Mantili, setelah selama ini hanya melihat hutan-hutan, jalan-jalan gunung, lembah serta tempat-tempat terpencil dan sepi, menawarkan suatu perubahan menyenangkan sebagai kota yang penuh warna-warni dan kenikmatan, dengan penduduknya tampak sibuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pada saat Rama melangkah memasuki Mantili, ia melihat kubah dan puncak kecil-kecil keemasan, menara-menara, serta beraneka warna bendera berkibar-kibar ditiup angin seakan menyambut kedatangan seorang calon pengantin kerajaan. Jalanan berkelap-kelip oleh banyaknya potongan perhiasan yang dibuang oleh orang-orang (kalung yang putus saat berdansa atau mengikuti permainan; atau dilepas lalu digantungkan karena terasa mengganggu sewaktu berpelukan), dan tak ada yang berniat mengambilnya dalam masyarakat yang semakmur itu. Tidak ada sedekah dalam negeri Kosala karena tidak ada yang mau menerimanya. Kalung bunga yang putus menumpuk di pinggir jalan dikerumuni oleh lebah-lebah madu. Musim kawin membuat kawanan gajah gunung mengalir turun bagai sungai hitam sepanjang jalan utama, bercampur dengan buih putih yang menetes dari mulut kuda-kuda yang mencongklang—dan diaduk dengan lumpur dan debu oleh roda kereta-kereta yang terus berputar.
Di atas teras loteng yang tinggi para wanita menyanyi dan menari diiringi vina dan tambur. Pasangan-pasangan duduk di ayunan yang digantungkan pada pohon areca menikmati kegembiraan berayun-ayun, kalung atau untaian bunga mereka melambai-lambai. Rama dan Laksmana melewati toko-toko yang menggelar permata, emas, gading, bulu merak, manik-manik, dan wig dari rambut rusa Himalaya yang langka. Mereka mengamati arena-arena tempat adu gajah yang aneh tengah berlangsung, disoraki oleh banyak sekali pemuda; kelompok-kelompok wanita berlatih mendendangkan lagu cinta dan balada di bawah kanopi-kanopi di tepi jalan; kuda-kuda tak henti mencongklang mengitari jalan-jalan khusus untuk kuda, ditonton oleh pria dan wanita molek; kolam-kolam renang dengan ikan beraneka warna berlarian ke sana kemari; terusik oleh orang-orang yang tengah berenang.
Mereka menyeberangi parit yang mengelilingi istana Janaka, dengan menara-menara emasnya menjulang lebih tinggi daripada bangunan lain di kota itu. Sekarang Rama mengamati putri Sita sedang bermain dengan teman-temannya di atas sebuah balkon. Ia terkesima oleh kecantikan gadis itu, dan pada saat yang sama Sita juga memerhatikan Rama. Mereka bertemu pandang. Mereka sudah hidup bersama tidak lama sebelumnya di Vaikunta, kediaman asli mereka di kahyangan, sebagai Wisnu dan istrinya, Laksmi, tetapi dalam inkarnasi mereka yang sekarang, meskipun dengan susah payah mengalami semua keterbatasan sebagai manusia, mereka saling memandang seperti orang asing. Sita, di tengah hiasan dan bunga-bunga, di tengah dayang-dayangnya, menyoroti mata Rama bagaikan sekilas halilintar. Ia berhenti untuk mengamati Rama pelan-pelan lewat sampai tidak tampak lagi, bersama guru-begawan, dan adiknya. Pada saat Rama lenyap, pikiran Sita jadi bingung tak terkendali. Mata itu telah membiarkan secercah tipis cinta masuk ke dalamnya, yang kemudian meluas dan menyebar ke seluruh dirinya. Sita merasa tidak enak badan.
Melihat perubahan mendadak dalam diri Sita, dan tubuhnya yang mendadak lemas dan terkulai, bahkan sampai sabuk emas pada pinggangnya melorot, para dayang memapahnya masuk dan menggelar kasur empuk untuk tempat berbaring junjungan mereka.
