanan yang manis bisa menstimulasi produksi hormon endorfin, hormon kebahagiaan,” kata Mas Awan setelah kami selesai membuat pesanan.

“Maksudnya, kamu ngajak aku ke sini karena aku nggak bahagia?” tanyaku.

Mas Awan tertawa kecil, tak menjawab pertanyaanku. Tahu aku hanya membercandainya.

Ponselku bergetar. Satu pesan singkat masuk.

Ei: Ta, kata anak2 tadi kamu dilabrak cewek? Siapa?

Aku membaca pesan yang baru saja masuk itu dari daftar notifikasi yang muncul di bagian atas layar ponsel, belum berniat membukanya. Ponsel lantas kuletakkan dengan posisi layar menghadap ke bawah, lalu memasang senyuman terbaik untuk menyambut pesanan es krim kami yang akhirnya datang.

“Tutty fruity,” ucap Mas Awan seraya menyorongkan mangkok berisi potongan es krim ke arahku.

“Makasiiii,” jawabku.

Mas Awan membalasku dengan senyuman sebelum kemudian menikmati Oreo Buster-nya.

Ponsel Mas Awan yang diletakkan di atas meja bergetar oleh panggilan masuk. Dengan cepat dia meraihnya, memerhatikan nama yang ada di panggilan.

Baca:  Kisah di Masa Lalu

“Eh, aku terima telpon bentar ya,” katanya seraya meninggalkanku.

Aku mengangguk, membiarkannya. Sebelah tanganku lantas memasukkan satu sendok es krim ke dalam mulut. Aroma buah-buahan dan rasa manis dingin yang memasuki mulutku, entah bagaimana menghadirkan rasa tak nyaman yang campur aduk di dalam dada. Kupikir, hanya perasaan sesaat yang akan hilang setelah lebih banyak kumasukkan es krim ke dalam mulutku. Tapi, nyatanya, sebanyak apapun kumasukkan, rasa tak nyaman itu justru semakin besar, semakin tak nyaman.

Aku melepaskan sendok dari genggaman, lantas menarik napas panjang dan melemparkan pandangan keluar jendela. Bodoh. Aku lupa bahwa di jalan itu, yang membentang di luar jendela itu, ada kenanganku dan Senja di sana. Jadi, yang selanjutnya terjadi adalah aku yang dibanjiri oleh kenangan dan gulungan rasa yang tak menyenangkan.

“Kak.”

Aku menoleh dan mendapati sekotak tisu disorongkan kepadaku oleh pelayan yang tadi mengantarkan pesanan kami. Aku tersadar. Buru-buru mengambil tisu yang dia sodorkan lalu menghapus air mata yang tanpa sadar sudah menetes.

“Hahaha.. bodoh ya, Mbak? Makan es krim kok malah nangis. Padahal kan harusnya seneng.” ucapku.

Dia hanya membalasku dengan senyuman, lalu meninggalkan kotak tisu itu di atas meja di hadapanku. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum, lalu membersihkan sisa tangisku, berharap saat Mas Awan kembali nanti sudah tak lagi terlihat.

***

Pintu kamar diketuk, lalu perlahan dibuka dari luar setelah aku memberikan izin. Mamah memasuki kamar dengan senyuman di wajah, lalu melewatiku, dan duduk di atas tempat tidur.

“Apa, Mah?” tanyaku seraya menurunkan volume suara pemutar lagu di laptop.

“Kok gitu nanyanya? Emang mamah nggak boleh liatin anak mamah sendiri?”

Aku memutar bola mata, sebelum kemudian memutar kursi ke arah meja lagi, kembali mengerjakan soal-soal latihan yang ada di buku. Tapi, karena mamah lantas tak mengatakan apa-apa, akhirnya aku meletakkan pensil yang semenjak tadi kupakai untuk mengerjakan soal, kembali memutar kursi ke arahnya. Aku benar, mamah sedang menatapku.

“Apa sih, Maaah?” Aku menanyakan hal yang sama. “Kenapa? Kangen ya sama anak mamah yang paling cantik ini?” candaku disertai tawa kecil.

Mamah tersenyum, menepuk kedua pahanya sendiri pelan sebelum berdiri, menghampiriku, lalu mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala. Mamah lantas beranjak, tapi menghentikan langkah di depan jendela kamar yang terbuka.

“Hari ini cerah. Warna oranyenya cantik banget,” kata mamah dengan kedua mata memandang keluar jendela.

“Iya,” jawabku tanpa meninggalkan kursi.

Mamah menoleh padaku, memandangku heran. Seolah mengatakan bahwa ini bukan respon yang beliau harapkan dariku.

“Nggak nganterin matahari pulang?” tanya mamah.

Aku menggeleng, “Lagi banyak PR inih. Hehe..”

Mamah menatapku, tak mengatakan apa-apa, sebelum kemudian kembali mendatangiku dan memeluk tubuhku erat. Tapi, sama seperti sebelumnya, tak mengatakan apa-apa. Begitu saja, sebelum kemudian keluar dari kamar.

Jendela kamar masih terbuka. Aku termangu menatapnya. Sebagian diriku ingin sekali segera melangkah mendatanginya, lalu duduk di sana dan menikmati sore seperti biasa. Tapi, sebagian diriku yang lain tahu apa yang akan terjadi jika aku melakukannya. Sayangnya, bagian yang ini akhirnya kalah.

Aku meninggalkan kursi dan pekerjaan yang sebenarnya hanya kuada-adakan, melangkah ke arah jendela, lalu duduk di sana dengan kedua kaki menggantung seperti biasa. Seperti biasa? Entahlah. Rasanya tak seperti biasanya. Rasanya kali ini menyakitkan. Rasanya kali ini ada yang hilang.

“Hari ini cerah banget, sama sekali nggak ada mendung,” bisikku, tak tahu pada siapa.

♫ I’m not gonna tell ya, I’m not gonna say that I’m okay, no. I’m tryin’ to get over, I’m tryin’ to get far away from our mistakes ♫

Lagu itu mengalun dari pemutar musik di laptop, membuatku menoleh ke arah meja.

♫ But I see shadows everywhere that I go. It’s you, reminding me of how we were, of how it was. I see shadows, everywhere they follow. It’s you and memories of how we loved ♫

Aku menengadahkan kepala, berharap bisa mencegah air mataku agar tak jatuh lagi. Tak boleh. Aku sudah memutuskan, seharusnya tak boleh seperti ini. Aku sudah melepaskan. Seharusnya, aku juga belajar melupakan. Tapi bagaimana caranya melupakan seseorang yang sudah memberikan begitu banyak hal untuk kuingat sekarang?

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 19

2 Comments

Leave a Reply