Sita berbaring sambil membolak-balik tubuhnya dan mengeluh, “Apa kalian sudah lupa caranya menyiapkan kasur empuk. Kalian semua sengaja menggodaku.” Para dayang itu belum pernah melihat junjungan mereka dalam suasana hati seperti itu. Mulanya mereka bingung dan tertawa-tawa, tetapi kemudian benar-benar prihatin waktu memerhatikan air mata mengaliri pipi sang putri. Mereka mendapati junjungan mereka tanpa sadar mengigau, “Bahunya bagai zamrud, matanya bagai kelopak bunga seroja, siapa gerangan dia? Dia menyerbu hatiku dan telah benar-benar merampas rasa malu dariku! Seorang perampok yang sanggup menjerat hatiku dan merenggut kedamaian pikirku. Berbahu bidang, tetapi berlalu pergi begitu cepat. Mengapa dia bahkan tidak menghentikan langkahnya, sehingga mungkin aku bisa memandangnya sekilas lagi, dan menghentikan kegalauan degup hatiku ini. Dia ada di sini, sebentar lagi sudah di sana, dan pergi untuk selamanya. Tak mungkin dia seorang dewa—kelopak matanya berkedip… Atau dia seorang tukang tenung yang melontarkan mantranya pada orang-orang?”
Mentari terbenam jauh ke dalam lautan, begitu kata sang penyair—dan manakala seorang penyair menyebut kata lautan, kita harus menerimanya. Tidak apa-apa membiarkan seorang penyair menggambarkan visinya, tidak perlu menanyakan lautan yang mana. Lengking burung-burung yang hendak beristirahat malam itu, alunan ombak di atas pantai menjadi lebih jelas manakala sore merayap menjadi petang dan kemudian, malam. Angin sepoi dingin berembus dari laut, tetapi tak ada yang bisa membuat Sita nyaman. Saat itu membuat pedihnya cinta semakin pedih, dan mendebarkan hatinya dengan kerinduan sia-sia. Seekor burung langka, Anril, dari suatu tempat memanggil pasangannya. Biasanya pada jam ini, Sita akan mendengar ocehannya yang merdu, tetapi hari ini suara burung itu kedengaran serak dan menjijikkan. Sita memohon dengan iba, “Oh, burung, di mana pun kau berada, kumohon diamlah! Kau cuma membuat keributan, menggangguku dengan jeritan dan ratapanmu. Dosa-dosa yang kuperbuat pada kelahiran sebelumnya telah menjelma menjadi bentukmu dan sekarang kau datang menyiksaku!” Bulan purnama muncul dari laut, membanjiri bumi dengan cahaya lembutnya. Melihat itu, Sita menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa bahwa semua itu asing bagi suasana hatinya dan bersatu padu untuk menambah deritanya. Para dayang memerhatikan kesedihan putri mereka dan takut suatu penyakit yang parah telah menyerang junjungan mereka itu secara tiba-tiba. Mereka menyalakan lentera-lentera temaram yang sumbunya dicelupkan ke mentega bening, tetapi ternyata nyala seperti itu pun tidak mampu ditanggung sang putri. Mereka lalu mematikan lampu-lampu itu dan meletakkan batu-batu permata yang memancarkan cahaya lembut. Mereka membuat tempat tidur yang empuk untuk Sita di atas sepotong batu putih yang dilapisi dengan kelopak-kelopak bunga yang empuk, tetapi bunga-bunga itu menjadi layu. Sita menggeliat, mengerang dan mengeluh tentang segala sesuatu—malam, bintang, dan bunga-bunga: seluruh alam semesta adalah unsur-unsur yang tidak simpatik. Pertanyaan itu terus terngiang dalam kepalanya: “Siapa pemuda itu? Ke mana dia pergi? Muncul sekilas lalu lenyap lagi—atau aku cuma berhalusinasi? Tidak mungkin—sekedar halusinasi tidak bisa sedemikian memperlemah diriku.”
Malam itu Rama mengaso di rumah penginapan. Waktu sendirian di dalam kamar tidurnya, ia mulai memikirkan gadis yang tadi ia lihat di atas balkon istana. Baginya juga, rembulan serasa membuat rasa sepi menjadi semakin sepi. Walaupun dari luar tidak kelihatan, jauh di dalam hatinya Rama merasa gelisah. Sekarang ia terus teringat akan gadis di atas balkon itu dan rindu melihatnya sekali lagi. Siapa gerangan dia? Tidak ada pertanda yang menunjukkan gadis itu seorang putri raja—mungkin saja salah seorang di antara ratusan gadis di sebuah istana. Gadis itu tidak mungkin sudah menikah: Rama menyadari bahwa secara naluriah sudah tentu ia akan menjauh jika gadis itu sudah menikah. Sekarang ia mendapati dirinya merenungkan setiap ciri gadis itu. Ia membayangkan gadis itu sekarang berdiri di hadapannya dan rindu sekali memeluknya di dalam dekapannya. Katanya dalam hati, “Bahkan jika aku tidak bisa memeluknya, apa aku akan pernah melihat lagi, meski sebentar, wajah berseri dan bibir itu? Mata, bibir, untaian anak rambut yang ikal pada kening itu—setiap ciri pada raut wajah itu seakan siap menyerang dan menguasai aku—aku, yang dengan busurku sanggup memusnahkan kejahatan, sekarang berada di dalam kekuasaan dia yang hanya memiliki busur dari batang tebu dan memakai bunga sebagai anak panah…” Ia tersenyum membayangkan ironi itu.
Malam itu lewat seperti biasa. Rama tidak nyenyak tidurnya. Rembulan terbenam dan fajar pun menyingsing. Rama tahu sudah saatnya untuk bangun dan bersiap menemani gurunya menghadiri upacara di istana Janaka.
Raja Janaka melihat Rama dan Laksmana masuk ke dalam pendapa dan bertanya kepada Wiswamitra, “Siapa kedua pemuda yang tampan itu?” Wiswamitra menjelaskannya. Waktu mendengar garis keturunan dan kemampuan Rama, Raja Janaka berkata sambil mendesah, “Betapa aku ingin sekali bisa melamarnya untuk putriku.” Wiswamitra memahami alasan kesedihan itu. Suatu keadaan yang seolah tak tertanggungkan menggayut dalam setiap lontaran yang berkaitan dengan pernikahan Sita.
Raja Janaka memiliki sebuah busur besar sekali yang dulunya milik Syiwa. Syiwa meninggalkan busur itu dan menyerahkannya ke dalam penjagaan seorang nenek moyang Janaka. Busur itu sudah lama menjadi pusaka kerajaan. Sita, sebagai seorang bayi perempuan, adalah hadiah dari Bumi Pertiwi kepada Janaka, karena ditemukan di sebuah alur sebidang ladang yang tengah dibajak. Janaka mengangkat anak itu, merawatnya, dan Sita pun tumbuh menjadi seorang gadis jelita. Ini menyebabkan beberapa pangeran, yang menganggap diri mereka pantas, berdatangan ke istana Janaka dan melamar Sita. Karena tidak mampu memilih siapa saja secara khusus, dan dengan tujuan mengusir mereka, Raja Janaka membuat persyaratan bahwa siapa saja yang bisa mengangkat, menarik dan membidik dengan busur Syiwa itu akan dianggap cocok menjadi suami Sita. Waktu melihat busur tersebut, para pelamar menyadari bahwa itu persyaratan yang mustahil dan tidak masuk akal. Mereka meninggalkan istana itu dengan marah, dan kemudian kembali bersama pasukan mereka, bertekad merebut Sita dengan paksa. Tetapi Janaka menangkis serangan mereka, dan akhirnya para pelamar itu mundur. Waktu berjalan terus, dan Janaka jadi cemas apakah ia bisa menyaksikan putrinya menikah dan hidup mapan—karena persyaratan yang pernah dibuat tidak bisa ditarik lagi. Agaknya tak seorang pun di dunia ini yang kuat mengangkat busur Syiwa. Janaka mendesah, “Aku merinding kalau memikirkan masa depan Sita, dan mempertanyakan keputusanku sendiri dalam menghubungkan nasibnya dengan pusaka suci dan kuat di rumah kami ini.”
“Jangan putus asa,” kata Wiswamitra menghibur. “Bagaimana kau tahu kalau bukan suatu ilham suci yang membuatmu berpikir begitu?”
“Dalam semua dunia, apa ada orang yang bisa menangani busur ini, padahal sekedar melihatnya dipegang saja oleh Syiwa, para dewa dan makhluk setengah dewa sudah gemetar ketakutan dan pingsan—sehingga Syiwa menyingkirkannya dan tidak mau menggunakannya lagi?”
“Kalau diizinkan, bolehkah kami melihatnya?”
Kata Janaka, “Aku akan memerintahkan orang membawanya ke sini. Busur itu sudah terlalu lama disimpan di gudang… Siapa tahu, membawanya keluar akan mengubah seluruh nasib kita.” Ia menyuruh para pelayan mengambil busur tersebut… Para pelayan itu tertegun dan Raja memerintahkan, “Jika perlu, suruh prajurit mengerjakan tugas ini. Bagaimanapun juga, tempat ini telah disucikan oleh upacara yang belum lama ini diadakan… dan busur ini cocok untuk dibawa ke sini.”
Busur itu diangkut dengan sebuah kereta roda delapan dan tiba di pendapa tersebut dengan ditarik oleh banyak sekali orang. Sejak dikeluarkan dari gudang dan melewati jalan-jalan, orang banyak mengikutinya. Busur itu begitu besar sehingga tak seorang pun mengenalinya kalau hanya melihat sekilas. “Itu busur atau gunung yang bernama Meru, yang mengaduk Lautan Susu pada zaman dahulu kala?” rakyat terkagum-kagum. “Mau dibidikkan ke mana anak panahnya, andaikan ada yang bisa mengangkat busur itu dan menarik talinya!” ada yang membayangkan. “Kalau Janaka memang sungguh-sungguh bermaksud mencari menantu, seharusnya ia mencabut persyaratan ini. Sungguh dia raja yang tidak bijaksana!”
Rama memandang ke arah gurunya. Wiswamitra mengangguk seakan mengatakan “Coba saja.” Ketika Rama mendekati busur itu pelan-pelan namun dengan penuh wibawa, para penonton menahan napas dan mengamati. Ada yang diam-diam mendoakan dia. Ada yang berkomentar, “Kejam sekali! Guru yang tentunya begawan itu tidak malu menyuruh seorang pemuda lembut menjalani uji coba berat ini!” Raja memang jahat dan kejam, menguji pemuda yang setampan dewa itu… Jika memang serius, seharusnya ia serahkan saja Sita ke tangan pemuda itu dan tidak menuntut semua perbuatan akrobatik ini” “Raja ingin memiliki Sita selama-lamanya… ini satu cara untuk tidak berpisah dari putrinya!” “Jika pemuda ini gagal, kita semua akan melompat ke dalam api,” seru beberapa gadis remaja yang tergila-gila melihat Rama. “Jika dia gagal, sudah jelas Sita akan membakar diri dan kita semua akan mengikuti contohnya.”
Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah Rama sanggup mengangkat busur itu dan melepaskan anak panahnya? Apakah Sita akan bertemu dengan lelaki yang selalu mengganggu fikirannya tersebut? Untuk mengetahui jawabannya, ikutilah kelanjutan Ramayana ini.
Sampai jumpa!
ditunggu lanjutannya bro 🙂